Sabtu, 20 September 2008

Notulensi LIBRA VII di UI (21 Agustus 2008)

NOTULEN WORKSHOP TRANSISI AGRARIA DI PEDESAAN JAWA:
PERSPEKTIF GERAKAN SOSIAL

Tanggal : 21 Agustus 2008
Hari : Kamis
Tempat : Gedung H 103, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI


PEMBUKAAN
Menyanyikan lagu Agraria dipimpin oleh bapak Gunawan Wirandi
Workshop di hari kedua dibuka dengan menyanyikan lagu Agraria yang dipimpin oleh bapak Gunawan Wiradi sebagai penggubah lagu tersebut. Sebelum menyanyikan lagu tersebut, bapak Gunawan memberikan beberapa patah kata terkait dengan latar belakang penggubahan lagu tersebut.

REVIEW DAN PEMBHASAN BAHAN BACAAN II (KASUS-KASUS EMPIRIS)
“Krisis Agraria dan Perlawanan Petani dalam Berbagai Konteks Agroekologi: Kasus Agroekologi Sawah, Desa Hutan, dan Perkebunan”
• Sadikin & Samandawai (2007), Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa
• Santoso (2004), Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa

Pembahas : Muhammad Yusuf dan Dini Harnita
Moderator : Satyawan Sunito

“Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa” dibahas oleh Muhammad Yusuf

>> Latar Belakang Penulisan
 Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2005 oleh divisi Agraria, Yayasan Akatiga Bandung
 Alasan pemilihan tema:
1. Secara konseptual: perdebatan antara pendekatan ekonomi moral (Scott, 1976), ekonomi politik/rasional (Popkin, 1979) dan pandangan Geertz mengenai cara pandang dan penjelasan teoritis tentang kehidupan masayarakat pedesaan (petani)
2. Secara praksis: pengorganisasian dan usaha-usaha mendorong proses transformasi sosial di pedesaan
 Lokasi penelitian: desa “Pangur” Kab. Kebumen dan desa “Sepur” Kab. Banyumas, Jawa Tengah.

>> Pendekatan Teoritis
 Pendekatan 3 Sisi: hubungan kekuasaan antar orang dan kelompok terjadi dalam banyak “aktor”, “konteks” dan “arena”.
 Pada tataran pengetahuan, seseorang aktor memiliki kebebasan untuk memberi tafsir, menerima maupun menolak struktur pengetahuan masyarakat yang telah diterima secara umum (struktur luar). Atau dengan kata lain, seorang aktor dapat membangun struktur pengetahuannya sendiri secara bebas (struktur dalam) tetapi dia tidak begitu saja melepaskan diri dari struktur luar.
 Dalam konteks tertentu, struktur pengetahuan hasil penafsiran seorang aktor bisa diterima dan menjadi bahan acuan aktor lain dalam berperilaku dan bertindak, tetapi dalam konteks yang lain bisa juga ditolak/ditentang.
 Pada titik inilah, pilihan moral dan rasional lebih merupakan pilihan yang bisa diambil seorang aktor setelah berhasil membuat tafsir atas kenyataan, membentuk pengetahuannya tentang sesuatu dan merudingkannya dengan aktor yang lain.
 Artinya, pilihan pendekatan moral dan rasional bukan ditempatkan secara dikotomi sebagai watak khas dari dua tipe masyarakat yang berbeda.

>> Citra Masyarakat Pedesaan
 Bahwa masyarakat desa yang digambarkan sebagai komunitas yang menjunjung tinggi kebersamaan, egaliter, tidak mengenal pelapisan, memiliki ikatan sosial yang kuat, dan harmoni merupakan hal yang mengandung kontradiksi dan perlu digugat kembali!
 Pemerintah vs Ornop: desa harus dimodernisasi (tinggalkan cara hidup tradisional) vs modernisasi penyebab kemunduran desa oleh karenanya yang perlu dilakukan adalah menata kembali institusi sosial dan tata kehidupan masyarakat desa yang telah dilumpuhkan oleh modernisasi
 Cara pandang seperti ini, “masyarakat pedesaan adalah komunitas yang bersahaja”, di satu sisi digunakan untuk meredam potensi konflik dan perlawanan rakyat terhadap penguasa (praktik politik pemerintah orba), di lain sisi, digunakan untuk menolak sistem baru yang akan melenyapkan sistem lama
 Dalam konteks sejarah tertentu, tidak melulu bahwa ciri masyarakat pra-kapitalis lebih menunjukkan perilaku yang didasari pertimbangan moral atau sebaliknya, dalam tahapan periode sejarah berikutnya masyarakat lebih mendasari perilakunya secara rasional setelah bersentuhan dengan sistem pasar (kapitalisme)
 Meskipun perilaku moral dan rasional melingkupi kehidupan masyarakat pedesaan bukan berarti keduanya berjalan secara linier, “yang satu mendahului yang lainnya”…
 Oleh karenanya, perilaku didasari oleh moral dan rasional tidak dapat disejajarkan dengan tradisional dan modern
 Akhirnya, cara pandang dikotomis yang kaku antara “tradisional” vs “modern” dan “moral” vs “rasional” pada masyarakat pedesaan mestilah ditinggalkan.

>> Pelapisan dan Makna Tanah
 Baik desa Pangur maupun desa Sepur, lapisan sosial masyarakatnya berdasarkan penguasaan tanah.
 Meski besaran penguasaan tanah sangat menentukan tingkat pendapatan warga desa yang juga akhirnya menentukan kedudukan seseorang warga di dalam masyarakat akan tetapi bukan merupakan unsur determinan perilaku dan tindakan masyarakat.
 Hal tersebut terjadi karena pengetahuan masyarakat tidak hanya bentukan struktur sosialnya melainkan juga dipengaruhi pengetahuan yang berasal dari lingkungan sosialnya. Sebagai misal: pengetahuan warga yang berasal dari pendidikan formal lebih banyak didapat dari luar desa. Demikian pula berlaku untuk pola perilaku dan tindakan.
 Dari hasil interaksi antara struktur dengan lingkungan sosialnya maka seorang buruh tani tidak bisa dengan gegabah bertindak sekehendak hati dengan pemilik tanah mengingat kedudukan mereka bergantung pada pemilik tanah.
 Namun demikian, buruh tani pun tidak begitu saja mau “menguatkan” tuntutan struktur sosial desa tentang kepantasan berperilaku di hadapan pemilik tanah. Begutu berlaku bagi pemilik tanah.
 Pola hubungan yang semacam ini pada dasarnya lahir dari kemampuan aktor dalam mengartikulasikan pengetahuannya (struktur dalam) vis a vis dengan struktur luar yang mengkerangkai pola perilaku sosial masyarakat.
 Dalam konteks kekinian, pandangan masyarakat desa mengenai tanah sudah tidaka disandarkan pada perspektif ekonomi moral. Tanah bukan hanya sumber kehidupan melainkan telah menjadi komoditas.

>> Konflik dan Perlawanan Petani
 Secara teoritis, ketimpangan agraria dan bertambahnya jumlah penduduk miskin di pedesaan dapat memicu timbulnya gejolak sosial dan konflik terbuka antara petani gurem atau tuna lahan (miskin) dengan petani golongan kaya yang menguasai tanah luas.
 Namun demikian, setelah orde lama lengser hingga saat ini, konflik-konflik agraria yang terjadi bukan disebabkan oleh realitas ketimpangan yang tajam akan tetapi lebih merupakan konflik restoratif atau ketimpangan agraria belum menjadi kondisi yang mencukupi timbulnya konflik terbuaka kecuali jika terjadi penggusuran tanah.
 Benturan antara struktur dalam dari si aktor dengan struktur luar yang sudah terinstitusikan melahirkan perilaku manipulatif dan mendua.
 Namun, karena aktor berada dalam posisi dan kondisi yang sama, perilaku manipulatif dan mendua tersebut tidak kemudian melahirkan benturan terbuka karena setiap aktor sama-sama menyadari dan memiliki pola perilaku sama
 Prinsip “tahu sama tau” kemudian menjadi alat peredam sekaligus alat untuk menghindari terjadinya konflik terbuka.
 Pilihan tindakan sang aktor dalam konteks tertentu akan berbeda dalam konteks yang lain, bergantung dari kemampuan sang aktor mengartikulasikan struktur dalamnya di dalam kerangka struktur luar yang melingkupi.
 Singkatnya, pokok persoalan kemudian bukanlah terletak pada seseorang itu lebih mendahulukan prinsip moral atau rasional melainkan seberapa besar kemampuan aktor dalam menegosiasikan struktur dalam dengan struktur luarnya.

>> Tantangan Gerakan Sosial
Jika saat dikatakan bahwa konflik-konflik agraria saat ini merupakan manifestasi dari adanya ikatan yang kuat antara petani dengan tanah sdan dikategorisasikan sebagai tipe masyarakat pra-kapitalis maka pendapat ini sudah selaknya dikritik lebih lanjut





Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa dibahas oleh Dini Harmita

>> Pengantar Prof. Tania Li (Rakyat dan Hutan Ketika Pasar Berjaya)
Santoso menemukan jawaban dari:
a. Mengapa masyarakat desa hutan tidak memberontak?
b. Tidakkah mereka menyadari ketidakadilan ketika tanah nenek moyang mereka diambil alih oleh pemerintah kolonial dan penerusnya?
c. Tidakkah mereka marah atas eksploitasi tenaga mereka?
d. Tidakkah mereka ingin menentang rezim yang memaksa dan menindas mereka?
 Terletak pada prinsip bahwa mereka tidak menyandarkan diri pada dunia ideal, atau yang sejenisnya.
 Reformasi dimaknai sebagai kesempatan untuk memaafkan pencurian (kredibilitas & kapasitas penegakan hukum oleh orang-orang kehutanan hilang; menunjuk pada segenap transformasi nilai & aspirasi masyarakat desa hutan)

>> Pengantar Dr. Heru Nugroho (HUTAN UNTUK RAKYAT: Antara Harapan dan Kenyataan)
Dengan setting lokasi di Kecamatan Wonomukti, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, penulis ingin memotret realitas objektif yang terjadi berkaitan dengan persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, yang ada dan terjadi di seputar kawasan hutan  ruang publik yang banyak menyimpan entitas, yaitu sebagai ruang hunian sekaligus ruang penyelenggaraan hutan (KPH), dengan segala persoalannya.

>> Tujuan Penulisan
• Mencoba mengangkat kasus-kasus harian yang selama ini mewarnai penyelenggaraan kehutanan di Jawa  meletakkannya dalam konteks & perspektif pengalaman-pengalaman lokal, untuk tidak mengatakan pengalaman masyarakat subkultur.
• “Suka ataupun tidak, pada akhirnya aksi dan perlawanan masyarakatpun mengalami, semacam, proses rasionalisasi – bukan radikalisasi” (hal. xxxvii)

>> Kontes Harian
• Karakter Pekerjaan ‘Pencuri Kayu’
Pesanggem  Berkolaborasi dengan pihak kehutanan
Balongkare  Berkonfrontasi dengan pihak kehutanan
• Masalah (Kesenjangan Das Solen – Das Sein)
Lahan  Bibrikan (kegiatan pertanian di lahan-lahan hutan tanpa persetujuan pihak kehutanan), basokan (memanfaatkan lahan bekas tebangan yang sedang diberokan untuk bercocok tanam), sabotase tanaman (sengaja mematikan tanaman kehutanan demi memperluas ruang tanaman pertanian).
Kayu  Angka rendemen yang tidak sesuai akan tetapi selalu disahkan oleh kehutanan (Berkembangnya versi-versi kebenaran, juga versi-versi kesalahan, hal.17); Harga kayu tinggi  Tengkulak (Skenario khusus yang telah disepakati bersama, ada logika-logika tertentu yang tidak sepenuhnya bisa dipahami melalui jalur normatif).
Target  Komunikasi antar pihak tidak nyambung&pengalaman yang terbatas.
Pertarungan Kepentingan  “perang dingin” sporadis, dengan arena yang berubah-ubah, dan tekad pelaku yang terkadang hanya setengah-setengah, serta banyak orang netral yang sekedar berdiri menyaksikan dari pinggir lapangan (pesanggem-pemain kayu-petugas kehutanan).

>> Kehutanan di Jawa
• Hutan di tengah kerumunan populasi  Makin tergerus: Kini jumlah hutan di Jawa 2.881.949 hektar (23% dari luas P. Jawa); Persoalan klasik: Kependudukan di Jawa.
• Rentang panjang pengusahaan hutan  Penambangan kayu (VOC) ± abad 17; Menuju perkebunan kayu (Daendels) ± 1808; Introduksi kehutanan akademik (Rochussen/Gubernur Jenderal Jawa mengundang para ahli Jerman: Bennich, Mollier, Balzar, Roessler) pertengahan abad 19.
• Konflik dan perlawanan  Pembangkangan orang Kalang (kalangan masyarakat desa hutan generasi awal yang pada masa-masa pra kolonial dan kolonial begitu mewarnai pekerjaan-pekerjaan kehutanan, keterampilan:Perkayuan, cara hidupnya berpindah-pindah) yang dikenai pajak kepala (bahkan gol. Pinggir & Gajah pun tidak) pada masa Sultan Agung (Mataram) sehingga mereka mengembangkan subkultur tersendiri; selesai singkat karena mereka memperoleh ancaman-ancaman dari para petinggi lokal.
• Konflik dan perlawanan  Geger Samin: Samin Surosentiko (Raden Kohar) sejak 1890 mengajarkan prinsip-prinsip hidup setara&menolak segala intervensi (ketentuan yang sepihak seperti batas lahan&pungutan masyarakat), 1907 Gerakan Samin dilarang, pengikutnya ditangkap, Samin&8 pembantu setianya diasingkan ke Sumatra Barat; pelanggaran-pelanggaran yang tak terhitung: Peristiwa Cilegon, Peristiwa Tiga Daerah, aksi-aksi harian.
• Perhutani: Mewarisi sebuah tradisi  Sebelum 1962: Kehutanan harus tetap berorientasi pada ekonomi&konservasi sehingga harus tetap berbasis negara&terpusat, setelah 1962: Jawatan Kehutanan diganti PN Perhutani – deklarasi tidak langsung atas kemenangan kaum konservatif, misi: Meningkatkan devisa, reforestasi, produksi kayu untuk industri kehutanan, 1966: PN jadi PU, serius pada bisnis kayu. Gagasan Foretika (Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan): Perlu perbaikan dalam cara mengukur kinerja, otoritas pengambilan keputusan berbeda setiap kabupaten, masyarakat adalah subyek pembangunan.

>> Wonomukti: Ruang yang Dihuni Bersama
• 4 desa fokus kajian: Tegalsari, Jatianom, Gemati & Rejomulyo  desa hutan (terletak dalam radius paling jauh 5 km dari batas luar kawasan hutan)
• Dua peta saling meniadakan  Desa-desa menyebar di berbagai kawasan, bertetangga, bersinggungan, bertampalan bahkan ada yang di dalam hutan. Tidak ada garis pemisah yang jelas antara kelas-kelas pada masyarakatnya. Pertaruhan kewibawaan di mata masyarakat: Tahun 2000 Wonomukti muram, ungkapan salah seorang warga kampung di Wonomukti: “Dulu orang kampung takut setengah mati pada petugas kehutanan, tapi sekarang mereka yang takut kepada kami. Mereka tidak berani masuk ke kampung, tanpa ditemani petugas kehutanan lain.
• Panorama pedesaan: Desa-desa menyusut  penyempitan di Tegalsari mencapai 95,7% hingga hanya menyisakan ruang bagi kehidupan desa sebesar 106,4 Ha dari semula 2.497,6 ha. Kependudukan  Keterdesakan&implikasinya:tumpangsari yang tidak bertahan lama). Pendidikan  Formal, rata-rata lulusan SD. Pencaharian  lahan masih jadi tema pokok diskursus ekonomi setempat, ironis karena ketersediaan sawah&ladang yang sedikit.
• Pergeseran dan perubahan: dari ekonomi lahan ke ekonomi kayu  involusi pertanian: Cara hidup padat karya di kalangan masyarakat petani dengan cara mengakomodasi populasi yang lebih besar pada lahan yang sama melalui prinsip mangan ora mangan asal kumpul/redistribusi kemiskinan (Geertz, 1963).
• Diferensiasi & relasi-relasi sederhana  pandangan tidak sepenuhnya benar (loyalitas&bentuk kepatuhan yang nampak bukan jaminan persetujuan tanpa syarat).
• Perhitungan-perhitungan tak terduga  Definisi tandingan situasi normatif yang dipromosikan pihak kahutanan selama ini  “Ruang-ruang sempit yang mereka huni, kemiskinan yang mereka jalani, bukan hal-hal yang dipandang sebagai sekedar suratan nasib. Boleh jadi mereka tidak tahu secara persis, dan mungkin juga tidak ingin tahu – bukan tidak mau tahu --, apa, siapa dan di mana akar persoalannya, akan tetapi mereka fasih membuat perhitungan-perhitungan yang menyangkut untung rugi, harga diri dan keselamatan hari depannya” (hal. 150).

