Catatan Singkat
Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria
(LiBBRA)
STPN Yogyakarta
Selasa-Rabu: 30-31 Januari 2008
Oleh: Eko Cahyono
hari pertama;
Ruang pertemuan berbentuk oval di gedung PPD lantai 2, bagian sebelah timur Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Godean Yogyakarta menjadi ‘saksi’ pertemuan awal dari rencana rangkaian pertemuan Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (selanjutnya cukup, RA saja) dengan tema cukup gagah: “Kebangkitan Studi Agraria dan Agenda Reforma Agraria di Awal Abad 21” hasil kerja ‘gotong royong’; Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor (PKA-IPB), Lingkar Pembaruan Pedesan dan Agraria (KARSA) Yogjakrta dan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor.
Kurang lebih 30 orang peserta belajar, baik peserta tetap maupun undangan sudah nampak tertib di ruangan oval itu sejak pukul 09.00 WIB sebagaimana kesepakatan di manual acara, untuk mengikuti Pembukaan acara yang dimulai dari sambutan Rektor STPN Yogyakarta Dr. Endrarto Sutarto. Secara garis besar penjelasan beliau terkait dengan perubahan paradigma dan visi STPN dari garis orientasi keilmuan “pertanahan’ dalam makna ‘teknis’, menjadi orientasi ke “ke-agraria-an’ dalam maknanya yang paling luas, dengan cita-cita besar menjadikan STPN sebagai center of excellence dari kajian, penelitian, studi dan diskursus Reforma Agraria di Indonesia, selain sebuah tanggung jawab ‘moral dan akademik’ sebagai satu-satunya Perguruan Tinggi di Indonesia yang terkait langsung dengan soal dunia “Pertanahan”.
Pengantar diskusi pada sesi pertama, setelah rehat dan coffe break (yang cukup banyak variasi makanan dan enak-enak itu..!) di‘ceritakan’ oleh Direktur Land Reform Gunawan Sasmita. Cerita dari pak Gunawan yang didaulat untuk mewakili persepektif ‘Pengambil Kebijakan” (Birokrasi) banyak mengupas dan menjawab tohokan pertanyaan Noer Fauzi (sebagai pengarah dan pembimbing Belajar Bersama RA) yang berkisar pada tiga soal mendasar:
a. Bagaimana ceritanya, kok tiba-tiba BPN mengambil alih RA menjadi agenda pokok dan utamanya?.
b. Seberapa besar pengaruh RA di dalam internal BPN sendiri? Bagaimana sikap ‘pejabat’ BPN sendiri? (inside looking).
c. Bagaimana proses, tahapan, konseptualisasi yang sudah dan akan dilakukan BPN? Dan sudah sampai mana pilot project itu dijalankan?
Ternyata tohokan yang lebih tepat sebagai sebuah ‘arahan’ presentasi agar tidak ‘teks-power point’ dari bahan yang disiapkan itu ternyata manjur. Sehingga pak Gunawan S cukup sistematis dan fokus menjelaskan cerita dari persepektif Pengambil Kebijakan atau wakil Pemerintah, sejak dari sejarah dan latar belakang RA di Indonesia, pasang surutnya dari tiap periode dan zaman, berserta haru-biru pengalaman BPN memulai kembali membangkitkan, mensosialisasikan dan mencoba meng uji cobakan kembali di lapangan.
Salah satunya yang patut menjadi garis besar adalah keinginan pihak BPN untuk “menemukan” RA yang relevan dan kontektual ala Indonesia, dengan jalan ‘uji coba’ praksis lapangan untuk disusun menjadi teori, maupun dari teori ke praksis di beberapa daerah yang sudah memiliki “bibit” RA nya, diantara yang disebutkan adalah: Lampung, Blitar dan Sumatera Utara. Terdapat tiga metode untuk melakukan uji coba itu, yaitu:
a). Subjek di dekatkan ke Objek,
b). Objek sama dengan Subjek
c). Objek di dekatkan ke Objek.
(dengan penekanan pada metode yang pertama dan ketiga.)