>> Aksi Kecil-kecilan
• Ketimpangan neraca pertukaran: Bibrikan (aksi penggerogotan lahan hutan secara diam) jauh lebih efektif&menjanjikan keberhasilan daripada reclaim (aksi pendudukan lahan hutan secara terbuka).
• Di balik topeng kepatuhan: Penjarahan hutan  radikalisasi&aksi kecil-kecilan + ungkapan kemarahan masyarakat atas dua warga yang tewas di tangan petugas kehutanan. Pertalian dengan pencuri  perbanditan sosial (pertalian diam-diam antara pencuri kayu dengan orang miskin setempat). Oposisi simbolis&kultural  Cara kaum miskin mengaburkan “medan pertempuran”, juga menisbikan batas-batas kekalahan&kemenangan  ditandai dengan bentuk-bentuk kompromi (meskipun imitasi).
• Gosip&informasi yang berat sebelah: Gaya perlawanan di tingkat wacana.
• Menanggalkan kerelaan  menghindari kompromi.
• Menghindar&melarikan diri  terdokumentasi paling baik, co? aksi menuntut balas tahun 1998 (orang miskin menuntut penyelenggaraan kehutanan setempat bertanggungjawab atas kematian dua warga desa yang tertembak petugas kehutanan).
• Gerakan laten yang terlupakan  dilema apakah revolusi diciptakan oleh seorang pemimpin yang radikal atau massa yang bergejolak  “meningkatnya upaya-upaya paksa oleh negara pada segenap kontrol sumber daya alam dan masyarakat lokal, mengindikasikan adanya penurunan legitimasi dan otoritasnya di depan publik” (scott 1976 dalam Santoso 2004 hal. 218)

>> Melampaui Aksi Kecil-kecilan
• Menuju cara produksi baru: Aksi-aksi pencurian kayu yang marak&terstruktur, melibatkan banyak pihak, dan berskala industri  tidak otomatis terkait secara langsung dengan persoalan kesadaran lingkungan masyarakat. Didorong oleh tuntutan lapangan pekerjaan, pendapatan&impian-impian kesejahteraan, maka masyarakat mengembangkan skema-skema baru; merasionalisasi kegiatan pencurian kayu yang sudah berumur tua, menjadi suatu modus ekonomi sehari-hari yang bertumpu pada sendi-sendi kapitalisme.
• Gairah kapitalisme pedesaan: Industrialisasi rapuh  urbanisasi  kalangan muda&sebagian orang tertentu mencibir skema tumpangsari sebagai lapangan pekerjaan yang tidak membanggakan (tidak bergengsi)
• Gairah kapitalisme pedesaan: Dari eksploitasi ke eksploitasi  Dari kapitalisme negara ke kapitalisme pedesaan. Pasar yang tak terkendali  “konflik yang terus berlangsung dalam penyelenggaraan kehutanan°radasi sumber daya hutan merupakan indikasi akan keterbatasan ekologi dalam memenuhi tuntutan industrialisasi model Barat yang diterapkan begitu saja di negara-negara bekas jajahan (dunia ketiga)” (Ramachandra Guha dalam Santoso 2004, hal. 253). Petugas kehutanan&kerdip di balik pagar  Oknum yang tidak hanya membukakan pintu, tapi juga menguras isi rumah.
• Ketika keadaan buruk tiba  dalang, penadah&maling jati beraksi bebas merdeka, rame-rame potong jati di Wonomukti, mumpung di beberapa tempat di Indonesia juga sedang rame  maling teriak maling  teriak-teriak reformasi sekalian cari formasi (Kompas 23 Oktober 1998).
• Ketika keadaan buruk tiba: Berbagai tujuan, berbagai kepentingan  masyarakat frustasi
• Sebuah model ekonomi tandingan  masyarakat (hutan adalah salah satu basis material penopang kehidupan lokal) vs negara (hutan adalah aset nasional, penghasil devisa negara)

>> Perlawanan di Simpang Jalan
• Hegemoni atau kompromi politis  Hegemoni yang secara teoritis diprediksikan akan membius dan melumpuhkan kesadaran, di tingkat praksis justru berbalik; ia menjadi semacam alat provokasi ampuh bagi kalangan masyarakat kelas rendahan untuk melakukan perlawanan terhadap kelas-kelas yang berkuasa.
• Kosa kata perlawanan: mempertimbangkan konteks: Kapitalisme sebagai konteks  Nilai, ukuran&orientasi berubah, referensi sosial meluas, pengertian perlawan berubah (tidak hanya mengacu pada aksi-aksi besar tapi juga aksi-aksi kecil)  pencurian kayu di Wonomukti menemukan konteksnya. Persinggungan-persinggungan yang disadari  atas prinsip keselamatan bersama. Menengok kembali pengertian bandit sosial  poin terpenting bukan pada corak produksi tapi pada proses produksi, baik pada masyarakat pra kapitalis maupun kapitalis pada lingkungan agraris maupun industrialis proses produksi tidak selalu menghasilkan neraca pertukaran yang proporsional muncul tindakan seperti perbanditan sosial.
• Radikalisme dan serikat avant garde: Perlawanan ibarat pedang bermata dua  kaliam pada pihak kehutanan&tidak setuju dengan perlawanan kelas menengah rendahan (miskin). Prospek bagi perlawanan konfrontatif: Menghindari kebangkrutan-kebangkrutan dari tindakan apapun yang dilakukan  aksi-aksi kolektif&konfrontatif sulit terjadi (co/ demonstrasi menuntut land reform).

>> Adakah Pemberhentian?
• Proyek penyederhanaan  Realitas hanya bekerja pada dataran teknis-teoritis. Kehutanan akademik tak membawa banyak perubahan, kecuali memperkenalkan teknik penyelenggaraan hutan dengan cara baru yang idealnya lebih efisien, akurat&sistematis.
• Proyek lingkungan  semangat konservasi sebagai kritik pembangunan menyatu dengan proyek pembangunan itu sendiri.
• Proyek sosial  pengakuan terhadap kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola hutan.

Gambaran Harper tentang aksi-aksi kasta rendahan di India: “Para budak yang terikat kontrak selama hidup, secara amat khas menyatakan rasa tidak puas tentang hubungan mereka dengan tuan tanah mereka, dengan jalan melakukan tugas secara sembrono dan tidak sempurna. Dengan sengaja atau tidak, mereka sering berpura-pura sakit, berlagak tidak tahu, atau tidak sanggup melakukan sesuatu, sehingga mengganggu ketenangan tuan mereka.. Jenis perlawanan pasif ini, asal saja itu tidak dilakukan dengan perlawanan terbuka, boleh dikatakan tidak dapat dikalahkan” (Harper dalam Santoso 2004, halaman 174).



Sesi Pembahasan

>> Nyoman (STPN)
mengenai review Yusuf :
- dalam pencitraan masyarakat desa dikatakan bahwa masyarakat desa tidak mengenal pelapisan, padahal di uraian berikutnya dikatakan bahwa salah satu pemicu konflik adalah ketimpangan kepemilikan tanah yang sebenarnya merupakan suatu bentuk pelapisan.
Mengenai review Dini :
- tidak terlihat apakah benar fungsi hutan juga sebagai fungsi lingkungan.

>> Sundung Sitorus
Untuk review Yusuf:
- Klarifikasi mengenai apakah benar modernisasi menjadi penyebab kemunduran masyarakat desa.
- pernyataan ‘ketimpangan belum bisa menjadi penyebab terjadinya munculnya konflik’ sulit diterima. karena terjadinya gejolak sosial adalah karena adanya kecemburuan sosial.
Untuk review Dini Harmita:
- mengenai jarak desa paling jauh 5 km dari kawasan hutan. bagaimana jika penduduk desa tersebut tidak menjadikan hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka? apakah hutan menjadi barrier?

Tanggapan:

>> Yulfita R.
- mengenai pendekatan moral ekonomi James Scott dan pendekatan rasional Samuel Popkins. hal tersebut untuk keperluan analisis, bukan untuk mencari tahu apakah karakter masyarakat suatu desa berpikir menurut moral atau berpikir secara rasional.
- sebenarnya kita semua menggunakan pendekatan moral ekonomi dan rasional tersebut. bedanya di sini adalah bahwa kelompok petani yang kita teliti tidak landless, powerless, pennyless, dan sebagainya.

>> Martua T. Sirait
- kita perlu kembali pada kritik yang mengkritik pemikiran mengenai shared poverty.
- Heri Santoso tidak begitu tajam melihat relasi agraria yang eksploitatif di dalam bukunya. sehingga kita langsung loncat bagaimana masyarakat berontak, tidak melihat pertentangan kelas yang terus dimainkan.
- Mengapa gerakan sosial (antara petani dengan pengambil tanah – tanah besar) tidak tumbuh terorgansir dengan baik, itu karena dikunci oleh konflik – konflik horizontal (petani – masyarakat).
- relasi agraria berhubungan dengan pembentukan diferensiasi agraria.


>> Laksmi
- Dalam buku Samandawa, ketegangan relasi agraria terjadi apakah karena hubungan ketergantungan antara petani dengan pengambil tanah? dan apakah ketergantungan itu harus dipelihara? apakah ketergantungan itu juga menjadi persoalan?

>> Gunawan Winardi
- jika mengatakan bahwa ketimpangan sosial tidak menjadi penyebab konflik, pernyataan itu belumlah pas. oleh karena itu, perlu ada pendekatan kuantitatif untuk melihat apakah benar terjadi hal yang dituliskan di buku?
- bagaimana validasi data mengenai pernyataan bahwa seorang petani yang tidak mendapat cukup upah bisa pindah kerja ke majikan lain?
- kita perlu kritis dalam membaca tulisan seseorang. perlu ada pengujian oleh ilmuwan – ilmuwan lain sebelum memutuskan untuk menerbitkan sebuah karya tulis / buku.
- pendekatan aktor yang digunakan dalam buku tersebut belum dijelaskan. penjelasan mengenai pendekatan struktur lebih banyak diuraikan.

>> Monang
- ketika konflik berlangsung, ada hak – hak dan kedaulatan dasar yang sebenarnya sudah berdiri.
- pernyataan bahwa harus ada ‘pemberian’ terhadap komunitas di sekita desa tidak terlalu tepat, yang penting harus ada negosiasi terhadap mereka sehingga tidak ada unsur pemaksaan.

>> Frendy
- pemikiran Geertz mengenai shared poverty tidak sepenuhnya tepat untuk terlalu banyak dikritik, karena shared poverty benar terjadi di masyarakat desa Harjobinangun di mana para petani wanitanya masih menggunakan ani – ani yang sebenarnya sudah jarang digunakan. alasan mereka menggunakan ani – ani aadalah agar semua anggota keluarga mereka bisa terus bekerja.

>> Dini Harmita
- Menanggapi pertanyaan Pak Sundung Stitrus, definisi 5KM itu didefinisikan oleh masyrarakat desanya, bukan penulisnya

>> Yusuf
- Sepakat dengan tanggapan Ibu Yulfita mengenai pendekatan moral ekonomi sebaiknya hanya digunakan sebagai pisau analis.
- Dan masalah ktimpangan, ketika tahun setelah orde lama runtuh, konflik yang mucul lebih kepada penggusuran, bukan kepada ketimpangan agraria.


REVIEW DAN PEMBHASAN BAHAN BACAAN II (KASUS-KASUS EMPIRIS)
“Krisis Agraria dan Perlawanan Petani dalam Berbagai Konteks Agroekologi: Kasus Agroekologi Sawah, Desa Hutan, dan Perkebunan”
• Siahaan (1996), Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi

Pembahas : Eko Cahyono dan Heru Purwandari
Moderator : Satyawan Sunito

Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi dibahas oleh Eko Cahyono

>> Prakata
• “ Perlawanan yang dilakukan orang-seorang, bukan tindakan dan di dukung oleh niat untuk bertahan, merupakan perlawanan simbolik yang hasil akhirnya tidak dapat diremehkan oleh pihak yang menjadi sasaran.
• Tujuan perlawanan bukan untuk mengubah, apalagi menumbangkan sistem dominasi. Tujuan orang lemah hanyalah untuk bertahan diri dalam sistem itu, dengan kerugian sekecil-kecilnya, dilakukan tanpa henti, bernafas panjang. Itulah senjata kaum lemah!” (Sajogyo, Pengantar buku James C. Scott, “Perlawanan Kaum Tani, 1993).
• Kutipan diatas dapat menjadi pengantar yang baik untuk memahami , “cerita pembangkangan terselubung para petani Tebu Rakyat Intensifikasi” Hotman Siahaan…

>> Duduk perkara
Riset (disertasi) Hotman Siahaan di Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, dengan mengambil kasus di kec. Papar Kediri (Jatim) ini ingin menjawab 2 soal:
1. Sejauh mana realitas pembangkangan terselubung dalam program TRI merupakan reaksi yg rasional tehadap hegemoni birokrasi yang gagal mengartikulasian kepentingan para petani dalam program TRI?
2. Sejauhmana pembangkangan terselubung tsb sbg upaya mempertahankan batas keamanan
subsistensi petani demi kelangsungan hidupnya?


>> Titik tolak
“ Hendak menganalisa dan memetakan berbagai bentuk respon Petani thd Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang dibentuk melalui Inpres No. 9 Tahun 1975” yang telah menunai berbagai bentuk penolakan dan protes sosial; baik secara terbuka maupun terselubung. Khususnya di wilayah Kec. Papar Kab. Kediri Jawa Timur (1996).

>> Alas teoritik dan hipotesis
• Nyata2 sejak awal Hotman S meneguhkan pendasaran optik teoritiknya adalah dari James C. Scott; Everyday Forms of Peasant Resistance dan Samuel Popkin; Rational-Actors Theory yang dipakainya untuk menguji empat hipotesis utama:
1. Pembangkangan terselubung yg dilakukan oleh petani dlm program TRI adalah sbg reaksi rasional guna mengartikulsikan kepentingan-kepentingan mereka thd hegemoni birokrasi dlm program TRI.
2. Pembangkangan terselubung yang dilakukan petani muncul di dalam tata hubungan produksi antara petani miskin dan petani kaya, dan antara petani dan berbagai institusi yg mendominasi tata hubungan produksi tsb lewat aplikasi program TRI.
3. Dominasi jaringan birokrasi pemerintah di dlm program TRI, yg gagal mengartikulaskan kepentingan petani, merupakan faktor2 yg paling menentukan lahirnya realitas pembangkangan terselubung tsb.
4. Pembangkangan yang dilakukan para petani di dlm program TRI adalah sbg upaya untuk mempertahankan batas keamanan subsistensi dg menjalankan sistem demi kerugian minimal bagi diri para petani tsb.

Dan dalam penelitianya hipotesis yg di ajukannya itu dapat dibuktikan kebenarannya….

>> Catatan
Kajian ini dpt menunjukkan beberapa hal menarik, diantaranya:
1. Program TRI lebih merupakan suatu usaha tani kontrak (contract farming) yg sarat muatan kepentingan ekonomi-politik negara guna mencapai tujuan utama yaitu industri gula nasional.
2. TRI sebagai Contract Farming berlangsung di dlm konteks fragmentasi tanah, dimana intensifikasi justru menimbulkan biaya-biaya sosial tinggi.
3. Pembangkangan terselubung yang dilakukan petani di Kediri ini adalah salah satu contoh model ‘perlawanan’ yg berlangsung dalam konteks kuatnya hegemoni dan intervensi negara beserta kekuatan aparatur birokrasinya. (melalui program TRI itu). Sehingga memiliki corak dan karakteristik tersendiri. Dan merupakan alternatif untuk mendapatkan selective incentives di dalam konteks hegemonik.
4. Paradoknya Inpres No.9/1975 yg memiliki tujuan ‘mulia’ guna menjadikan petani “tuan di atas tanahnya sendiri”, namun dalam realitasnya jauh dari menjadi “tuan”, sebab yg tejadi justru menjadi buruh bagi tanahnya sendiri. Dalam kajiannya Hotman melampiri banyak data empiris di beberapa desa di kecamatan Papar yg menunjukkan proses “krisis agraria” ini terjadi secara sistematis dan terus menerus.
5. Sikap pembangkangan terselubung petani itu dilakukan dengan cara keluar dari sistem produksi TRI. Dlm beberapa kasus, petani memiliki berbagai “siasat” halus yg cerdik (tdk konfrontatif) untuk membangkang yg dilakukan sesuai dengan yg dimusuhinya. Misal:
a. Siasat untuk “glebegan” (giliran tanam)
b. Siasat untuk Tebang Angkut
c. Siasat untuk Jadwal Giling
d. Siasat Rendeman dan Bagi Hasil dll.

Disini timbul paradok baru, sebab pada dasarnya pembangkangan tsb membuka peluang efisiensi dan efektivitas dlm sistem produksi, namun kenyataannya, efisiensi dan efektivitas tsb di reduksi oleh tingginya regulasi dalam program TRI.
>> Tawaran
1. Hotman S, secara teoritis dalam riset ini hendak mengajukan teori pembangkangan terselubung dlm konteks teori-teori yg membicarakan protes-protes sosial dan tindakan kolektif petani.
2. Dlm kesimpulannya, dia menyebutkan bahwa teori pembangkangan terselubung pengalaman petani TRI dpt dikategorikan sbg everyday forms of peasant resistance, namun di dlm konteks memudarnya ikatan2 tradisi desa, sehingga…
3. Pembangkangan terselubung petani TRI tsb tidak dlm upaya mempertahankan tradisi yg mengalami erosi akibat komersialisasi dan perluasan pasar.
>> Di sisi lain…
Hotman S, menegaskan bahwa:
“teori pembangkangan terselubung merupakan tindakan rasional dan individual para petani, tp bukan dlm kategori Pilihan Rasional sebagaimana dikatakan Samuel Popkin.
Sebab menurutnya pengalaman pembangkangan TRI tdk bersifat terbuka, berlangsung secara informal, tdk di nyatakan, dan dalam sekala yg kecil.”

>> Maka..
Menurut Hotman S:
Berkaca pada hasil pengalaman petani TRI yang ditelitinya di Kediri dan beberapa daerah lain di JATIM, “posisi teori Pembangkangan Terselubung yg dikemukakan dlm studinya ini merupakan eklektisasi yg berada di antara teori everyday forms of peasant risistance (Scott) dan Teori Pilihan Rasional (Popkin) yg dihubungkan oleh faktor kuanya hegemoni negara, baik secra ideologis maupun material.

Rute lanjut…

Pengalaman studi Hotman S di Kediri menunjukkan sebuah bentuk2 ‘perlawanan terselubung’ petani akibat kuatnya tirani hegemonik, sementara, kini struktur politik, ekonomi, sosial budaya ;hegemonik hari ini terlihat jauh lebih kompleks, rumit dan dlm skala yang lebih luas dan ‘mengglobal’ ….

kira2, bagaimana ‘nafas perlawanan kaum tani’ kini, kita kenali dan petakan? Optik apa yang relevan? Dan, mungkin yang lebih utama menemukan dulu, mengapa mereka melawan? Kondisi dan stuktur sosial-politik apa yang menciptakannya?

Barangkali, dari sini, gerakan sosial (?) terbantu pemberangkatkanya… ! Dan Hotman S telah menyumbang salah satu ‘batu bata’nya untuk dilanjutkan..



Presentasi Tesis : “Perlawanan Tersamar Organisasi Pertani (Upaya Memehami Gerakan Sosial Petani)” oleh Heru Purwandari

>> Latar Belakang Teoritis:
• Kajian organisasi petani belum banyak
• Sulit menemukan ketersambungan petani dengan organisasi
• Meninjau kembali konsep perlawanan petani dalam sudut pandang teori klasik
• Marginalisasi petani lebih sering muncul karena tekanan dari luar (sosio-ekonomi-politik)
• Pendekatan pembangunan baik oleh pemerintah/LSM tidak berhasil menolong petani mencapai kemandirian

>> Latar Belakang Empiris
• Keterkaitan aspek sosio-ekonomi dan politik bagi tumbuhnya organisasi petani
• Trend pertumbuhan organisasi post-1998
• Petani selalu ditempatkan pada pihak yang kalah
• Keberhasilan sebuah organisasi menata konsolidasi internal
• Tumbuhnya organisasi yang berbasis ekonomi
• Pentingnya kelembagaan di tingkat komunitas

>> Perumusan Masalah
Bagaimana respon petani atas permasalahan ekonomi dan politik yang dihadapi sebagai implikasi ideologi pembangunan pertanian

>> Rumusan Masalah
1. Bagaimana, mengapa dan dalam kondisi apakah organisasi petani terbentuk sebagai respon atas permasalahan ekonomi dan politik?
2. Karakter pengorganisasian petani bagaimana yang berpeluang memberikan solusi atas permasalahan yang ada?
3. Bagaimana karakter perlawanan petani apabila dikaitkan dengan watak negara dan aktor global?

>> Tujuan Penelitian
1. Studi tentang respon petani atas persoalan ekonomi dan politik
2. Memahami karakter perlawanan petani sesuai konteks permasalahan
>> Kegunaan Penelitian
Praktis: kesadaran tentang akibat negatif ideologi pembangunan pertanian yang bersifat production oriented
Analisis: telaah lebih lanjut realitas sosial dalam kerangka pendekatan gerakan sosial neo-Marxian

>> Kerangka Pemikiran
• Komunitas harus dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat (ekonomi, politik dan ideologi)
• Tiga aspek sebagai pijakan menganalisis konteks sosial yang menghasilkan perlawanan
• Teori perlawanan klasik petani tidak mampu menjawab perkembangan konteks sosial
• Perlu alternatif mengembangkan gagasan perlawanan sekaligus menghasilkan transformasi sosial
• Ciri pembangunan pertanian (production oriented) direspon dengan gaya petani (people oriented)
• Kritik tersebut dalam pemikiran Korten dapat disejajarkan dengan organisasi rakyat generasi keempat (strategi alternatif pembangunan yang melihat skala global)

>> Pendekatan Lapang
 Strategi penelitian
 Interpretatif-kritis dalam ranah metodologis
 Metode kualitatif dan meminjam metode kuantitatif (kuesioner terbuka)
 Lokasi dan waktu penelitian
 Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT)
 3 bulan
 Unit analisis dan teknik pengambilan data
 Organisasi, untuk memperoleh gambaran karakter perlawanan
 Serikat, paguyuban, dan kelompok tani
 Teknik pengambilan data
 Primer (panduan pertanyaan, kuesioner terbuka, Focus Group Discusion-FGD, pengamatan)
 Sekunder (laporan kegiatan, media komunikasi organisasi)
 Teknik pengolahan dan analisa data
 Interpretatif-kritis (memaknai realitas sosial secara kritis dari sisi metodologis)
 Proses dialogis-komunikatif

>> Perlawanan Tersamar Organisasi Petani
• Perlawanan halus tanpa merubah struktur awal
• Melawan kemapanan dengan memperkuat aliansi dan menjadi bagian agenda negara
• Mengembangkan kegiatan produksi dan peningkatan ekonomi anggota
• Strategi: membungkus langkah taktis dan strategis melalui kemandirian dan kebersamaan di tingkat internal organisasi
• Perlawanan ditujukan terhadap ideologi pembangunan yang menjadi mainstream umum sekaligus terhadap ideologi kapitalis
• Ideologi perlawanan sebagai basis melakukan dekonstruksi sosial

>> Kesimpulan
1. Organisasi tumbuh sebagai respon kondisi ekonomi dan politik
2. Pengalaman pendekatan production-center oriented “memaksa” petani melakukan pendekatan people-center oriented
3. People-center oriented dilakukan dengan strategi community development (CD)
4. CD dilakukan dengan cara membangun kemandirian, merebut akses-kontrol, dan pemberdayaan petani
5. Mendobrak kekuatan dengan dari production-center oriented menuju people-center oriented
6. Desain perlawanan = perlawanan tersamar (proses adaptasi terhadap kemapanan sosial yang sedang berlangsung)
7. Memindahkan jalur perlawanan dari pola radikal ke pola halus

>> Saran
1. Ketersambungan ideologi antar level organisasi diperlukan untuk mengarahkan mainstream perlawanan
2. Kesulitan menyambungkan kepentingan praktis/pragmatis di tingkat kelompok petani dengan ideologis perlu mendapat porsi tersendiri dalam kerangka pengorganisasian
3. Kegagalan organisasi petani karena kegiatan di tingkat basis dengan politik tidak tersambungkan
4. Perlunya saluran politik sebagai jenjang karir aktivis dan saluran aspirasi komunitas lokal


Sesi Pembahasan

>> Olwan Sitorus
- Hukum yang otentik harus hukum yang sesuai dengan akal sehat masyarakat. Jadi pembangkangan terselubung yang sedang terjadi itu karena hukum sedang mencari alur yang tepat agar bisa tercipta hukum yang sesuai dengan masyarakat.

>> Nyoman
- yang dikaji dalam review mas Eko dan mbak Heru hanya jenis – jenis pembangkangan yang terjadi, tidak dijelaskan penyebabnya.
- kenapa pembangkangan terselubung ini tidak pernah muncul? (terkait dengan pertanyaan pak Nyoman pada sesi diskusi sebelumnya)

>> Monang
- dari dua review tersebut, peran community organism belum dijelaskan.
- apakah peran community organism dalam tulisan Hotman S berpengaruh terhadap community development?
- untuk tesis mbak Heru, dekonstruksi sosial seperti apa yang terjadi dalam kasus SPP QT tersebut?

>> Ibu Yulfita
- terkait dengan hasil review pak Eko, ada contoh kasus mengenai petani tebu di Madiun. bentuk perlawanan yang dilakukan berupa pembakaran tebu. yang aneh, pembangkangan terselubung tersebut terjadi terus – menerus, tidak membuka diri.

>> Muhammad Sabri (mahasiswa Politik UI)
- dalam tulisan Hotman S, belum jelas apakah ada gerakan terselubung yang sudah berlangsung lama.

Tanggapan:

>> Eko Cahyono
- bentuk gerakan (individu atau kolektif) tergantung pada dengan siapa mereka berhadapan (tergantung siapa pihak yang dimusuhi).
- Di Kediri, gerakan terselubung yang terjadi tidak ada kontinuitas dengan gerakan terselubung yang terjadi sebelumnya
- Hotman S ingin menegaskan bahwa perlawanan terselubung adalah akibat dari gagalnya program IMPRES yang gagal mengartikulasikan kepentingan petani

>> Bayu (Universitas Indonesia)
- dalam melihat proses kegagalan suatu program jangan hanya terjebak pada relasi antara masyarakat secara vertikal dengan negara. kita perlu melihat relasi antara warga masyarakat sendiri (berdasarkan pada kasus kegagalan koperasi di daerah Jawa Barat). Apalagi dalam konteks pertemuan kali ini kita juga membahas agenda reforma agraria.
- gerakan sosial di beberapa negara dunia ketiga tergantung keberhasilan negara tersebut memanfaatkan momentum – momentum politik (berdasarkan diskusi di AJB)  dikaitkan dengan reforma agraria.
- apakah harus ada gerakan politik yang lebih massive untuk mewujudkan terjadinya reforma agraria.

>> Martua Sirait
- sebelum reforma agraria dibicarakan, akan terlalu mentah untuk membicarakan hal tersebut jika kita belum mengerti relasi agraria.

>> Heru Purwandari :
- ideologi pendiri SPP QT berpengaruh pada bentuk perlawanan.
- ada konteks ekonomi dan politik yang mempengaruhi bentuk perlawanan yang terjadi, yaitu perlawanan kolektif. konteks politiknya tersendiri berasalah dari faktor religi (MU yang progresif yang tidak hanya berkecimpung dalam bidang agama tapi juga bidang kemasyarakatan).

>> Pak Gunawan Winardi
- pertanyaan : apa yang dimaksud dengan radikal? jika kita melihat dari asal kata, ‘radiks’, artinya adalah ‘kembali ke akar’. jadi seharusnya tidak perlu ada negosiasi.


Testimoni Pelaku Gerakan Sosial Pedesaan
• Serikat Petani Pasundan
• Gerakan Pemetaan Partisipatif

Serikat Petani Pasundan
Pembicara : Ibu Wati (Pemuka organisasi tani lokal desa Pesawahan)
Moderator : Ibu Laksmi

Ibu Wati memiliki nenek moyang dari wilayah ciamis utara. pada tahun 1965 dibawa orang tua ke Pasawahan karena ada gejolak politik. Selain itu di sana ada seorang kepala desa yang memperjuangkan tanah untuk rakyat. Ayah dari Ibu Wati mendaftar untuk mendapatkan tanah, tapi tidak jadi karena kepala desa tersebut tewas ditembak.

Kakak dari Ibu Wati menikah dengan seseorang yang kaya sehingga orang tua ibu wati turut dibawa serta dan menggarap perkebunan karet di selatan. Ibu Wati mengatakan bahwa sejak dulu hidupnya selalu miskin. Hal tersebut terjadi karena ketika dulu ia pindah dari wilayah utara ke selatan, tanah yang dijanjikan untuknya selalu direbut sehingga ia tidak pernah bisa mendapatkan tanah untuk menghidupi dirinya.

Penjelasan Mengenai Film
- 44 KK petani penggarap diserang oleh preman yang dibayar PTPN 8 di wilayah desa Gendang.
- tanaman masyarakat habis dibabat, rumah penduduk dibakar, warung dijarah, kolam penduduk diambil ikannya.
- tanah di sana dilubangi para preman untuk ditanami coklat
- petani perempuan dikumpulkan untuk mengadakan perlawanan terhadap para preman tersebut.

Pertanyaan & Tanggapan

>> Satyawan Sunito
T : Bagaimana sejarah tanah di desa tersebut?
J : Tanah di sana merupakan tanah negara dan dikelola oleh perkebunan.


T : kenapa masyarakat kemudian tiba – tiba menggarap tanah negara? informasi bahwa tanah negara bisa dikelola oleh masyarakat berasal dari mana?
J : informasi berasal dari para aktivis. selain itu, para petani yang hidup kekurangan jelas akan memanfaatkan tanah kosong untuk menghidupi mereka.

>> Olwan Sitorus
T : selain karena lapar, apakah ada hal lain yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong? apakah karena lahan tersebut merupakan lahan warisan atau yang lainnya?
J : lahan yang ada kebanyakan dulunya merupakan lahan milik nenek moyang yang diambil oleh pihak belanda, kemudian akhirnya lahan tersebut diamabil lagi oleh masyarakat. Akan tetapi menurut hakim, di wilayah Jawa tidak ada lahan/tanah yang disebut sebagai lahan/tanah adat, istilah tersebut hanya ada di luar Jawa.

>> Satyawan Sunito
T : apakah ada perbedaan paradigma dalam penguasaan sumber daya atau hanya permasalahan dalam sistem hukum saja?

>> Tambahan dari Martua Sirait
- pada tahun 2006 ada konflik tanah yang besar antara satu pihak dengan pihak lain (perhutanan, perkebunan). oleh karena itu, perlu ada satu alat yang bisa memberitahu apakah tanah yang ada berkonflik atau tidak. perlu ada pihak yang menjadi moderator yang bisa membantu petani untuk bernegosiasi.
- kita perlu menanyakan terlebih dahulu sejarah klaim atas tanah oleh masyarakat, apakah tanah tersebut merupakan tanah turun temurun atau apakah karena mereka mendapatkan ijin untuk mengklaim tanah dari suatu pihak (negara atau perusahaan).
- desa perlu memiliki dokumen – dokumen yang memuat data mengenai batas lahan dan sebagainya agar tidak terjadi konflik atas tanah.

>> Tanggapan dari Monang
- hampir di seluruh NKRI, investasi lebih diutamakan daripada penanganan konflik karena tidak adanya negosiasi. selalu dilakukan pemaksaan.

>> Satyawan Sunito
- mengenai rapid annual assessment (?), jika permasalahan sudah selesai dipetakan, apakah itu hanya permasalahan pragmatis saja?
- apakah rakyat tidak memiliki hak ekonomi jika mereka tidak memiliki klaim sejarah?
- kita biasa berpikir bahwa modal bersifat dinamis dan penduduk bersifat statis. Akan tetapi sesungguhnya masyarakat bersifat sangat dinamis, contohnya saja kakek dari Ibu Wati yang berpindah dari wilayah utara ke wilayah selatan untuk mendapatkan tanah. ini yang bisa menyebabkan masyarakat tidak memiliki klaim sejarah.

>> Tanggapan Bapak Martua Sirait atas Pertanyaan Bapak Satyawan Sunito
- proses – proses pembaruan kebijakan harus jalan terus. kita harus melihat keadilan dari kacamata kebijakan kontemporer, tidak hanya sekedar dari kacamata hukum atau kacamata masyarakat saja.
- Klaim sejarah perlu dilihat dari transaksi – transaksi ekonomi / sosial yang terjadi di masa lalu, bagaimana cara masyarakat masuk ke suatu daerah dan hidup di daerah tersebut.
PENUTUPAN
Pembicara : Bayu (Universitas Indonesia)
- workshop selama dua hari cukup memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita semua dan bisa berkontribusi untuk perkuliahan.
- diharapkan adanya kelanjutan hubungan diantara semua pihak yang terlibat dalam workshop dua hari ini

Notulensi LIBRA Putaran 7 di UI (20 Agustus 2008)

NOTULEN WORKSHOP TRANSISI AGRARIA DI PEDESAAN JAWA:
PERSPEKTIF GERAKAN SOSIAL

Tanggal : 20 Agustus 2008
Hari : Jumat
Tempat : Gedung H 103, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI


Workshop dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya 3 stanza dan sambutan dari pihak – pihak yang terlibat dalam workshop tersebut.

SESI PEMBUKAAN

Sambutan dari Muhammad Shohibuddin
- pemberitahuan mengenai alur pertemuan selama dua hari (20-21 Agustus 2008). Pada pagi hari akan ada dua sesi ceramah, dan pada sore hari ada tiga sesi ceramah. besok (tanggal 21 Agustus) akan ditutup dengan sesi testimoni mengenai pelaku gerakan sosial pedesaan.
Sambutan dari pihak kelompok studi sosiologi pedesaan (Pak Daddi H.G)
- harapan akan semakin banyaknya diskusi mengenai agraria, undang – undang pedesaan, dan pertanian di lingkungan UI
SESI CERAMAH DAN DISKUSI I
“Perubahan Agraria di Jawa dan Perlawanan Petani: Tinjauan Historis”

Pembicara : Andi Achdian
Moderator : Bayu

>> Continuity & Change
Harry J. Benda: “Memperbaiki dan menciptakan kembali kesimbangan sosial yang dilakukan dalam konteks lokal." (Harry J. Benda. Continuity and Change in Southeast Asia. Yale University Southeast Asia Studies. Monograph Series No. 18, New Haven, 1972).
[Agency, Structure, Territory, Culture]
1. Politik Dinasti dalam sejarah pra-kolonial (pajak kolonial);
2. Perlawanan terhadap kekuatan asing dalam sejarah kolonial (pajak dan eksploitasi tenaga kerja)
3. Radikalisasi Petani dalam sejarah Indonesia modern (klaim atas tanah dan sistem bagi hasil)
4. Orde Baru dan permasalahan sengketa atas tanah (yang tidak muncul adalah bentuk-bentuk eksploitasi)

>> Studi Kesejarahan & Petani di Indonesia
 Pelopor kajian pedesaan dan petani di Indonesia: Sartono Kartodirdjo dan Ong Hok Ham dengan tema transformasi sosial besar-besaran dalam akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Jawa.
 Kerangka studi mengenai gerakan petani dalam catatan sejarahnya telah berpusat pada dua tema sentral, yaitu hubungan antara petani dengan negara dan struktur sosial yang membentuk pola relasi antara petani di wilayah pedesaan
 Fokus pada masalah kepemimpinan, ruang lingkup, ideologi dan tingkat partisipasi dalam gerakan yang mencerminkan struktur sosial-politik lokal; konteks sosial yang tidak adil (pajak atas tanah) dan ideologi gerakan petani juru selamat (mesianisme), ratu adil (millenarisme), gerakan kenabian (prophetisme), penghidupan kembali (revivalisme) dan gerakan pribumi (nativisme).

>> Radikalisasi dan Mobilisasi Politik Nasional
 Studi-studi lain tentang gerakan petani dan politik pedesaan setelah periode revolusi Indonesia menampilkan aksi-aksi pendudukan kaum tani terhadap lahan-lahan perkebunan yang telah ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya di Jawa dan Sumatra.
 Konflik yang terjadi kemudian dalam periode 1950-an adalah antara petani di wilayah perkebunan dengan negara yang mencoba untuk menata kembali sistem perekonomian nasional melalui restorasi lahan-lahan perkebunan kepada pemilik semula dan kemudian diikuti dengan program nasionalisasi pemerintah pada pertengahan tahun 1950-an.
 Clifford Geertz yang membuat skema politik aliran dalam kategori abangan, santri dan priyayi. Pola aliran semacam ini kemudian menjadi cerminan bentuk konflik yang terjadi di tingkat lokal maupun nasional seperti yang terjadi pada konflik politik pada masa Orde Lama.
 Pada dekade 1960-an, para penulis tentang gerakan petani memaparkan tentang perkembangan di wilayah pedesaan melalui konflik-konflik antara kaum petani berdasarkan isu kelas yang dimotori oleh PKI dan organisasi massanya. Kebanyakan studi-studi pada periode ini menekankan pencarian pada faktor-faktor penyebab konflik di wilayah pedesaan dengan melihat kondisi struktural serta kultural (ada upaya membuat sintesis antara aliran dan politik kelas).

>> Demokratisasi dan Protes Petani dalam periode Orde Baru
 Pada masa Orde Baru, studi-studi tentang protes petani dan gerakan yang muncul kemudian dilatarbelakangi oleh upaya memahami bagaimana hubungan antara negara dan masyarakat terhadap penguasaan sumberdaya alam. Studi-studi menarik tentang gerakan protes petani menawarkan perspektif semacam ini melalui berbagai studi kasus seperti yang terjadi dalam protes petani di Jenggawah, Nipah, Cimacan, Rancamaya dan lain-lainnya.
 Selain itu, terdapat juga studi-studi yang melihat gejala polarisasi di pedesaan yang didasarkan pada intervensi negara terhadap kaum tani melalui berbagai program pembangunan seperti revolusi hijau, modernisasi dan intensifikasi produksi pertanian.
 Meskipun demikian, kerangka konseptual semacam itu menjadi terlalu sederhana saat dihadapkan dengan realitas aksi-aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh kaum tani sekarang ini. Berlainan dengan asumsi Kartodirdjo, aksi-aksi tersebut terjadi tanpa mengusung simbol-simbol keagamaan seperti yang dikemukakan dalam kajiannya. Begitu juga dengan pemilahan kaum tani dalam pola aliran seperti yang dikemukakan oleh Geertz.

>> Landreform Case
 Perbandingan antara distribusi tanah dan bagi hasil  kaitannya dengan konflik pedesaan pada tahun 1960-an;
 Ekonomi politik konflik  basis ekologi dan historis lingkup produksi pertanian  Kasus Kediri, tanah basah dan perkebunan Jengkol;

>> Comparative Lessons
 Charles Tilly dalam karyanya The Vendee (1967) tentang faktor-faktor ekologis radikalisasi petani yang terjadi selama revolusi Prancis pada abad ke-18. Tilly mengemukakan pentingnya menempatkan ekologi pertanian yang berbeda sebagai faktor yang melengkapi munculnya radikalisasi dan perlawanan keras petani terhadap negara.