Dalam putaran tanya jawab dan diskusi sesi pertama ini muncul pertanyaan, pernyataan, kritikan dan perluasan dari presentasi pak Gunawan S, diantaranya:
- Pentingnya RA diperkokoh dengan hukum positif sebagai pilar dasarnya.
- Bagaimana RA dari sisi ‘akses reform’ nya berhadapan dengan kepungan dan jebakan kekuatan pasar yang berwatak Kapitalistik dan Neoliberalisme.
- Sampai mana uji-coba sekian model RA di beberapa daerah, memiliki pengaruh positif (untuk tidak mengatakan menjawab?) disandingkan dengan gerakan rakyat yang telah lama ‘berjuang menuntut hak dan ruang hidupnya’ di berbagai daerah, juga sebaran konflik agraria yang marak belakangan ini?
- Pentingnya kesiapan “satu suara dan satu langkah” penyeru utama ‘institusional’ RA (dalam hal ini keluarga besar BPN) baik “pasukan” maupun jejaring dana sebagai syarat utamanya di satu sisi dan merangkul satu suara dengan seluruh pihak dan lapisan rakyat bahwa RA sebagai tanggung jawab bersama sebagai bangsa.
Setelah rehat, minum kopi dan leyeh-leyeh, sesi kedua dibuka dengan presentasi dari Hendro Sangkoyo (Pengajar Doktoral di Cornel University yang juga pimpinan di lembaga Ekonomika Demokratik), yang didaulat mewakili perspektif ‘civil society”.
Kesan “provokatif” sudah tercium sejak judul presentasi ditayangkan; “Jika Reforma Agraria jawabannya, apa pertanyaannya?”
Hendro S dalam sesi kedua ini dengan ‘gaya khas’nya meyakinkan dengan antusias dan sangat luas membentangkan keniscayaan perjuangan RA di Indonesia, pun di dunia sebagai suatu tugas “sangat mulia” dunia – akherat; bahkan kelak dijamin fasilitas ‘surga VVIP’, otomatis dengannya beriringan keharusan kerja berat berjangka panjang, bahkan sangat panjang. Sindiran satir itu bukan iseng-iseng, saat melihat, mendengar dan mengetahui bagaimana sekian lapisan kompleks R.A seperti dijelaskan Hendro S kemudian, menunjukkan bahwa cita-cita perjuangan R.A ini erat terkait pada soal mendasar untuk membuat dan mewujudkan sebuah ‘payung besar’ kepedulian, kepekaan kemanusiaan beserta tanggung jawab menjaga dan memelihara, apa yang disebutnya sebagai ruang dan jaminan hidup atas rakyat sejagad dan sebumi, tetapi perbincangan tentangnya seolah menjadi nampak ‘terkotak sederhana’, yang menurutnya karena kemiskinan “imajinasi” kita tentang hal ikhwal ke-Reaforma Agraria-an.
Uraian Hendro S, mencakup deretan panjang koreksi atu mungkin lebih tepat ‘gugatan’ dari sejak corak pandang (mindset), ‘bangunan berfikir (epistimologis?) apa yang membidani lahirnya perjuangan kebangkitan RA, orientasi, arah dan tujuan apa yang hendak dibayangkan dan di tuju perjuangan kebangkitan RA, sampai dengan beberapa tawaran 4 kuadaran langkah strategis mengupayakan RA, yaitu;
a. Pentingnya belajar tentang ekspansi ekonomik berserta tapak social ekologisnya,
b. Keharusan untuk mempelajari syarat-syarat pembalikan proses perusakan ruang-hidup rakyat dan pelucutan rakyat dari sumber-sumber penjamin kehidupannya.
c. Memperluas medan belajar untuk praktek social dan praktek institusional pembaharuan proses perluasan ekonomik, dengan syarat proses belajar ini tidak boleh dikenai kekerasan.
d. Pengutuhan rantai-rantai penjamin ketahanan social-ekologis, pembaharuan system, mekanisme, dan instrument pengurusan public.