>> Asia Tenggara
 James C. Scott (konteks Asia Tenggara) mencoba memberikan pemetaan terhadap ekologi pertanian yang berbeda dengan hasil radikalisasi dan perlawanan yang berbeda pula di antara petani.
 Menurut Scott, struktur desa tradisional yang komunal di wilayah Annam, Tonkin, Dataran Tinggi Burma serta Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih mudah mengalami mobilisasi dan radikalisasi, sebaliknya desa-desa yang terpecah secara struktural dan sosial seperti wilayah dataran rendah Burma dan Conchincina lebih sulit membangun kekuatan kolektif dan memperjuangkan kepentingan mereka.

>> Lainnya:
- transisi dimaknai sebagai sebuah proses sejarah.
- melihat persoalan mengenai gerakan sosial di Indonesia melalui studi kasus.
- konteks perkembangan masyarakat Indonesia (Jawa)
pertanyaan : apa yang membuat masyarakat jawa bisa survive? (sebagai komunitas, masyarakat)
Makalahnya mengenai Continuity and Change, melihat dinamika transisi pertanian di desa(khususnya di daerah Jawa).
Desa-desa di Jawa dilingkupi batas wilayah. terpisah oleh watak gunung berapi (spekulasi dari sisi sejarah)
a. politik dinasti :
- dalam sejarah pra kolonial (pajak kolonial merupakan isu yang sering muncul, dikaitkan dengan konsep mengenai keadilan)
b. Perlawanan terhadap kekuatan asing dalam sejarah kolonial.
c. radikalisasi petani dalam sejarah Indonesia modern (klaim atas tanah dan sistem bagi hasil).
d. Orde baru dan permasalahan sengketa atas tanah (yang tidak muncul dalam bentuk eksploitasi). terjadi perubahan, pada periode ini yang muncul sebagai aktor adalah organisasi – organisasi mahasiswa dan LSM. kasus sengketa tanah di dataran tinggi paling sering muncul. Pada periode ini pengorganisasian kuat di sektor perkebunan.

- ada sebuah karakter pada tahun 60an di mana gerakan sosial menjadi sebuah konflik yang berdarah. ketika berurusan dengan isu agraria, ada konflik yang terjadi antara petani dengan negara. (kasus mengenai tanaman jengkol). Ada perbedaan cara berpolitik para petani di dataran tinggi (perkebunan) dengan petani di tanah basah (dataran rendah).
- Pada tahun 60an kekuatan PKI terbesar ada di dataran tinggi karena karakter masyarakatnya yang cenderung homogen.
- Ada simbol tradisional yang digunakan (keagamaan) : protes petani pada periode ini dipimpin oleh para pemuka agama (Pak Haji, dll) ada unsur kewibawaan.
- Aspek kontinuitas terjadi dalam kepemimpinan.

Sesi Tanya-Jawab I
pertanyaan :
>> Monang (Aliansi masyarakat adat nusantara)
- Stigma mengenai radikalisasi. Apakah petani tepat disebut melakukan radikalisasi?
- antara Jawa dengan Luar jawa ada perbedaan soal agraria, tanah Jawa dikuasai kaum - kaum sultan (kerajaan). di luar jawa kaum sultan hanya terlibat dalam urusan administrasi. Yang memiliki tanah adalah kelompok – kelompok komunal.
>> Fakhrul
- apakah metode yang digunakan merupakan sesuatu yang disadari negara sebagai satu bentuk kejahatan yang sebetulnya keliru dan berjalan terus – menerus (dari era kolonial sampai sekarang).
>> Satyawan Sunito
- bagaimana menghubungkan radikalisasi petani di daerah low-land (atas dasar tahapan-tahapan ekspansi kolonial & penetrasi kapitalisme masyarakat desa) .
>> Sundung Sitorus
- UU muncul untuk melindungi petani – petani dalam hal bagi hasil

Pembahasan :
>> Jawaban untuk Monang
radikalisasi bisa mewakili watak dari sebuah gerakan. istilah tersebut bisa membantu untuk melihat sejauh mana persoalan muncul, bagaimana proses pengorganisasi dilakukan dengan berbagai cara (contoh : gerakan yang dilakukan oleh komunis). stigma penamaan radikalisasi tidak menjadi masalah, persoalan terletak pada konfliknya, bukan penamaannya.

>> Jawaban untuk Setyawan Sunito
garis keras dibuat antara upland dan lowland berdasarkan pihak – pihak yang terlibat (LSM – LSM, organisasi). di lowland, (berdasarkan kasus di Kediri) perlawanan berasal dari seorang tokoh masyarakat desa yang memiliki benturan dengan masalah kolonial, termasuk dengan lurah yang merupakan pegawai kolonial.

>> Jawaban untuk Sundung Sitorus
secara normatif, dalam UU bagi hasil memang diatur agar tercipta hubungan harmonis antara penggarap dan pemilik tanah.

Tambahan :
>> Ibu Soraya
- Di lowland, konflik tidak dengan tanah perkebunan negara, tapi dengan para haji. konflik di upland lebih ‘mudah’ karena berhubungan dengan negara, bukan dengan sesama mereka (masyarakat). Ada alasan mengapa petani melawan / tidak melawan, ada faktor agama yang terlibat (dosa mengambil hak orang lain).
>> Ibu Yulfita
empirical evidence (di Blitar). bahwa memang ada perbedaan watak konflik. Pada waktu masa penjajahan Belanda, Blitar termasuk low land. meskipun sama – sama landless,

>> Rektor STPN
- pendekatan sejarah sosial yang sama sekali melepaskan perspektif mezzo – makro bisa menghilangkan konteks […]. Jika kita membangun dengan perspektif konstruktif, entitas petani itu tetap. petani yang kaya bisa mengubah boundaries dalam konteks mezzo-makro, berbeda dengan petani yang landless.

Sesi Tanya-Jawab II
pertanyaan :
>> Pak Gunawan Winardi
komentar :
- ada faktor eksternal yang menggerakan petani.
- ada salah tafsir mengenai UU (mengenai gadai dan bagi hasil). di Taiwan bagi hasil 62,5% untuk petani penggarap. UU no 02 tahun 1960 menyerahkan soal pembagian hasil terhadap para petani

pertanyaan :
- sepanjang sejarah jika berbicara tentang gerakan sosial pasti akan berkaitan dengan gerakan politik. gerakan rakyat yang melibatkan petani yg frontal akan cenderung mengalami kegagalan. menurut sejarah, gerakan berhasil selalu karena ada aktor yang menyelundup ke dalam (secara diam – diam). Mengapa belum ada sejarawan yang bisa menjelaskan apakah membenarkan pandangan marxis bahwa petani sukar digerakkan.

>> Laksmi
- apa sebenarnya yang dimaksud dengan gerakan sosial? apakah harus selalu berarti melawan negara?

>> Mohammad Sabri (mahasiswa politik UI)
- Apakah gerakan sosial yang tumbuh di desa adalah gerakan sosial yang murni muncul dari petani? karena jika dilihat berdasarkan sejarah, gerakan sosial terkesan dijalankan oleh kaum borjuis yang merasa dirugikan oleh struktur. selain itu, gerakan sosial juga terkesan berlawanan dengan tradisi masyarakat Indonesia (ex : Jawa yang cenderung nrimo).
- gerakan sosial petani terkesan selalu berubah, apakah tergantung oleh aliran politik yang semakin lama semakin moderat?

>> Setyawan Sunito
- Di mana posisi petani (khususnya petani yang memiliki tanah) dalam kerangka ekonomi yang lebih besar? posisi mereka terbilang rentan, ini alasan mengapa banyak petani pemilik tanah yang terlibat dalam organisasi – organisasi.

>> tanggapan dari Ibu Soraya terhadap pertanyaan bapak Satyawan Sunito:
di luar Jawa (kasus di Tapanuli) juga tidak ada bedanya dengan Jawa, tergantung resources yang bisa membuat mereka bertahan (di tapanuli, petani meminta dana kepada para illegal logger). organisasi tani punya peran dalam pengumpulan resources karena mereka mendapat dana dari pemerintah dll.

>> Fakhrul
dari sudut pandang negara, tanah adalah komoditas. sementara di masyarakat tanah tidak hanya sebagai komoditas, tapi juga sebagai identitas suku. gerakan sosial yang muncul di masyarakat bawah (yang belum tersentuh pemerintah) adalah untuk bisa bertahan di tempat asalnya. gerakan sosial bukan hanya soal merebut suatu asset, tapi bisa juga untuk mempertahankan asset tersebut.

>> Daddi H.G
Mendukung pernyataan fakhrul :
tanah sebagai identitas juga terjadi di Bali. identitas memegang peranan kuat dalam sebuah konflik. tanah di Bali berhubungan dengan tempat – tempat suci, sehingga pihak KODAM dan pemerintah turut terlibat. Hal tersebut membuat gerakan sosial bisa sukses dilakukan.

>> Monang
konflik tanah di Jawa dan di Sumatra beda. Jika di Jawa Sultan terlibat, di luar Jawa, masyarakat lah yang lebih banyak berurusan / bernegosiasi dengan pemerintah. Jika urusan pertanian dikelola oleh rakyat sendiri, maka akan lebih dapat menghidupi rakyat, dibanding dengan dilakukannya radikalisasi.

>> Muhammad Yusuf (SAINS)  tanggapan
ada unsur SARA yang terlibat dalam gerakan sosial di bidang agraria (berdasarkan kasus di Poso). Konflik di Poso merupakan konflik antara masyarakat asli dengan migran, bukan dengan pemerintah.

>> Ibu Yulfita (tanggapan terhadap Mohammad Sabri)
Tradisi nrimo Jawa bukan sesuatu yang bisa digeneralisasi dalam masyarakat Jawa secara keseluruhan.
>> M. Sabri
pengakuan identitas tanah dimanfaatkan oleh modal.

>> Pak Eko (tanggapan)
tidak setuju dengan pernyataan bahwa watak gerakan sosial terbentuk oleh kekuatan politik dominan yang mengintervensi. entitas petani tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang tetap.

>> beberapa point penting dari diskusi sesi 1
- tanah sebagai suatu identitas
- petani sebagai suatu identitas yang borderless
- resources mobilization terhadap gerakan sosial petani
- investor memasuki jalur – jalur kultural
- kajian – kajian mengenai reformasi agraria diangkat lebih detail.

SESI CERAMAH DAN DISKUSI II
“Transisi Agraria di Jawa: Beberapa Tema Kunci”

Pembicara : Satyawan Sunito dan Gunawan Winardi
Moderator : Nia Elvina

Satyawan Sunito (Transformasi Agraria Jawa)

Transformasi agraria di jawa menyangkut perubahan dasar mengenai hubungan antara manusia dalam hal penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria
- penguasaan
- produksi
- hubungan produksi/eksploitasi
- dampak lingkungan

>> Sejarah Politik Pedesaan Jawa
Banyak ilmuwan sosial membagi masa sejarah politik pedesaan Jawa menjadi 3 bagian besar :
- pra kolonial
- kolonial pertama /awal
- kolonial akhir
Ada studi yang mengatakan bahwa dengan diberlakukannya tanam paksa, ekonomi di desa meningkat karena masyarakat mendapatkan upah. pada akhir abad 19 berubah menjadi sistem ekonomi yang lebih liberal di mana daerah dibutuhkan oleh para pemodal – pemodal. Kemudian pada akhir abad 19-awal abad 20 ke suatu sistem kolonial yang lebih maju, yaitu kolonial etis yang merupakan sebuah sistem yang dipaksakan pemerintah belanda karena mereka membutuhkan daerah jajahan yang lebih makmur.

Awal abad 20 ke sistem kolonial yang lebih maju (etis) yang merupakan satu sistem yang dipaksakan industri belanda yang mulai mencari pasar. Di sini terjadi suatu pertentangan antara golongan kolonial yang mendasarkan pada perkebunan dengan perindustian. Kepentingan perkeunan jauh lebih kuat daripada kepentingan industri.

Tanam Paksa dan Perubahan Struktur Sosial Desa Jawa
- Menghapuskan kewajiban petani pada bangsawan
- Pemerintahan desa menguat (otoriter)

>> Politik Penjajahan Etis
Terjadi persaingan antar golongan yang mendasarkan pada sistem perkebunan dengan golongan yang menggunakan kapitalis yang lebih maju.
Pada saat sistem etis dikembangkan di luar Jawa, ekspansi Belanda bertujuan untuk menyatukan Indonesia melalui pembantaian – pembantaian yang luar biasa.

Periode – periode Sejarah Politik Pedesaan Jawa
- pasca kolonial
pengembalian asset belanda
- demokrasi terpimpin
dilakukan nasionalisasi terhadap asset belanda, selain itu pemerintah juga menerapkan Land reform
- Orde baru
- Pasca Reformasi

>> Dari Sistem perkebunan kolonial ke post kolonial : mod of production

Belanda menghambat perkembangan industri dalam negeri agar upah buruh tetap murah. Ada pandangan yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak terjadi revolusi sosial, melainkan hanya revolusi nasional. Anderson berpendapat bahwa dengan kalahnya kaum pemuda oleh elit nasional dalam revolusi fisik pada tahun 1940an, kesempatan untuk melakukan revolusi sosial hilang. Dengan dekolonisasi, sistem perkebunan dikatakan telah runtuh.

Pada masa awal dekolonisasi Indonesia mewarisi sistem ekonomi perkebunan yang sudah hancur karena sudah tidak disokong oleh negara kolonial. Sedangkan pada orde baru, pemerintah bergantung pada modal asing sehingga sistem perkebunan bisa terus berjalan.

Faktor2 agraris dan non agraris memperbesar ketidakmerataan di daerah Jawa (petani kaya dapat mengakumulasi modal mereka). akibat yang terjadi adalah berkurangnya penyerapan tenaga kerja, tekanan pada pendapatan golongan miskin, konsentrasi tanah bertambah, dan komersialisasi sisitem tenurial.

peranan kegiatan non-farm bagi petani miskin merupakan keharusan untuk menyambung hidup sedangkan untuk petani kaya hal tersebut bisa digunakan untuk mengakumulasi modal mereka.

>> Proses Transformasi Agraria Jawa

Apakah terjadi polarisasi kelas dan munculnya petani kapitalis?
Dari studi di 9 desa menyimpulkan bahawa petani gurem dan landless lebih tepat disebut sebagai semiploretarian. Petani sedang mendapatkan tambahkan dari sektor non-farm sehingga tidak terpaksa menjual tanah. Dan petani kaya surplus dari pertanian di investasikan beragam tujuan tidak hanya diinvestasikan kembali ke tanah, tapi juga bisa ke life-style.

>> Komponen Struktur Agraria

Terjadi struktur kompleks tetapi tidak dikuasai petani besar atau petani sedang. Ini yang menyebabkan semua petani dalam posisi rentan karena adanya pemodal besar yang bisa meruntuhkan semuanya.

Tata kuasa <> dampak lingkuna< > eksploitasi <> tata kelola <> tata kuasa

Penelitian yang disampaikan terfokus pada Jawa.


Gunawan Winardi (Gambaran mengenai transisi dan transformasi secara umum)
Jika berbicara tentang transisi, kita berbicara mengenai peralihan. jika berbicara tentang transformasi, berarti kita berbicara mengenai perubahan dari satu bentuk ke bentuk lain yang membutuhkan waktu. di dalam proses transisi terdapat proses transformasi.
Jika membicarakan perubahan masyarakat, dalam masa transisi, arah transformasi bisa terjadi di luar rencana. kita bisa berbicara secara normatif (transformasi diarahkan melalui kebijakan ke tiga jalur : kapitalistik, sosialistik, neo ekopolistik) atau secara obyektif.
Transformasi dianggap selesai jika hasil dari perubahan melahirkan institusi dan struktur dalam masyarakat yang sifatnya dapat mereproduksi diri sendiri.
>> Bagaimana keadaannya di Pedesaan Jawa?
bagaimana proses transformasi yang terjadi? penelitian yang relatif mencakup semua wilayah dan mendalam hampir tidak ada. Ada 10 ciri di pedesaan Jawa :
- pedesaan jawa ditandai usaha tani yang luasnya kecil-kecil
- pemilikan tanah cenderung sempit tapi lebih merata daripada di luar jawa. tidak ada landlord seperti di philipina atau amerika latin.
- status kepemilikan tanah sangat beragam (ada implikasi tradisional yang masih berlaku)
- sebagian besar usaha tani digarap sendiri oleh pemilik tanahnya.
- proporsi penggunaan tenaga kerja luar keluarga untuk masa pra panen sangat besar (75-85 %). Berarti desa Jawa tidak lagi memiliki ciri peasant society
- terdapat jutaan keluarga tunawisma untuk semua bagian lapisan masyarakat. pendapatan dari pertanian merupakan pendapatan yang sangat penting
- Rumah Tangga pedesaan Jawa hidup atas dasar pembagian kerja antar anggota keluarga yang fleksibel. Semua memiliki pekerjaan yang bermacam – macam  berkaitan dengan difersifikasi dan diferensiasi pekerjaan (extreme occupation
- terdapat kelembagaan kerja yang rumit

Ada beberapa desa di mana pemerintahnya tidak menguasai arsip – arsip mengenai agraria (Seperti jumlah lahan, luas lahan, dll). jika kita melakukan studi mengenai transformasi dan transisi, ada 5 tema kunci dalam transisi agraria :
- dari sisi Marxian, kita bisa melihat perubahan (social formation).
- dari sisi lain, kita bisa melihat perubahan dalam hal stratifikasi atas dasar penguasaan tanah
- dinamika ketenagakerjaan.
- hubungan – hubungan; seperti hubungan tradisional : patron-klien
- diferensiasi profesi yang dikaitkan dengan difersifikasi pekerjaan

Pertanyaan :
Sesi 1
>> Pak Martua Sirait
ada perbedaan yang muncul pada paradigma mengenai masyarakat pedesaan Jawa. Apakah ada kacamata baru yang dapat digunakan untuk melihat fenomena – fenomena saat ini yang berbeda dengan pada masa tahun 1970an?

>> Monang
kolonisasi terjadi di masyarakat adat. dibandingkan dengan investasi perkebunan yang ada saat ini, investasi dari belanda dapat dikatakan lebih baik karena mereka mengenal negosiasi.

>> Ibu Soraya
untuk pak Gunawan : kalo mencermati statement pejabat, terkesan bahwa investasi untuk isu pertanian didorong dengan investasi swasta. resources di pedesaan didorong untuk menjadi resources yang masuk ke tambang, kehutanan, atau perkebunan. investasi dari luar desa itu tidak dilihat sebagai suatu bentuk investasi, sehingga tidak dikelola secara produktif yang bisa memberikan manfaat pada desanya.

>> M. Shohibuddin
- apakah kualitatif transformation dapat dicapai tanpa melalui reformasi agraria?
- satu desain mengenai reformasi agraria adalah membayangkan peran negara yang masih sangat kuat.

Jawaban dan Tanggapan
>> Gunawan Winardi
Yang terjadi bukan hanya sekedar orang desa yang kehilangan tanahnya dan terlempar ke kota, tapi juga orang kota yang tergusur karena adanya pembangunan mall dsb. keadaan ini juga menyebabkan orang desa masuk lagi dan terjadi gunungisasi (meningkatnya jumlah orang pergi ke gunung).
Untuk luar jawa, secara ekologis juga berbeda dengan desa di Jawa. oleh karena itu pembagian ala militer yang sangat tegas batasannya tidak cocok digunakan dalam aspek agraria.

>> Shohibuddin :
jika merujuk pada sejarah, transformasi diawali dua hal : land reform dan industrialization. jika dua hal tersebut belum terjadi, maka transformasi belum terjadi. reformasi agraria jelas belum terjadi.
>> Satyawan
tanggapan untuk Ibu soraya : apakah masyarakat kita menjadi buruh? tujuannya ternyata memang demikian. 70% sumber daya Indonesia dibagikan pada para pemodal besar, sedangkan penduduk hanya menjadi tenaga kerja. sumber daya seharusnya diberikan pada mereka yang bisa mengelola secara efisien.
Pak Shohib : kualitatif transformasi bisa dicapai tanpa reformasi agraria? itu tergantung kita mengikuti cara yang mana, para teknokrat atau kapitalis, atau yang lain. Beberapa negara memperlihatkan proses – proses yang menarik seperti brazil atau Venezuela yang menampilkan pendekatan yang berbeda.
REVIEW DAN PEMBHASAN BAHAN BACAAN I (ASPEK TEORITIS)
Noer Fauzi (2005), “Memahami Gerakan – gerakan Rakyat Dunia Ketiga”

Pembahas : Setyawan Sunito
Moderator : Muhammad Shohibuddin

Ada dua buku berpasangan, Noer Fauzi dan buku mengenai Monograf gerakan – gerakan rakyat dunia ktiga. buku mengangkat masalah gerakan rakyat pedesaan di dunia ketiga dengan konteks utama gejala umum neoliberalisme yang menggelar kuasanya dalam bentuk yang beragam.
tujuan penulisan bukunya ingin merefleksikan dinamika pasangan dua konsep : kuasa dan perlawanan di mana keduanya bersifat dialektis dalam perjuangan rakyat desa yang manifest.
isi bukunya terdiri dari 3 kelompok pembahasan, yaitu :
1. debat teori klasik mengenai asal – usul pemberontakan petani sebagai akibat penetrasi kapitalisme dan negara pedesaan di dunia ketiga. petani menjadi golongan utama
2. profil gerakan – gerakan rakyat kontemporer di dunia ketiga yang dijelaskan dengan kerangka penjelasan berupa 3 pokok : tafsir atas situasi yang mereka hadapi, kesempatan politik yang dimungkinkan yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, pilihan jenis aksi kolektif.
3. konteks baru yang dihadapi (melahirkan penjelasan baru) :
- gerakan rakyat dalam periode kontemporer harus dipandang dalam hubungannya dengan pembagian kerja kapitalis
- maraknya new social movement : dari perjuangan atas tanah yang bisa berhimpitan dengan perjuangan atas rekognisi identitas.
>> Penjelasan Klasik
Ada dua isu utama yang selalu tampil :
1. petani sebagai golongan utama di pedesaan negara dunia ketiga (berbagai konseptualisasi atas golongan petani)
2. konfigurasi dari hadir dan bekerjanya kuasa – kuasa baru yang menyebabkan kemerosotan hidup golongan petani secara berkelanjutan.

>> Teoritisasi oleh sejumlah penulis
Wolf (1969) : Masyarakat pra kapitalis  mekanisme resiprositas
Migdal (1974) : ketegangan tidak menciptakan krisis besar, kecuali jika melalui penetrasi kapitalisme.
Scott (1979)
menjelaskan kemarahan petani akibat dari ketegangan tatanan sosial yang didasari tertib moral sistem
gerakan petani terjadi ketika ada kelas yang terus berkuasa atas dasar penguasaan tanah. ketika kemudian mobilitas petani bawah untuk meraih kelas yang lebih baik terhambat, maka ini akan menjadi kondisi yang menyebabkan gerakan petani terjadi. hal ini juga tergantung sejauh mana petani bisa menciptakan solidaritas di antara mereka. jika petani tersebar, tentu mereka tidak akan bisa melakukan suatu perjuangan.

>> Penjelasan Baru
1. situasi umum yang dimusuhi
a. Pagelaran kuasa kapitalisme (Dalam dunia ketiga muncul dalam bentuk kapitalisme pinggiran)
b. perkembangan kapitalisme neo liberalism, menghasilkan dua dampak ganda : kaum petani di pedesaan tercerabut dari ikatannya dengan tanah dan menjadi tentara cadangan buruh. selain itu proses ini juga menghasilkan re- peasant-isation.
2. Perbedaan tampilan melalui kesempatan politik yang dimanfaatkan gerakan
a. transisi demokrasi dan demokratisasi pedesaan
b. struktur kesempatan politik
c. perubahan politik yang dihadapi gerakan
d. dua wajah ornop : pro dan anti gerakan rakyat
3. Ragam bentuk aksi – aksi kolektif yang diandalkan
a. studi perbandingan dan gerakan petani di berbagai negara

Diskusi Buku yang di review
>> Ibu Soraya
definisi mengenai gerakan sosial memiliki perbedaan. dalam analisis klasik, gerakan sosial adalah gerakan rakyat. analisisnya adalah bahwa gerakan tersebut tumbuh dari rakyat yang kemudian bentuknya bisa terorganisir atau tidak. Di dunia ketiga, analisis mengenai gerakan sosial dimulai dari kaum petani. Ada fenomena baru yang muncul di sini, yaitu kemunculan NGO yang dianggap bukanlah sebuah gerakan sosial. posisi NGO dalam gerakan sosial masih diperdebatkan. di Indoesia sendiri, gerakan sosial tidak bisa lepas dari keberadaan NGO. terkait dengan keadaan ini, definisi klasik dari gerakan sosial tidak bisa dipakai lagi, sehingga perlu ada definisi baru.

>> Pak Sundung Sitorus
- De-agrarisasi, deagrasiasi, dan deagrarisasi sebagai akibat dari pasar berskala dunia sifatnya tidak selamanya salah.
- social movement Indonesia nampaknya tidak pernah berhasil kecuali dalam bidang industri. pertanian tidak pernah mencapai keberhasilan.

>> Pak Martua
- Saat ini, gerakan sosial tidak dilhat sebagai sebuah teori yang tidak selalu berbasis pada kelas seperti yang dikatakan Marxian. Yang dilihat bukan basis kelasnya (pertentangan kelas) tapi mengenai arah transisinya. lebih kepada masyarakat pedesaan seperti apa yang kita inginkan.kita perlu dulu masyarakatnya seperti apa kemudian baru melihat investasi dan model industrinya seperti apa.
- modern contemporer tidak bisa dihentikan krn buku tsb membuktikan bahwa bertemunya nilai2 global dengan nilai2 lokal yang membuat batas keduanya menjadi semakin tipis, ditandai dengan banyaknya aktivis yang berasal dari middle class dan dari kota. kita perlu mempertajam arah transisi masyarakat.
>> Pak Gunawan Winardi
- berpikir ilmiah adalah menyederhanakan barang yang rumit.
- jika membaca buku baru, jangan jadikan pandangan si penulis buku menjadi sesuatu yang harus dilakukan, tapi jadikan itu sebagai tambahan pengetahuan.
>> Rektor STPN
- sebuah gerakan selalu dikaitkan dengan sebuah peristiwa yang lebih besar.
- karena terjadi perubahan dalam pendefinisian gerakan, maka timbul anggapan bahwa gerakan tidak selalu harus bersifat kontinyu, tergantung parameter yang kita gunakan.
>> Monang
- stamina dan momentum adalah dua hal yang penting untuk melakukan suatu gerakan.
- ada momentum juga dimana NGO menyadarkan kembali kelompok yang sudah menyadari kepentingannya.
>> Tanggapan dari Reviewer (M. Shohibuddin)
- Di buku Noer Fauzi NGO tidak dijelaskan secara panjang lebar, hanya disebutkan bahwa ada NGO yang anti dan ada yang pro terhadap gerakan yang dilakukan rakyat.
- setiap gerakan di sini (buku tersebut) punya kondisi spesifikasi yang khusus. gerakan tersebut belum bisa dikatakan sebagai transformasi karena belum menghasilkan perombakan / model pembangunan yang baru meskipun sudah bisa melobi pemerintah sekalipun
- gerakan sosial melibatkan aksi kolektif yang manifest.

Kamis, 21 Februari 2008

Notulensi STPN 30-31 (Eko Cahyono)

Catatan Singkat
Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria
(LiBBRA)
STPN Yogyakarta
Selasa-Rabu: 30-31 Januari 2008

Oleh: Eko Cahyono



hari pertama;

Ruang pertemuan berbentuk oval di gedung PPD lantai 2, bagian sebelah timur Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Godean Yogyakarta menjadi ‘saksi’ pertemuan awal dari rencana rangkaian pertemuan Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (selanjutnya cukup, RA saja) dengan tema cukup gagah: “Kebangkitan Studi Agraria dan Agenda Reforma Agraria di Awal Abad 21” hasil kerja ‘gotong royong’; Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor (PKA-IPB), Lingkar Pembaruan Pedesan dan Agraria (KARSA) Yogjakrta dan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor.

Kurang lebih 30 orang peserta belajar, baik peserta tetap maupun undangan sudah nampak tertib di ruangan oval itu sejak pukul 09.00 WIB sebagaimana kesepakatan di manual acara, untuk mengikuti Pembukaan acara yang dimulai dari sambutan Rektor STPN Yogyakarta Dr. Endrarto Sutarto. Secara garis besar penjelasan beliau terkait dengan perubahan paradigma dan visi STPN dari garis orientasi keilmuan “pertanahan’ dalam makna ‘teknis’, menjadi orientasi ke “ke-agraria-an’ dalam maknanya yang paling luas, dengan cita-cita besar menjadikan STPN sebagai center of excellence dari kajian, penelitian, studi dan diskursus Reforma Agraria di Indonesia, selain sebuah tanggung jawab ‘moral dan akademik’ sebagai satu-satunya Perguruan Tinggi di Indonesia yang terkait langsung dengan soal dunia “Pertanahan”.

Pengantar diskusi pada sesi pertama, setelah rehat dan coffe break (yang cukup banyak variasi makanan dan enak-enak itu..!) di‘ceritakan’ oleh Direktur Land Reform Gunawan Sasmita. Cerita dari pak Gunawan yang didaulat untuk mewakili persepektif ‘Pengambil Kebijakan” (Birokrasi) banyak mengupas dan menjawab tohokan pertanyaan Noer Fauzi (sebagai pengarah dan pembimbing Belajar Bersama RA) yang berkisar pada tiga soal mendasar:
a. Bagaimana ceritanya, kok tiba-tiba BPN mengambil alih RA menjadi agenda pokok dan utamanya?.
b. Seberapa besar pengaruh RA di dalam internal BPN sendiri? Bagaimana sikap ‘pejabat’ BPN sendiri? (inside looking).
c. Bagaimana proses, tahapan, konseptualisasi yang sudah dan akan dilakukan BPN? Dan sudah sampai mana pilot project itu dijalankan?

Ternyata tohokan yang lebih tepat sebagai sebuah ‘arahan’ presentasi agar tidak ‘teks-power point’ dari bahan yang disiapkan itu ternyata manjur. Sehingga pak Gunawan S cukup sistematis dan fokus menjelaskan cerita dari persepektif Pengambil Kebijakan atau wakil Pemerintah, sejak dari sejarah dan latar belakang RA di Indonesia, pasang surutnya dari tiap periode dan zaman, berserta haru-biru pengalaman BPN memulai kembali membangkitkan, mensosialisasikan dan mencoba meng uji cobakan kembali di lapangan.

Salah satunya yang patut menjadi garis besar adalah keinginan pihak BPN untuk “menemukan” RA yang relevan dan kontektual ala Indonesia, dengan jalan ‘uji coba’ praksis lapangan untuk disusun menjadi teori, maupun dari teori ke praksis di beberapa daerah yang sudah memiliki “bibit” RA nya, diantara yang disebutkan adalah: Lampung, Blitar dan Sumatera Utara. Terdapat tiga metode untuk melakukan uji coba itu, yaitu:
a). Subjek di dekatkan ke Objek,
b). Objek sama dengan Subjek
c). Objek di dekatkan ke Objek.
(dengan penekanan pada metode yang pertama dan ketiga.)

Dalam putaran tanya jawab dan diskusi sesi pertama ini muncul pertanyaan, pernyataan, kritikan dan perluasan dari presentasi pak Gunawan S, diantaranya:
- Pentingnya RA diperkokoh dengan hukum positif sebagai pilar dasarnya.
- Bagaimana RA dari sisi ‘akses reform’ nya berhadapan dengan kepungan dan jebakan kekuatan pasar yang berwatak Kapitalistik dan Neoliberalisme.
- Sampai mana uji-coba sekian model RA di beberapa daerah, memiliki pengaruh positif (untuk tidak mengatakan menjawab?) disandingkan dengan gerakan rakyat yang telah lama ‘berjuang menuntut hak dan ruang hidupnya’ di berbagai daerah, juga sebaran konflik agraria yang marak belakangan ini?
- Pentingnya kesiapan “satu suara dan satu langkah” penyeru utama ‘institusional’ RA (dalam hal ini keluarga besar BPN) baik “pasukan” maupun jejaring dana sebagai syarat utamanya di satu sisi dan merangkul satu suara dengan seluruh pihak dan lapisan rakyat bahwa RA sebagai tanggung jawab bersama sebagai bangsa.

Setelah rehat, minum kopi dan leyeh-leyeh, sesi kedua dibuka dengan presentasi dari Hendro Sangkoyo (Pengajar Doktoral di Cornel University yang juga pimpinan di lembaga Ekonomika Demokratik), yang didaulat mewakili perspektif ‘civil society”.

Kesan “provokatif” sudah tercium sejak judul presentasi ditayangkan; “Jika Reforma Agraria jawabannya, apa pertanyaannya?”

Hendro S dalam sesi kedua ini dengan ‘gaya khas’nya meyakinkan dengan antusias dan sangat luas membentangkan keniscayaan perjuangan RA di Indonesia, pun di dunia sebagai suatu tugas “sangat mulia” dunia – akherat; bahkan kelak dijamin fasilitas ‘surga VVIP’, otomatis dengannya beriringan keharusan kerja berat berjangka panjang, bahkan sangat panjang. Sindiran satir itu bukan iseng-iseng, saat melihat, mendengar dan mengetahui bagaimana sekian lapisan kompleks R.A seperti dijelaskan Hendro S kemudian, menunjukkan bahwa cita-cita perjuangan R.A ini erat terkait pada soal mendasar untuk membuat dan mewujudkan sebuah ‘payung besar’ kepedulian, kepekaan kemanusiaan beserta tanggung jawab menjaga dan memelihara, apa yang disebutnya sebagai ruang dan jaminan hidup atas rakyat sejagad dan sebumi, tetapi perbincangan tentangnya seolah menjadi nampak ‘terkotak sederhana’, yang menurutnya karena kemiskinan “imajinasi” kita tentang hal ikhwal ke-Reaforma Agraria-an.

Uraian Hendro S, mencakup deretan panjang koreksi atu mungkin lebih tepat ‘gugatan’ dari sejak corak pandang (mindset), ‘bangunan berfikir (epistimologis?) apa yang membidani lahirnya perjuangan kebangkitan RA, orientasi, arah dan tujuan apa yang hendak dibayangkan dan di tuju perjuangan kebangkitan RA, sampai dengan beberapa tawaran 4 kuadaran langkah strategis mengupayakan RA, yaitu;
a. Pentingnya belajar tentang ekspansi ekonomik berserta tapak social ekologisnya,
b. Keharusan untuk mempelajari syarat-syarat pembalikan proses perusakan ruang-hidup rakyat dan pelucutan rakyat dari sumber-sumber penjamin kehidupannya.
c. Memperluas medan belajar untuk praktek social dan praktek institusional pembaharuan proses perluasan ekonomik, dengan syarat proses belajar ini tidak boleh dikenai kekerasan.
d. Pengutuhan rantai-rantai penjamin ketahanan social-ekologis, pembaharuan system, mekanisme, dan instrument pengurusan public.

Cerita njlimet tapi ‘mencerahkan’ Hendro S sampai juga pada soal cerita bagaimana menyikapi ‘masa depan’ RA bersandingkan masa depan nasib bumi dengan segala isinya khususnya pada tiga hal dasar yang harusnya menjadi perhatian garis depan para pejuang kepedulian nasib manusia dan ruang hidupnya yaitu: air, pangan dan enerji beserta sekian turunannya, yang menurutnya bagian wajib dari ‘ruang perjuangan regional’ RA dalam makna luasnya. Bagaimana mengutuhkan aneka hal itu dengan RA?

Dengan slide dan simulasi gambar menarik (untuk beberapa hal ‘membingungkan’), dipoles dengan pilihan bahasa ‘segar dan nakal’nya, juga yang ‘tak tertulis’dan tak tertayangkan dari presentasi Hendro S membuka kesadaran dan inspirasi mendalam, setidaknya lebih ‘imajinatif’ saat mendudukkan RA sebagai medan utama perjuangan nasib hak dasar rakyat berserta ikatan penjamin dan ruang hidupnya yang makin hilang dan diperebutkan dengan brutal dan dilahap rakus oleh kelompok nir-kemanusiaan berorientasi modal dan pasar. Untuk itu, menurutnya arah dan orientasi perjuangan RA mesti di ikat mati dengan tiga “spirit” tujuan:
1. demi jaminan keselamatan manusia
2. demi produktifitas rakyat
3. demi kelangsungan pelayanan alam.