Cerita njlimet tapi ‘mencerahkan’ Hendro S sampai juga pada soal cerita bagaimana menyikapi ‘masa depan’ RA bersandingkan masa depan nasib bumi dengan segala isinya khususnya pada tiga hal dasar yang harusnya menjadi perhatian garis depan para pejuang kepedulian nasib manusia dan ruang hidupnya yaitu: air, pangan dan enerji beserta sekian turunannya, yang menurutnya bagian wajib dari ‘ruang perjuangan regional’ RA dalam makna luasnya. Bagaimana mengutuhkan aneka hal itu dengan RA?
Dengan slide dan simulasi gambar menarik (untuk beberapa hal ‘membingungkan’), dipoles dengan pilihan bahasa ‘segar dan nakal’nya, juga yang ‘tak tertulis’dan tak tertayangkan dari presentasi Hendro S membuka kesadaran dan inspirasi mendalam, setidaknya lebih ‘imajinatif’ saat mendudukkan RA sebagai medan utama perjuangan nasib hak dasar rakyat berserta ikatan penjamin dan ruang hidupnya yang makin hilang dan diperebutkan dengan brutal dan dilahap rakus oleh kelompok nir-kemanusiaan berorientasi modal dan pasar. Untuk itu, menurutnya arah dan orientasi perjuangan RA mesti di ikat mati dengan tiga “spirit” tujuan:
1. demi jaminan keselamatan manusia
2. demi produktifitas rakyat
3. demi kelangsungan pelayanan alam.
Untuk belajar sungguh-sungguh dalam bentangan luas tantangan itu, menurut Hendro S, kita hanya tersedia waktu sampai 20015 saja (dilihat dari percepatan dampak turunan dan efek domino dari perubahan global dengan segala produk sistem yang dilahirkannya, yang sengaja abai dan rabun bahkan tumpul imajinasi pada tiga tujuan di atas, diantaranya; perubahan iklim, pasar bebas dst).
Catatan lain dari Hendro S (selain 4 kuadran langkah diatas) yaitu teramat penting menemukan ‘logika belajar’ untuk menemukan solusi dasar yang menyeluruh, bukan spasial, kotak-kotak dan… yang itu jelas menyoal tandas model pandangan ‘satu dimensi’; disiplin keilmuan, paradigmatik, perspektif, bendera idelogis…dan seterusnya..dan sebagainya.
Putaran diskusi di sesi kedua semakin seru dengan banyak pertanyaan yang dimulai kata “makin bingung”, makin pening, makin ndak ngerti, makin terbuka, tercerahkan sampai makin “uthopia” dan bagimana ‘realistisnya”? Namun, setidaknya, masing-masing peserta makin memahami arti penting ‘imajinasi’ perjuangan RA yang multi dimensi menembus aneka sekat dan batasan; ruang, ideologi, disiplin ilmu dst.
Lingkar belajar hari pertama ditutup dengan penjelasan metode belajar dan membuat kesepakatan agenda hari kedua di pandu Noer Fauzi.
hari kedua;
Pukul 09.00 WIB sebagaimana kesepakatan, para peserta belajar telah siap memulai. Sesi awal pagi hari kedua dimulai dengan perkenalan dan menengok singkat motivasi keikutsertaan masing-masing peserta Lingkar Belajar Bersama RA, yang ternyata cukup warna warni. Bukan saja pada soal motivasi, pandangan dan latar belakang akademik, keilmuan kelembagaan/institusi yang menjadi titik berangkat dan yang diwakilinya, tetapi juga multi level modal pengetahuan mereka tentang seluk beluk, apa itu RA? Dari yang telah Doktor, aktivis pembaruan agraria yang telah menjenguk belahan negara lain, ahli hokum senior, dosen Ilmu Pertanahan, aktivis gerakan mahasiswa, hingga yang masih menjalani mahasiswa SI dari jurusan Agama. Tentu saja aneka ragam ini memiliki implikasi tersendiri dalam mewarnai proses lingkar belajar ini.
Setelah putaran perkenalan peserta belajar usai, dilanjutkan dengan presentasi beberapa artikel pilihan yang terkait pda tema menelusuri sejarah kebijakan Land reform; pengalaman dari beberapa negara; Afrika, Amerika Latin dan Asia.