Untuk belajar sungguh-sungguh dalam bentangan luas tantangan itu, menurut Hendro S, kita hanya tersedia waktu sampai 20015 saja (dilihat dari percepatan dampak turunan dan efek domino dari perubahan global dengan segala produk sistem yang dilahirkannya, yang sengaja abai dan rabun bahkan tumpul imajinasi pada tiga tujuan di atas, diantaranya; perubahan iklim, pasar bebas dst).
Catatan lain dari Hendro S (selain 4 kuadran langkah diatas) yaitu teramat penting menemukan ‘logika belajar’ untuk menemukan solusi dasar yang menyeluruh, bukan spasial, kotak-kotak dan… yang itu jelas menyoal tandas model pandangan ‘satu dimensi’; disiplin keilmuan, paradigmatik, perspektif, bendera idelogis…dan seterusnya..dan sebagainya.
Putaran diskusi di sesi kedua semakin seru dengan banyak pertanyaan yang dimulai kata “makin bingung”, makin pening, makin ndak ngerti, makin terbuka, tercerahkan sampai makin “uthopia” dan bagimana ‘realistisnya”? Namun, setidaknya, masing-masing peserta makin memahami arti penting ‘imajinasi’ perjuangan RA yang multi dimensi menembus aneka sekat dan batasan; ruang, ideologi, disiplin ilmu dst.
Lingkar belajar hari pertama ditutup dengan penjelasan metode belajar dan membuat kesepakatan agenda hari kedua di pandu Noer Fauzi.


hari kedua;

Pukul 09.00 WIB sebagaimana kesepakatan, para peserta belajar telah siap memulai. Sesi awal pagi hari kedua dimulai dengan perkenalan dan menengok singkat motivasi keikutsertaan masing-masing peserta Lingkar Belajar Bersama RA, yang ternyata cukup warna warni. Bukan saja pada soal motivasi, pandangan dan latar belakang akademik, keilmuan kelembagaan/institusi yang menjadi titik berangkat dan yang diwakilinya, tetapi juga multi level modal pengetahuan mereka tentang seluk beluk, apa itu RA? Dari yang telah Doktor, aktivis pembaruan agraria yang telah menjenguk belahan negara lain, ahli hokum senior, dosen Ilmu Pertanahan, aktivis gerakan mahasiswa, hingga yang masih menjalani mahasiswa SI dari jurusan Agama. Tentu saja aneka ragam ini memiliki implikasi tersendiri dalam mewarnai proses lingkar belajar ini.

Setelah putaran perkenalan peserta belajar usai, dilanjutkan dengan presentasi beberapa artikel pilihan yang terkait pda tema menelusuri sejarah kebijakan Land reform; pengalaman dari beberapa negara; Afrika, Amerika Latin dan Asia.

Artikel pertama yang dipilih adalah karangan M.R. el-Ghonemy berjudul: “Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into the Twenty-First Century” yang disampaikan oleh Moh. Sohibbudin (SAINS) Bogor. Beberapa pokok pikiran yang disampaikan meliputi:
1. Sejarah kilas balik Land Reform dari tahun 1963-2003.
2. Argumen-argumen dari el-Ghonemy; diantaranya soal rendahnya kualitas rakyat yang tak bertanah, pendekatan RA yang menekankan intervensi pemerintah dll.
3. Tujuan penulisan artikel el-Ghonemy, diantaranya untuk menelaah isu-isu pembangunan di negara-negara berkembang.
4. Isu-isu analitis dalam artikel, diantaranya: perluasan makna RA, pelampauan perdebatan kutub pendukung ‘Smith’ yang ‘individualis’ dan ‘ Marx’ yang ‘kolektif’ dll.
5. Evaluasi Kebijakan Pembangunan Pedesaan, dimana perspektif ala Smith dan Marxs semakin dianggap tidak mencukupi lagi sebagai alat baca, sejak pasca PD II, serta pentingnya penguatan peran Negara.
6. Pengalaman RA di berbagai Negara, yang menjelaskan soal keragaman program RA yang disesuaikan dengan filsafat social masing-masing Negara, juga ideologi yang mendasari sebuah Negara yang melaksanakan RA. Juga pentingnya masing-masing Negara menggali sendiri khazanah kebangsaannya sendiri untuk menyusun RA yang “relevan dengan kondisi negaranya”.
7. Kritik terhadap Pasar yang dinilai Al-Ghonemey memiliki ambiguitas dan kepalsuan yang sering berlindung di balik netralitas. Selain pentingnya peran Negara untuk ikut campur dan terlibat nyata pada sebuah pelaksanaan RA.
8. Tantangan Kedepan, diantaranya menyoal;
o Pembangunan pedesaan dalam konteks perubahan pilihan kebijakan yang akhir-akhir ini dikepung oleh gurita Neoliberalisme.
o Keharusan redifinisi peran Negara.
o Tuntutan tanah yang akan semakin besar di satu sisi, dan penguasaan tanah yang juga semakin membesar pada sisi yang lain.

Sebelum putaran dikusi dan tanya jawab dimulai, Noer Fauzi sebagai pembimbing lingkar belajar meminta peserta untuk mengumpulkan terlebih dahulu kata dan istilah sulit atau belum difahami untuk dijelaskan lebih dahulu..(sebuah metode menarik agar masing-masing bisa saling belajar, berbagi dengan ‘setara’)

Beberapa catatan dari artikel pertama ini yang akan di diskusikan kemudian adalah;
1. Dalam kondisi (seperti) apa mekanisme pasar dapat menjadi pilar RA?
2. Prasyarat apa saja yang penting dipenuhi oleh negara agar dapat menjadi pendukung RA di tengah masyarakat yang emoh Negara?

Artikel kedua, disampaikan oleh Gama yang kebagian mereview artikel dari Boras dkk dengan judul: “Agrarian Reform and Rural Development; Historical Overview and Current Issues”

Dalam presentasi lisan nya (tanpa teks di slide) gama mengurai singkat beberapa pokok artikel Boras dkk, diantaranya meliputi:
1. Berbagai dampak kebijakan pertanahan pengalaman di 10 negara.
2. Pendekatan sejarah yang menjelaskan aneka ragam definisi RA dan struktur RA terkait dengan usaha pengentasan kemiskinan.
3. Berbagai macam strategi RA yang ditulang punggungi bidang sosial-politik.
4. Pengalaman sejarah tentang posisi RA baik sebagai legitimasi saat perang dingin bagi Blok Barat maupun Timur, sebgai alat pembangunan Negara dst.
5. Latar belakang dan alasan munculnya RA, diantaranya;
o Banyaknya konflik di wilayah pertanian
o Kondisi social-politik pasca runtuhnya blok Barat dan Timur
o Kemunculan jejaring Neoliberalisme dll.
6. Beberapa model strategi taktik (stratak) RA, diantaranya:
o Market Land
o State Land
o Gerakan Petani
o Hubungan (kombinatif) anatara Negara dan Masyarakat.
(yang mana pilihan model yang ‘relevan’ bagi pelaksanaan RA di Indonesia?)
7. Beberapa tawaran gagasan dari Gama diantanya;
o Kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari 30 % adalah non pertanian, dan 70 % adalah wilayah hutan, di satu sisi membuntuhkan sebuah kebijakan politik ekologis dan kehutanan atau kebijakan yang berbasis “sadar dan ramah lingkungan”.
o Disisi lain, bagaimana mengkombinasikan atau mensinergikan kebijakan dan gerakan RA dengan pentingnya kebijakan politik “sadar dan raham lingkungan” itu?
o Bagaimana menggandengkan mesra dan harmoni antara RA dengan isu lingkungan hidup dan usaha penanggulangan kemiuskinan?


Sebelum dikusi dan tanya jawab dua artikel di atas, Noer Fauzi sebagai pembimbing lingkar belajar meminta peserta untuk mengumpulkan kata dan istilah sulit atau belum difahami untuk dijelaskan lebih dahulu..(sebuah metode menarik agar masing-masing bisa saling belajar, berbagi dengan ‘setara’)

Beberapa tanggapan dan komentar dari dua artikel diatas, diantaranya:
1. Pelaksanaan RA bukan saja tergantung pada filsafat social, ideology sebuah Negara tetapi lebih mendasar dari itu adalah soal hubungan Negara dengan kelompok kekuatan civil society dan relasi kekuatan politik dalam masyarakat di satu sisi dan hubungan kekuatan antar elite state nya sendiri di pihak lain.
2. Dengan demikian RA harus diletakkan sebagai agenda politik nasional, yang meniscayakan kekuatan Negara sebagai penopang kebijakan RA agar mampu menghindar dari pengankangan brutal kekuatan pasar.
3. Noer Fauzi mengajak untuk membahas dengan lebih mendalam tabel periodic tentang perbedaan dan perbandingan serta “Perubahan Basis ekonomi, social-politik dari 1980an sampai dengan 1990an yang dibuat Boris dkk. Pertanyaan pokok yang kemudian ditemukan dan patut untuk di diskusikanlebih jauh adalah “ Kondisi social-politik-ekonomi macam apa yang memungkinkan RA? Dan RA macam apa yang yang muncul dalam situasi itu?



Artikel ketiga yang dipilih adalah karangan Ben Cousin dengan judul: “Land and Agrarian Reform in 21st century; changing Realities, changing arguments?” yang disampaikan oleh Sindu (LAPERA) Yogyakarta. Beberapa pokok pikiran yang muncul meliputi:
1. Beberapa pandangan tokoh yang menjadi asumsi tulisan Ben Cousin, seperti pandangan Davis soal berbagai macam fenomena memprihatinkan dan akibat yang timbul karena masalah migrasi desa-kota.
Pandangan Hernando de Soto:
2. Pandangan Ben Cousin sendiri sendiri mengenai:
o Dampak global yang tak berimbang dengan kesiapan pedesaan yang berakibat terseretnya pedesaan pada arus utama globalisasi.
o Berbagai model pelaksanaan Land Reform abad 21.
3. Penjelasan, perbedaan dan akibat dari enam “Typologi reformulasi rasional untuk RA pro-poor” yaitu:
o Tipe Neoliberalisme
o Tipe Neo-Populisme
o Tipe Devolopmentalisme
o Tipe Welfarisme
o Tipe Radikal Populism
o Tipe Class strunggle
-
4. ………..
5. …………
6. ………….


Tanggapan dan gagasan;

Jika motor penggerak RA adalah petani, sementara akhir-akhir ini akibat dari “de-agrarianisasi’ kaum petani mengalami perubahan mendasar serta melakukan migrasi ke kota di ‘kawasan-kawasan kumuh’ atau ‘penampungan kawasan lebih’, bagimana menyikapi situasi ini disandingkan dengan kebangkitan RA? Dan bagaimana memahami ‘sektor informal’ (petani, pedagang kaki lima dll) yang belakangan ini sampi pada kondisi yang menindas dirinya sendiri? (bandingkan dengan pandangan De Soto yang meyakini bahwa “sector informal” sebgai suatu modal tersembunyi untuk pembangunan kapitalisme)

Artikel ke-empat adalah karangan Shahra Razavi berjudul: “ Liberalisation and the debates on women access to land” disampaikan oleh Laksmi Savitri (PKA- IPB).

Beberapa pokok pikiran dan pertanyaan yang diajukan dalam tulisan ini adalah:

1. Secara garis besar Razavi hendak menerangkan bagaimana perjalanan diskursus tentang peran pearempuan dalam pembaharuan agraria.
2. Razavi mengedepankan sebuah persoalan bahwa sesungguhnya ada kenyataan ketidakadilan akses di aras rumah tangga,ketika konsiderasi reforma agrarian berhenti hanya pada tingkat rumah tangga petani.
3. Untuk mengupas pikiran Razavidalam artikel ini, Laksmi S mengajukan baeberapa pertanyaan kunci diantaranya adalah:
o Pelaksanaan RA itu akses terhadap lahan atau akses terhadap sumberdaya rumahtangga?
o Apakah RA sudah bicara tentang perempuan dan rumah tangga?
o Lalu, ada apa dengan wanita terhadap asset tanah?
-
4. Rumah tangga perlu dilihat sebagai paduan antara kepentingan perempuan dan laki-laki yang menyatu tapi juga sekaligus terpisah atau disebut Razavi sebagai “co-operative conflict” . Inilah mestinya yang menjadi spirit dasar pemberangkatan RA, sebab jika tidak akan berimplikasi pada:
a. Advokasi perempuan hanya diletakkan pada perubahan hukum dan peraturan saja padahal kedua prasyarat itu tidak lah mencukupi dalam mendorong perubahan sosial.
b. Pasar tanah tidak mampu menjamin akses perempuan terhadap tanah.
c. Privatisasi melalui pemberfian hak atas tanah secara individual, menyingkirkan perempuan yang tadinya sudah memiliki semacam klaim tenur melalui system tradisional.
d. Postulat “lahan sempit-efisiensi tinggi’ justru bertumpu pada eksploitasi beban kerja perempuan dan anggota keluarga yang lebih muda.
5. Razavi menyimpulkan bahwa dengan permasalahan sedemikian kompleks, pemberian hak individual atas tanah kepada perempuan tidak menyodorkan solusi secara serta merta karena banyak factor yang bisa memidiasi akses tersebut.
6. Perdebatan tentang isu feminis tidak boleh berhenti sekeder menjawab pertanyaan cukup atau tidak cukup adil dan bagaimana supaya lebih adil? Tetapi mesti dilihat juga pada soal implikasi nya yang lebih luas jika ketidakadilan itu dibiarkan.
7. bagi Laksmi S sebetulnya tidak perdebatan tentang bagaimana perempuan sebaiknya mendapatkan akses dan kepemilikan atas tanah. Laksmi mengajak untuk mundur selangkah dulu dengan pertanyaan: apa akibatnya jika perempuan tidak mendapatkannya? Apakah ini cuma persoalan perempuan, terutama perempuan petani tanpa tanah dan penguasa lahan sempi, atau menyangkut keselamatan hidup orang banyak? Tanpa mempertanyakan hal ini tidak akan ada kekuatan untukmembuka akses menuju penentuan bentuk hak ini di lingkungan kita.


Sayang, artikel menarik dan padat itu tidak bisa diteruskan dalam putaran diskusi berlangsung, waktu telah menunjukkan pukul 16.45 WIB, atas dasar pentingnya arikel Razavi diatas, dan banyak peserta yang sore itu juga mesti mengejar jadwal terbang pesawatnya masing-masing, atas persetujuan forum artikel tersebut akan menjadi pem buka dalam Putaran Kedua Lingkar Belajar RA yang disepakati diadakan di Bogor tanggal 5-6 Maret 2008.

Sebelum acara dipungkasi, masing-masing peserta belajar dipersilahkan memilih dengan partisipatif bahan artikel yang hendak menjadi tanggung jawab untuk diriview dan dipresentasikan dalam putaran kedua di Bogor.

Akhirnya, runtutan putaran pertama Lingkar Belajar Bersama RA (LiBBRA) ditutup dengan penjelasan bahwa bahan-bahan artikel RA yang akan menjadi pembahasan di putaran kedua di Bogor adalah artikel-artikel yang lebih beraroma dialektika teoritis, sehingga masing-masing peserta diharapkan menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh .

Mengutip kang Ozi, jika tidak taat komitmen kesepakatan bersama dalam LiBBRA ini sangsinya (cuma) satu, yaitu “MALU…”!!! Benarkah maknanya hanya ‘cuma’?

Akhirul kalam, “Met, bertemu kembali di Bogor peserta belajar yang budiman…”

Notulensi Pertemuan 1 (hari I, 30 Jan 08)

Notulensi (Tidak Lengkap)
Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria
"Kebangkitan Studi Agraria dan Agenda Reforma Agraria Abad XXI"


Pertemuan I, Hari I: 30 Januari 2008

Acara Pembukaan
1. Sambutan Ketua STPN
2. Pengantar Belajar Bersama (Noer Fauzi)
o Sangat senang melihat bangkitnya studi agraria yang tercermin dari kehadiran
o Krisis pertama: sebagai bangsa kita tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Soal pangan adalah soal agraria. Krisis kedua: mereka yang memproduksi pangan semakin tidak memiliki kontrol terhadap tanah. Pedesaan ditekan sedemikian rupa sehingga petani ditempatkan sebagai tenaga kerja semata. Padahal daya serap industri terhadap tenaga kerja sangat rendah. Pengangguran adalah Krisis ketiga adalah krisis ekologi. Krisis keempat: ketiga ini tidak diatur dalam sistem produksi yang membuat petani bisa memiliki tabungan (modal domestik). Padahal tabungan ini yang memungkinkan petani bisa meningkatkan teknologi dan pengetahuan.
o Keempat krisis ini belum ada jawabannya. Bagaimana RA kita bisa menjawabnya?
o Secara historis dapat ditelusuri bagaimana keempat krisis ini ditangani dari waktu ke waktu.
o Ini adalah krisis di mana kita dipanggil untuk memberikan jawabannya. Kita mesti mempertanyakan jawaban-jawaban yang telah diberikan. Apakah jawaban dalam bentuk social forestry, PPAN, BBN dll merupakan jawaban yang tepat.
o Kita melihat bahwa pertanyaannya begitu jelas, tetapi jawaban yang diberikan belum diarahkan ke sana.
o Komitmen menjadikan RA sebagai jawaban bukan hanya terjadi di sini tetapi juga di negara-negara lain dengan arus yang lebih besar. Juga digeluti oleh banyak lembaga internasional.
o Singkatnya, kita perlu mengakrabi kebangkitan ini, tetapi lebih dari itu menelaah dan memikirkan masalah kita sendiri dengan bercermin pada jawaban-jawaban yang telah diberikan di berbagai tempat lain.
o Penjelasan mengenai kurikulum akan disampaikan ada bagian akhir nanti.

Sesi I
Pengantar Oji
• Pertanyaan buat Pak Gunawan Sasmita:
1. Bagaimana evolusi dan peralihannya, kok bisa (baca: di bawah kondisi macam apa) agenda reforma agraria sekarang menjadi agenda utama BPN?
2. Bagaimana itu berpengaruh ke dalam kelembagaan BPN?
3. Bagaimana profil dari pilot project PPAN di beberapa tempat?
Presentasi Gunawan Sasmita
• Mengapa BPN menjalankan RA. Pertama, upaya bersama untuk mewujudkan keadilan sosial. Kedua, mandat konstitusi, politik, dan hukum. Ketiga, keharusan sejarah. Keempat, bagian mendasar dari triple track strategy.
• Perjalanan pelaksanaan RA. Terjadi pergeseran obyek dari tanah maksimum ke tanah negara. Redistribusi tanah tetap berjalan antara lain dalam bentuk transmigrasi, PIR, dll. Tren pergeseran ini juga terjadi di Thailand dan Filipina. Ini banyak menimbulkan konflik. Redistribusi bergeser menjadi persoalan teknis dan berhenti pada aspek penguatan hak semata. Padahal perintah UUPA tidak hanya menyangkut penguatan hak semata. Dulu diantisipasi dengan membentuk Yayasan Dana Land Reform.
• Kenapa RA kini menjadi agenda utama? Salah satu anggota DPR dari Fraksi Golkar adalah bekas walikota di Bengkulu yang menjalankan landreform tahun 1964. Dia bilang hanya dua orang yang berani berbicara mengenai landreform, yaitu Bung Karno dan Joyo Winoto. Konsensus sudah ada pada TAP MPR, tetapi baru sekarang dilakukan mainstreaming. Empat prinsip pengelolaan pertanahan. Sebelas Agenda BPN.
• Pengaruh pada kelembagaan BPN seperti apa. Sudah dilakukan beberapa pembenahan aturan dan kelembagaan. Perpres 10, RPP dll.
• Mekanisme dan delivery system.
• Soal reklaiming tidak dilihat dari sisi legal atau ilegal. Melainkan dilihat sejauh mana ia merupakan jastified claim.
• Profil pelaksanaan PPAN: Di Lampung, Sultra (sawit), Sumut (menyelesaikan sengketa Puskopad), Blitar (sapi potong).
Noer Fauzi
• Ini adalah cerita dari dalam dan penting untuk mengungkap misteri gejolak dunia dalam.
Leurel Heydir
• Asumsi Ladejinsky bahwa penyelesaian masalah agraria di Jawa akan bisa menyelesaikan masalah di luar Jawa adalah terlalu simplistis.
• Pingin mengintip lebih mendalam BPN. Bagaimana sebetulnya RA yang dibayangkan BPN. Misalnya penjelasan UUPA yang dikutip tadi tidak merupakan hubungan kausal.
• Saya ingin membawa persoalan ini ke ranah hukum. Problemnya ketika kita ke hukum, semua masalah sosial mengenai agraria tidak bisa masuk. Perundang-undangannya yang menjadi kendala. Jadi RA harus berangkat dari hukum yang baru, bukan RA ini adalah mandat dari perundangan yang sudah ada.
Idham
• Ada proses evolusi di BPN yang saat ini mengalami lompatan besar. Dulu BPN hanya menjadi administrasi pertanahan, tetapi di lapangan menimbulkan masalah dengan mengeluarkan HGU. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelembagaan BPN. Nah, sekarang kok bisa BPN mau menjadikan reforma agraria sebagai agenda utama.
• Dulu RA dilakukan untuk memotong warisan feodal dan kolonial. Sekarang RA dijalankan dalam rangka agenda global untuk pengurangan kemiskinan.
• Saat ini RA mau dijalankan dalam kerangka kelembagaan yang otoritasnya amat terbatas. Inisiasi hanya pada tanah negara, tetapi akan menghindar pada tanah yang dikonflikkan.
• Semakin banyak institusi yang akan mereproduksi pengetahuan mengenai RA, termasuk BPN. Ini penting. Misal, penyebutan RA oleh Presiden sangat membantu petani di Blora untuk memperjuangkan klaim tanahnya.
• Tetapi ada keterpisahan antara perjuangan RA di kalangan NGO dan gerakan tani dengan yang diupayakan oleh BPN. Pihak pertama karena berangkat dari konflik agraria, maka yang menjadi concern utama adalah menyelesaikan tanah konflik yang selama ini telah mereka perjuangkan. Ini ada perbedaan dengan yang dibayangkan BPN.
• Bagaimana internalisasi RA yang diinstruksikan Kepala BPN di antara seluruh aparat di daerah. Kanwil Sulsel mau mengembangkan access reform dengan mengandeng INCO. Padahal bagi masyarakat Sorowako, INCO selalu diingat sebagai perampas tanah mereka.
Valentine
• Ada satu daerah di Bali di mana dilakukan konsolidasi tanah. Dalam rangka itu dibebaskan tanah untuk pembuatan jalan yang kemudian diganti dengan tanah dari lokasi konsolidasi. Sekarang lokasi itu akan menjadi perumahan elit.
• Di Riau ada HGU kelapa sawit, dan petani dibina dari pembibitan sampai produksi. Termasuk petani di luar plasmanya.
• Petani dampingan PT Jarum Kudus
Noer Fauzi
• Cara merespon: menggali lebih lanjut, mengkritisi, memberitahu.
• Sikap dalam mencari tahu. Mencari hubungan-hubungan yang tersembunyi. Apa yang tampak tidak bisa menggambarkan seluruh konstelasi. Kita akan terdorong untuk terus mencari dan kesimpulan kita atas hubungan-hubungan itu selalu bersifat tentatif.
• Misal, melibatkan perusahaan besar sebagai bentuk access reform. Tetapi kan ada komplikasi yang lebih besar: mengapa dia melakukan CSR, apa kepentingan dalam rangka akumulasi modal. Ini terus merangsang untuk mencari hubungan-hubungan yang tersembunyi.
• Jadi Pak Gunawan ini kita tempatkan sebagai nara sumber, sama halnya dengan teks-teks yang nanti akan kita pelajari. Jadi biarkan dia bercerita.
Luthfi
• Tadi pelaksanaan PPAN di Lampung disebut dan saya terlibat dalam penelitian di Lampung. Kritik kami saat itu adalah program ini bias orang kaya. Ada purnawirawan yang menguasai 15 hektar. Sementara orang miskin tidak bisa terlibat untuk memperoleh manfaat dari program redistribusi tanah ini. Juga tidak dapat terlibat dalam skema access reformnya.
• Pertanyaan utama adalah: sejauh mana sebenarnya sasaran dari PPAN ini. Seharusnya harus mencari yang termiskin dari yang miskin.
• Mohon penjelasan pada desan O --> S. Ini sangat tergantung pada kemauan baik si pengusaha. Pengusaha kan pasti menghitung biaya ekonomi dll kalau harus pindah ke tempat lain. Ada berapa banyak perusahaan yang diidentifikasi demikian?
• Bagaimana kesiapan kelembagaan di BPN? Pengalaman tahun 1960-an saat itu memberi pelajaran bahwa Komite Landreform tidak cukup kuat sehingga membuat petani tidak sabar dan melakukan reklaiming.
Sundung Sitorus
• Bagaimana kecenderungan konversi dan fragmentasi tanah pertanian.
• Bagaimana dengan sikap Dephut yang menolak melepas hutan konversi.
• Ada tanah swapraja dan eks swapraja yang cukup luas untuk dijadikan TOL.
• Bagaimana pembiayaan untuk RA? Kalau di Venezuela disisihkan dari minyak. Kalau di sini bagaimana? Apa swadaya?
Bambang Eko
• UU pertanahan banyak bermasalah dan ini bisa menjadi penghambat bagi aparat pelaksana.
• Apakah pelaksanaan RA bisa peaceful?
• Masalah ganti rugi perlu dibuat formula baru.
• RPP RA sudah sampai di mana?
Sutaryono
• Dari sisi petani, ada petani yang motifnya hobi karena untung-rugi sudah tidak bisa diperhitungkan mengingat tanahnya demikian sempit.
• Karena terdesak, petani memilih menjual tanahnya atau menjadikannya untuk penggunaan non-pertanian (alih fungsi). Setelah itu mereka beralih profesi. Ini pilihan cerdas.
• Problem kebijakan: tidak ada perlindungan untuk membuat petani sejahtera.
Iwan
• Soal pengembangan model, saya mendapat informasi dari beberapa lokasi ujicoba. Ada tiga yang berkembang: sertifikasi, kemitraan, dan cara penyelesaian konflik. Yang terakhir ini hasilnya bisa sertifikasi atau kemitraan.
• Saya menganggap bahwa model O --> S sebenarnya adalah S --> O. Hanya subyeknya bisa masyarakat dan bisa perusahaan.
• Kesimpulan saya, semua ini hanyalah cara baru untuk pendaftaran tanah. Contoh di Lampung: daerah yang sudah menjadi pemukiman tetapi dulu statusnya belum jelas, sekarang disertifikasi. Itulah yang disebut PPAN.
• Soal skema penyelesaian konflik. Upaya penggantian tanah untuk perusahaan yang sedang ada konflik, bukankah upaya pemindahan ini bertentangan dengan kepentingan pemda untuk mengundang investor. Kalaupun perusahaan mau pindah, pasti dia akan pasang harga tinggi dengan menuntut tanah yang lebih luas. Masalah berikutnya berkaitan dengan pembobotan subyek. Inilah mengapa keterlibatan masyarakat sangat penting. Tetapi di RPP pelibatan masyarakat hanya di tingkat pembiayaan.
• Banyak HGU di Jawa yang diterlantarkan supaya bisa dialihkan menjadi kawasan property karena memang ada bolong hukum di situ.
• Kalau pembobotan dilakukan sendiri oleh BPN, maka yang dipilih adalah yang mudah yaitu sertifikasi tanah dan S --> O secara voluntary. Ini bukanlah "menyelesaikan masalah tanpa masalah" tetapi akan menghasilkan masalah baru.
Satyawan
• PPAN diterapkan tanpa mempertimbangkan kembali konsep yang sudah ditetapkan. Misalnya, kawasan hutan dan hak masyarakat lokal. Makanya kalau INCO mau terlibat PPAN pasti masyarakat akan bereaksi keras.
• Tahun 1960-an landreform merefleksikan ideologi poskolonial untuk membangun sistem ekonomi baru yang untuk itu dirumuskan UUPA untuk mendukungnya. Tetapi saat UUPA selesai dirumuskan, konfigurasi politik berubah.
• Reforma agraria sekarang adalah bagian dari resurgence tahun 1990-an. Tetapi yang menarik adalah bahwa di Indonesia RA yang diagendakan kembali dipertanyakan seberapa jauh ia didukung oleh elit yang berkuasa. Selain itu RA saat ini tidak didukung oleh UU yang kuat seperti UUPA. Sehingga ia hadir dalam ruang sempit yang sudah dibelenggu oleh jeratan neoliberalisme. Maka perlu dilihat bagaimana arah PPAN ini nantinya, seperti yang sudah kita lihat di Lampung dsb. Di sini kita lihat bagaimana kombinasi antara state driven, market oriented, bangkitnya organisasi rakyat dsb.
Rambo
• Penguasaan kebun HGU saat ini adalah 100 ribu. Ada kecenderungan di kebun bahwa petani akan dijadikan buruh semua. Kecenderungan perkebunan besar semakin meningkat luasannya. Bagaimana RA merespon ini? Apa mau dibatasi, apa ada rasio, atau bagaimana?
Gunawan
• Model kita bukanlah harga mati. Justru saya menantang mana masukan yang bisa dijadikan model baru.
• Pertanyaan sekarang adalah apa memang ada tanah kosong yang masih tersisa? Makanya prioritasnya adalah petani yang menggarap tanah yang bersangkutan. Apa penerimanya jatuh ke orang kaya? Kita tidak bisa 100% perfect di lapangan, asalkan dalam batas toleransi. Mengenai tanah pekarangan akan dicakup dalam RPP mendatang.
• Land distribution tidak cukup, perlu support system. Itu pun tidak cukup kalau tidak ada dukungan konteks kelembagaan dan kebijakan yang lebih luas.
• Memang tidak ideal ruang yang tersedia saat ini, tetapi kita tetap harus bergerak.
• Masalah pembiayaan sangat critical. Ini tergantung political will dari pemerintah.
• Solusinya kita cari bersama-sama, al. melalui lingkar belajar bersama ini.
Noer Fauzi
• Cerita Pak Gunawan ini harus kita lihat sebagai cermin kebangkitan kebijakan RA di Indonesia.

Sesi II
Noer Fauzi
• Dulu S1 di Arsitektur ITB. S3 di Cornell University jurusan Urban and Regional Planning dan Politics. Mengajar di S3 Cornell University tentang Ketertinggalan dan Keterbelakangan.
• Bagaimana membicarakan RA dari studi pembangunan ditempatkan dalam konteks krisis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Hendro Sangkoyo
• Politik representasi sangat penting dalam gerakan.
• Proses belajar kami (banyak rombongannya: RA, miskin kota, hutan dll) sejak 1983 dan belum ketemu jawabannya sampai saat ini
• Kalau Reforma Agraria Jawabannya, Apa Pertanyaannya?
• Saya ingin meragukan jawaban itu dalam arti kritis.
• Saya ingin mengajukan sebuah himbauan kepada kawan-kawan untuk memulai dari pertanyaan-pertanyaan.
1. Reforma Agraria yang Mana?
• Pembagian lahan hutan terkonversi (dari hutan produksi ke hutan penjaga karbon)
dengan logika produksi-pertukaran dan konsumsi yang sama, apakah betul penguasaan nominal atas tanah menjamin keselamatan, produktivitas dan kelangsungan reproduksi layanan alam?
• Janji realokasi penggunaan ruang dalam peraturan dan rencana-rencana tata-ruang
apa yang sudah berubah? selama ini mekanisme dan instrumen tata-ruang adalah penyamaran status RUANG-SISA (residu dari segi ekonominya, sosial budayanya) dari wilayah-wilayah tata ruang.
Jadi sebetulnya land grab juga seperti SPP misalnya. Nah, yang ini bagaimana ngurusnya kalau dikerangkakan reforma agraria. Untuk sektor urban hanya 10-15% yang bisa diurus oleh tata ruang. Contoh Jakarta, 3,5 kali luas Jakarta dikuasi sektor partikelir sehingga susah sekali digunakan untuk kepentingan publik. Bahkan untuk bikin jalan raya sendiri sudah sulit, seperti ditelikung.
apa ada hubungan perkotaan dan perdesaan?
• Pembaruan tata niaga tani/penentuan harga produk tani
pemancungan syarat-syarat pemenuhan kualitas hidup lainnya.
2. Reforma Agraria Menuju Ke Mana?
• Kedaulatan pangan
nasionalisme konsumsi di tengah liberalisasi perdagangan, atau pembebasan konsumsi rakyat (konsumsi karbohidrat, mineral, ..) dari jaring-jaring sirkuit akumulasi yang melemahkan produktivitas rakyat?
apakah kita bicara mengenai kedaulatan
Vietnam impor beras 300 ribu ton dari Kamboja. Persoalan jauh lebih ribet dari kedaulatan pangan
• Reforma agraria lewat kekuatan sendiri
realokasi aset tanpa pembaruan tata-produksi, atau penciptaan sistem pendukung kehidupan rakyat yang tangguh?
• Pembangunan industri pertanian sebagai soko-guru ekonomi nasional
cerita bersambung dari sindroma kedelai?
sekarang ada pertanian energi, pertanian kayu dan pertanian pangan.
siapa yang akan menguntungkan dari pengembangan kesemua itu?
sindroma kedelai mulai dari 1970-an ketika industri mobil di AS ditekan penduduk karena membuat polisi. lalu dicampur dengan zat aditif yang ternyata menimbulkan kanker dan mengotori air. California meneliti semua sumur tercemar. akhirnya dipilih ethanol. ini cerita reforma agraria, tetapi skala, paruh waktu dll yang sangat ribet yang tidak hanya bisa ditangani dengan kadastral, tata ruang, atau mistik?
STPN sebenarnya duduk di tambang emas kalau kita mau belajar. misalnya bentuk tenure dari masing-masing sektor
186 kapal tanker (di Indonesia 9 dan akan bertambah 16) sebagai moda produksi baru untuk minyak yang bisa mengolah minyak dari cruwd, cair, gas dll.
3. Belajar Terus Menerus (4 kuadran)

4
pengutuhan rantai-rantai penjamin ketahanan sosial-ekologis dan pembaruan sistem, mekanisme, dan instrumen pengurusan publik 1
pelajari betul-betul duduk perkara proses ekspansi ekonomik berserta TELAPAK SOSIAL EKOLOGISNYA
3
menciptakan dan memperluas medan belajar untuk PRAKTEK SOSIAL dan PRAKTEK INSTITUSIONAL pembaruan proses perluasan ekonomik, dengan syarat bahwa proses belajar ini tidak boleh dikenai kekerasan 2
pelajari syarat-syarat pembalikan proses perusakan RUANG-HIDUP rakyat, dan pelucutan rakyat dari sumber-sumber penjamin kehidupannya

ad. 1.
yang harus direbut adalah protokolnya. kalau tidak kita hanya reforma agraria pinggiran. hanya mlipir-mlipir.
ad. 2.
rakyat punya rumah (live space). itu yang dibongkar selama bertahun-tahun. ini yang terjadi tiap hari. bagaimana membaliknya. petani setiap saat harus siap angkor kopor. gak ada gunanya mikro kredit dll. memang itu untuk ekspansi kapital. contoh grameen bank. siapa yang diajak? Monsanto.
ad. 3.
pendidikan ini harus dilakukan juga oleh lembaga-lembaga pengurusan negara. jakarta adalah parasit terbesar dari proses sosial-ekologis. baca pencemarannya, baca kebutuhan energinya, kebutuhan pangannya, sirkulasi uangnya, dst.
proses belajar harus diarahkan untuk perluasan ekonomik
dan harus damai.
peaceful itu tuntutan rakyat, bukan jargon pemerintah. tuntutan rakyat yang sedang belajar, tetapi digebuk oleh pemerintah. proses belajar ini tidak boleh dikenai kekerasan. kalau dikenai kekerasan tidak akan belajar
ad. 4.
salah satu eksperimennya adalah memastikan wilayah kelola masyarakat.
jalin terus dengan berbagai style. yang penting siklus belajarnya harus terus menerus. saya lebih percaya daripada pencanangan sebuah program pembaruan agraria nasional. kalau perlu proses belajarnya sampai 25 tahun.
• Absennya sebuah kerangka pengurusan sosial-ekologis yang mampu mengendalikan vektor perubahan
keutuhan RUANG-HIDUP, habitat, eksosistem, bioma, ecosfera versus ruang-ruang ekonomik yang melayani diri sendiri dan membongkar.
reproduksi keselamatan dan kesejahteraan serta sistem pemenuhan kebutuhan pokok versus ekspansi ekonomik untuk akumulasi kapital
sistem-sistem pendukung kehidupan versus "infrastruktur pasar".
infrastruktur faal ekosistem versus wilayah-wilayah kelola yang terserpih dan terpencil.
4. Hal-hal yang Harus Masuk dalam Logika Reforma Agraria
- rasio produksi - konsumsi --> lokal dan mentah (spatial logic of consumption)
- rasio produksi - konsumsi --> firma dan sektor publik (social logic of
consumption)

--> basis fenotipe adalah pulau (misal pelayanan alam dll)

Tiga maksim untuk proses belajar: (jangan nunggu ratu adil)
1. Tiga harus ditebut: keselamatan rakyat, produktivitas rakyat, fungsi-fungsi faal ekosistem
2. Bergantung di tiga neksus: air, pangan, energi. Ketiganya ditentukan oleh demand (pertumbuhan kebutuhan energi 3-4% dan ini menimbulkan gap terhadap supply).
3. Telapak sosial-ekologis

Baru mencoba menjelaskan saja sudah sangat repot.

Sirkuit kapital yang melibatkan perubahan iklim dan finance capital.

Noer Fauzi
• Mas Yoyok: merangsang sel-sel otak dan menggoncang-goncang emosi.
Laksmi
• Logika dan sistematika berpikir mengenai RA perlu dipertimbangkan kembali.
• Kalau untuk meluruskan logika itu butuh proses, dan proses itu butuh waktu, padahal korban terus berjatuhan dalam hitungan detik (karena telapak sosial ekologis tidak pernah kita hitung dan kita perhatikan), maka apa yang harus dilakukan untuk memperkecil telapak ekologis karena yang dipertaruhkan adalah keselamatan dan ruang hidup.
• Bagaimana ini tidak membuat kita pesimistis tetapi memberi arah untuk proses belajar ini. Jangan sampai kita keenakan belajar.
Merry
• Apa sistem yang mengkoordinasi kegiatan kita semua sehingga arahnya bisa menuju reforma agraria yang komprohensif seperti dimaksudkan?
Iwan
• Sejauh mana RA harus diperluas dengan dikaitkan pada pendefinisian ulang mengenai hubungan antar pulau, hubungan pusat daerah, bentuk kenegaraan dst. Ataukah dibatasi pada pendefinisian hubungan antara negara dengan rakyat dalam kaitan dengan pengaturan sumber-sumber agraria.
Gunawan Sasmita
• Setelah melihat semua ini begitu komprehensifnya, saya kira RA ini tidak akan jalan. Coba kita lihat pelaksanaan RA di semua negara kan tidak harus "turun mesin" semua. Ini hanya utopia.
• Kita lakukan apa yang kita mampu daripada tidak berbuat sama sekali. BPN hanya melakukan apa yang dalam kewenangan BPN.
Sindhu
• Usulan RA seperti apa yang bisa diusulkan yang lebih praktis?
• Mas Yoyo menjelaskan obyek-obyek RA yang lebih luas. Obyek2 RA apa yang bisa diusulakan di luar tanah?
Jawaban Hendro Sangkoyo
• Ini merupakan persoalan imajinasi. Para perencana tata ruang ini yang pertama kali harus dihadapkan pada people tribunal. Karena implikasinya dalam sekali suatu lokasi ditetapkan sebagai ekonomi terpadu dst.
• Intinya saya ingin bertanya: kalau bicara RA, dalam imajinasi saya yang cupet apa kalau bicara agraria kita hanya bicara tanah. Apa kita tidak bicara tentang produksi taninya, apa tidak bicara tentang kesejahteraan petaninya. Kalau ini tidak masuk dalam neraca hitung-hitungan kita semua, silahkan. Kalau mau belajar dengan cara burung onta, silahkan. Kalau bicara keselamatan rakyat itu utopia, minggir saja dari bicara RA. Yang kita bicarakan nomor satu adalah KESELAMATAN RAKYAT. 70% uang publik dipakai untuk pelayan. Untuk yang dilayani cuma kebagian 30%. Itulah investasi yang sesungguhnya untuk rakyat. Jadi panggung pelayan kita ini masih besar dan biayanya sangat mahal. Fiscal gap ini yang dibiayai oleh pengrusakan sumberdaya alam.
• Nomor kedua adalah PRODUKTIVITAS RAKYAT. Perusakan lingkungan telah menyebabkan kemerosotan drastis produktivitas rakyat. Tiga shift kerja dan waktu istirahat sangat sedikit, tetapi produktivitas kecil. Bagan-bagan di atas paling mudah dipahami oleh rakyat, tetapi paling sulit diterima di kalangan akademisi dan birokrat. Karena mereka belajar habis-habisan tetapi tidak dapat apa-apa.
• Ketiga, KELANGSUNGAN PELAYANAN ALAM. Dua tahun setelah UU lingkungan, 29 sungai besar dinyatakan bangkrut sebagai fungsi ekologi. Tahun 92 menjadi 39. Tahun lalu 89. Padahal sungai itu adalah ruang hidup bagi rakyat. KELANGSUNGAN LAYANAN EKOSISTEM ini tidak pernah menjadi syarat dan tidak pernah dijadikan sebagai perhitungan dan kalkulasi.
• Soal Amerika Latin. Partai Buruh di Brazil dalam tempo 5 tahun memotong semua anggaran land reform untuk membayar hutang sehingga menjadi anak manis di mata penguasa keuangan dunia.
• Inilah permainan politik sepak bola. Setelah memilih, selama lima tahun jangan pernah masuk lapangan sepak bola. Betapapun ngawurnya permainan di dalam lapangan. Kalau masuk kita jadi penjahat.
• Tahun 1992 saya dapat dokumen pulau Kalimantan mau diurus oleh satu negara besar di Eropa. Imajinasi kita kontinental, bukan kepulauan. Coba kita lihat peraturan2 mengenai pulau-pulau kecil.
• Ini bukan urusan federal atau kesatuan. Urusan rakyat itu sederhana: selamat, produktif, dan alam lestari.
• Apa sistem yang mengkoordinasikan? Jangan ditanyakan, tetapi dibuat saja. Salah gak apa-apa.
• Proses belajar RA itu pusatnya di kampung. 189 produk pertanian lokal yang dihasilkan dari seluruh wilayah SPP. Dilihat siapa butuh apa. RA tidak akan berhasil tanpa membesarkan internal demand produk pertanian kita. Padahal itu besar sekali, tetapi tidak pernah kita kelola. Memilih dibanjiri produk dari luar.
• Untuk Laksmi: saya dimarahi karena menggunakan proses belajar, bukan aksi. Kalau kita belum ketemu, logika belajarnya apa? Kalau kita rendah hati, setiap kelompok yang belajar RA dan konsisten, ternyata tidak ada yang kurang dari 10 tahun.
• Kita ajak perkebunan belajar. Misal kita tunjukkan produksi perkebunan terus declining. Kita ajak belajar bagaimana meningkatkan produksi, dll.
• Batas waktu kita sampai 2015. Kalau kita gagal, kita lewat. Cerita perubahan iklim, perdagangan bebas (di AS korporasi menang di pengadilan melawan 10 negara bagian), dll. Ini semua tidak main-main.
Siti Aisyah
• Dengan segala komplikasi yang telah dipaparkan, saya lebih optimis terhadap RA.
Leurel
• Kita diajak memikirkan war, bukan hanya battle. Tetapi bagaimana aplikasinya. Complicated boleh, tetapi bagaimana outlet-outletnya. Kasih gambarannya yang lebih sederhana.
Tina
• There is a war in the every village.
Hendro Sangkoyo
• Kita selalu membayangkan perangnya di level nasional. Padahal kenyataan di lapangan ada yang harus segera diatasi. Misalnya di Klaten ada yang berupaya mengembangkan pertanian organik. Mereka mengumpulkan air seni anak-anak sekolah untuk menguji coba saprodi organik.
• The real war in the daily basis. Ini sama berharganya dengan yang dilakukan di tingkat nasional. Exactly pada level itu memang tidak ada pemecahan. Karena itu kita merasa perlu alat untuk belajar yang bisa digunakan oleh orang banyak.
• Ada dua panggung: panggung pengurus rakyat (broadway) dan ada panggung rakyat. Dua panggung ini belum tentu ketemu, meski panggung yang pertama berniat baik.
• Jadi instrumen belajar itu apa? Belajarnya kayak apa?
• Mungkin kita ko-eksistensi untuk belajar kalau belum bisa bersama. Kita belajar sendiri. Pemerintah belajar sendiri. Sambil tukar menukar catatan. Kemudian meningkat pada level agak tinggi lagi, dst.
• Kota di Brazil membagi diri dalam 1000 komite yang mempelajari Anggaran Pemerintah Kota. Gak ada gurunya.
• Contoh di Alor saat terjadi bencana gempa.
• Cara bertanya:
1. Apakah ada masalah dengan pihak yang berwenang
2. Apakah ada anggaran publik untuk mengatasi masalah
3. Apakah kasus itu karena
• Rakyat harus diperlakukan dengan hormat bahwa mereka bisa memimpin dan mengatasi masalah sendiri.
Noer Fauzi
• Sesi 2 ini kita diajak untuk memikirkan apa yang mesti diurus dalam reforma agraria ini.
• Kita diajak memikirkan ulang cara belajar kita dan bahkan pilihan kata yang kita gunakan.
• Mengajak memikirkan hubungan antara global dan lokal. Sesungguhnya produksi lokal juga berkaitan dengan kondisi-kondisi yang berdimensi global.
• Proses belajar dan gerakan sosial merupakan kaitan yang tidak bisa kita pisahkan.



Hari Kedua

Sesi 1: Perkenalan

Noer Fauzi
• Motif-motif tadi adalah alas untuk proses belajar.
• Belajar untuk mengoreksi yang lama adalah sulit. Kalau menambah yang baru jauh lebih mudah. Ini menuntut untuk memahami argumen kita sendiri dan meletakkannya dalam debat yang ada.
• Naskah-naskah ini adalah endapan dari proses puluhan tahun para penulis.
• Proses belajar dan berkenalan ini adalah bagian dari kebangkitan kebijakan RA yang diiringi dengan kebangkitan studinya.
• Naskah pertama ditulis El-Ghonemy yang berkarir di FAO dan menjadi peneliti
• Mesir mengidentifikasi sebagai bagian geo-politik Timur Tengah, meskipun letaknya di Afrika. Di Timur Tengah gejolak RA sangatlah besar.
• Naskah kedua ditulis Boras dkk. Boras cukup lama malang melintang dalam gerakan agraria di Filipina. Dia berhasil mengkontekstualisasi pengalaman di Filipina dalam konteks debat antara program Bank Dunia dan model La Via Campessina dan bagaimana diletakkan dalam perubahan hubungan negara dan civil society.
• Kay sangat lama mendalami Amerika Latin. Sedangkan Lodhi banyak melakukan penelitian di Vietnam. Keduanya sekarang di ISS.

Semua peserta memperkenalkan diri

Presentasi Review Shohib (Lihat di Website Milis kursus-agraria)
Presentasi Review Gama
• Reforma agraria di kawasan hutan sangat kecil. Semua yang dilakukan menumpuk di luar kawasan hutan yang luasnya hanya 30%.
• Tiga hal yang ditawarkan:
1. Berdasarkan alasan apa pemerintah menjalankan RA
2. Apa model dan strategi yang mau diterapkan di antara keempat perspektif (market-led, state-led, peasant-led, state/society driven)
3. Apakah RA bisa mengentaskan kemiskinan?
4. Bagaimana RA menyikapi isu lingkungan seperti perubahan iklim, fungsi DAS, dll?
Klarifikasi Istilah
1. Indeks gini:
2. Cadastral
3. Pre-existing agrarian structure
4. Landless dan nearly landless
Indeks Gini
• Bandingkan antara grafik di mana semua kelas memiliki tanah dengan yang tidak memiliki tanah

• Tiba-tiba proses hukum menetapkan bahwa kelompok tertentu dinyatakan tidak boleh memiliki tanah dan kelompok yang lain boleh memiliki tanah.
Cadastral
• Pemberian atribut-atribut pada sebidang tanah (letak, luas, batas, subyek)
Land titling
• Terkait dengan cadastral karena pemberian hak atas tanah tidak mungkin kalau tanpa cadastral
Pre-existing agrarian structure
• Struktur agraria pra reform di Amerika Latin.
• Pengalaman di Mexico: para budak bersekutu melakukan perlawanan terhadap para tuan tanah dan seiring dengan kemerdekaan. Setelah merdeka mereka berkelompok dan mendapat bagian tanah bersama (ejido). Penguasaan tanah dan produksi di atas tanah itu pasca landreform sebagian besar dipengaruhi oleh latifundia
• Bandingkan di Indonesia yang dibagi kecil-kecil (bukan kelompok) karena konteks pra land reform bukan latifundia tetapi pemilik tanah yang luas
Neoliberalism
• Kebangkitan neoliberalisme dan para penganjurnya pada tahun 1980-an memiliki program umum bagaimana negara-negara berkembang bisa membayar hutang. Padahal kemampuan membayar jauh di bawah jumlah hutangnya. Repotnya, Brazil, Chili tidak memiliki minyak. Negara donor memaksa agar dana untuk kepentingan publik (seperti land reform) dikurangi. Tetapi lebih dari itu IMF juga menekankan stabilisasi moneter. Ini terkait dengan utang yang dalam bentuk dolar. Supaya hutang bisa dibayar dalam bentuk dolar, maka harus diekspor. Mujur Indonesia pada saat itu punya minyak. Brazil dan Chili terpaksa merubah industri mereka dari substitusi impor menjadi industri orientasi ekspor. Akibat dari semua itu maka land reform tersingkir dari kebijakan
• Bentuk kebijakan neoliberalisme berbeda-beda dari satu periode ke periode lain. Tetapi pada intinya, neoliberalisme menekankan bahwa orang dan badan usaha diberi kebebasan untuk .. (ada yang bilang untuk kebebasan manusia, ada yang bilang untuk demokrasi, ada yang bilang untuk akumulasi modal).

Sesi Diskusi
Iwan
• Naskah menunjukkan bahwa dari sisi nasional ternyata ada pengaruh global yang dominan. Saat ini agenda reforma agraria ditempatkan dalam kerangka pemberantasan kemiskinan.
Luthfi
• Ada kata kunci dalam paper Boras. Interlinked actors --> harus disadari bahwa masing-masing aktor sangat beragam.
Penjelasan Noer Fauzi: Pada kondisi macam apa mekanisme pasar dapat dipercayai sebagai basis dari pelaksanaan land reform (siapa yang mendukung kepercayaan itu..)
Etik
• Kita perlu bersepakat apakah land reform itu hanya menyangkut tanah saja?
• Mana karakter obyek yang harus menggunakan market driven dan mana yang harus menggunakan state driven
Masing-masing negara punya sejarah dan spesifikasi sendiri. Karena itu kita perluas dulu variasi dalam pengalaman berbagai negara.
Kedua naskah ini bercerita mengenai sejarah land reform sejak jaman dekolonisasi. Konsepsi land reform berubah-ubah menurut waktunya dan pihak yang mengusungnya.
Echo
• Perbedaan antar negara yang berakar dari falsafah sosial dan preferensi ideologis masing-masing negara. Setiap negara dipaksa untuk memikirkan konsepsi RA apa yang paling tepat untuk kondisi negaranya masing-masing.
• Tantangan ke depan mengenai redefinisi negara, pertanyaan adalah prasyarat apa yang paling penting dipenuhi oleh negara agar dia mampu menjadi pilar dalam pelaksanaan RA
• Untuk naskah Boras, pengalaman negara kita menyadarkan bahwa kepentingan kita menjalankan RA harus diletakkan dalam kerangka obyektif dan bukan pada relasi kepentingan global.
Satyawan
• Tidak ada model yang dapat memonopoli bisa mengatasi kemiskinan dan ketimpangan.
• Saat ini tidak ada negara yang bisa menjalankan kebijakan proteksionis seperti dulu.
• Setiap dilakukan reform pasti ada kounter reform. Peran gerakan sosial sangat penting. Untuk itu hubungan-hubungan di dalam negeri perlu ditentukan (hubungan antara negara dan civil society.
• Tidak bisa merumuskan model-model land reform dari balik meja karena pelaksanaan land reform merefleksikan kekuasaan yang ada.
• Jadi program reforma agraria harus dilihat sebagai proses politik, dan bukan sebatas persoalan intelektual
• Courville dan Patel menunjukkan bahwa negara menjadi lemah karena dipreteli kekuasaan demi mekanisme pasar. Dalam kondisi seperti itu, keputusan-keputusan negara sangat dijembatani oleh pasar. Dalam sistem itu demokrasi berkembang dan ruang civil society membesar. Tetapi dalam kondisi itu mereka tidak bisa menerjemahkan ke kebijakan karena negara sangat lemah. LSM bisa bergerak leluasa di luar gedung, tetapi di dalamnya hal itu tidak bisa dimasukkan ke agenda-agenda kebijakan.
Noer Fauzi
• Penjelasan tabel Boras.
• Kadaster adalah penyederhanaan dari sistem tenurial yang kompleks supaya legible: bisa didaftar, ditunjukkan tempatnya, dialihtangankan, dijaminkan dst
• Pemetaan partisipatif sebagai bagian dari reforma agraria oleh inisiatif gerakan sosial
• Ujungnya adalah pertanyaan: kondisi sosial, ekonomi dan politik macam apa yang membuat reforma agraria ini bisa berjalan dan dalam bentuk apa reforma agraria itu dijalankan.
• Studi komparatif perlu untuk membuat kita tidak self-centered.
• Ben Causin ahli agraria kulit putih dari Afrika Selatan. Membuat program studi agraria di Afrika Selatan yang perhatiannya juga meluas ke Zimbabwe.
• Deborah menunjukkan dalam studinya di Afraka Sub Sahara bahwa structural adjusment mempercepat proses deagrarianisasi ketika mereka pergi dari produksi komoditas primer dan pendapatan non-pertanian menjadi pengganti pendapatan pertanian. Proses panjang "fareweel to peasantry". Terjadi proses redefinsi pendapatan dan perubahan spasial kaum petani menuju ke non pertanian. Proses inilah yang diteoritasikan dengan konsepnya deagrarianisasi sebagai bagian dari proses lebih besar structural adjusment dan liberalisasi perdagangan.
• Cousins menambahkan Deborah dengan mengatakan bentuk-bentuk diferensiasi baru di lingkungan petani dan penduduk pedesaan. Diferensiasi ini mengelak dari antagonisme kelas dan tenaga kerja, tetapi diartikulasikan dalam bentuk gender, ethnic, keagamaan dan identitas-identitas lain dengan cara yang kompleks. Menurut Cousins hal ini
• Masalahnya bukanlah orang pedesaan membutuhkan modal (yang akan datang dari proses globalisasi), tetapi yang mereka butuhkan adalah pekerjaan.
Luthfi
• Mengaitkan deagrarianisasi dengan ekonomi informal. Ciri informal: apa subsitensi, konsolidasi atau akumulasi.
• Apakah proses deagrarianisasi itu positif atau negatif itu tergantung pada tahap apa dia pada level subsistensi, konsolidasi atau akumulasi
Satyawan
• Marx juga berpendapat bahwa sektor pertanian hanya merupakan transisi menuju industri dan untuk mempercepatnya didorong melalui land reform yang bercorak kolentivis
Noer Fauzi
• Kita memahami deagrarianisasi sebagai gejala deskriptif yang perlu dipertimbangkan oleh para promotor RA. Sebab motor RA adalah petani, tetapi petaninya sudah pindah ke kota di daerah slums.
• Davis (Planet of Slums) menganggap ekonomi informal sebagai tempat penampungan dari tenaga kerja yang berkelebihan yang hanya mampu memelihara subsistensinya.
• Formalisasi sektor informal ala de Soto akan menjadikan privatisasi wilayah slums sehingga yang tidak mampu melakukan formalisasi akan tersisih dari wilayah itu. Slums dan kemiskinan tidak ada lagi dari wilayah itu, tetapia dia tidak menghilang.
• Slums adalah petani di kota karena dia self-exploitation dan subsisten.
• Hubungan desa dan kota ini apa dampaknya terhadap persoalan agraria di desa. Dalam konteks Indonesia, konsekuensi itu muncul dalam gejala TKI.
Tina
• RA sangat dipengaruhi oleh bagaimana kita melihat paradigma pembangunan. Pembangunan kita menyedot semua sumberdaya desa ke kota, lalu ke negara maju.
Noer Fauzi
• Kita memerlukan pemahaman yang tebal sebelum menentukan pilihan reforma agraria yang akan diambil
• Naskah kedua adalah Razafi dari UNRISD. Dia meneliti atas permintaan Bank Dunis terkait social development. Salah satu yang ditugaskan pada Razafi adalah merangkum peneliti dan aktivis yang menulis peran dan perjuangan perempuan dalam perubahan agraria.
Laksmi
• Razavi memulai dengan pertanyaan: akses terhadap lahan atau akses terhadap sumberdaya rumah tangga