Artikel pertama yang dipilih adalah karangan M.R. el-Ghonemy berjudul: “Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into the Twenty-First Century” yang disampaikan oleh Moh. Sohibbudin (SAINS) Bogor. Beberapa pokok pikiran yang disampaikan meliputi:
1. Sejarah kilas balik Land Reform dari tahun 1963-2003.
2. Argumen-argumen dari el-Ghonemy; diantaranya soal rendahnya kualitas rakyat yang tak bertanah, pendekatan RA yang menekankan intervensi pemerintah dll.
3. Tujuan penulisan artikel el-Ghonemy, diantaranya untuk menelaah isu-isu pembangunan di negara-negara berkembang.
4. Isu-isu analitis dalam artikel, diantaranya: perluasan makna RA, pelampauan perdebatan kutub pendukung ‘Smith’ yang ‘individualis’ dan ‘ Marx’ yang ‘kolektif’ dll.
5. Evaluasi Kebijakan Pembangunan Pedesaan, dimana perspektif ala Smith dan Marxs semakin dianggap tidak mencukupi lagi sebagai alat baca, sejak pasca PD II, serta pentingnya penguatan peran Negara.
6. Pengalaman RA di berbagai Negara, yang menjelaskan soal keragaman program RA yang disesuaikan dengan filsafat social masing-masing Negara, juga ideologi yang mendasari sebuah Negara yang melaksanakan RA. Juga pentingnya masing-masing Negara menggali sendiri khazanah kebangsaannya sendiri untuk menyusun RA yang “relevan dengan kondisi negaranya”.
7. Kritik terhadap Pasar yang dinilai Al-Ghonemey memiliki ambiguitas dan kepalsuan yang sering berlindung di balik netralitas. Selain pentingnya peran Negara untuk ikut campur dan terlibat nyata pada sebuah pelaksanaan RA.
8. Tantangan Kedepan, diantaranya menyoal;
o Pembangunan pedesaan dalam konteks perubahan pilihan kebijakan yang akhir-akhir ini dikepung oleh gurita Neoliberalisme.
o Keharusan redifinisi peran Negara.
o Tuntutan tanah yang akan semakin besar di satu sisi, dan penguasaan tanah yang juga semakin membesar pada sisi yang lain.
Sebelum putaran dikusi dan tanya jawab dimulai, Noer Fauzi sebagai pembimbing lingkar belajar meminta peserta untuk mengumpulkan terlebih dahulu kata dan istilah sulit atau belum difahami untuk dijelaskan lebih dahulu..(sebuah metode menarik agar masing-masing bisa saling belajar, berbagi dengan ‘setara’)
Beberapa catatan dari artikel pertama ini yang akan di diskusikan kemudian adalah;
1. Dalam kondisi (seperti) apa mekanisme pasar dapat menjadi pilar RA?
2. Prasyarat apa saja yang penting dipenuhi oleh negara agar dapat menjadi pendukung RA di tengah masyarakat yang emoh Negara?
Artikel kedua, disampaikan oleh Gama yang kebagian mereview artikel dari Boras dkk dengan judul: “Agrarian Reform and Rural Development; Historical Overview and Current Issues”
Dalam presentasi lisan nya (tanpa teks di slide) gama mengurai singkat beberapa pokok artikel Boras dkk, diantaranya meliputi:
1. Berbagai dampak kebijakan pertanahan pengalaman di 10 negara.
2. Pendekatan sejarah yang menjelaskan aneka ragam definisi RA dan struktur RA terkait dengan usaha pengentasan kemiskinan.
3. Berbagai macam strategi RA yang ditulang punggungi bidang sosial-politik.
4. Pengalaman sejarah tentang posisi RA baik sebagai legitimasi saat perang dingin bagi Blok Barat maupun Timur, sebgai alat pembangunan Negara dst.
5. Latar belakang dan alasan munculnya RA, diantaranya;
o Banyaknya konflik di wilayah pertanian
o Kondisi social-politik pasca runtuhnya blok Barat dan Timur
o Kemunculan jejaring Neoliberalisme dll.
6. Beberapa model strategi taktik (stratak) RA, diantaranya:
o Market Land
o State Land
o Gerakan Petani
o Hubungan (kombinatif) anatara Negara dan Masyarakat.
(yang mana pilihan model yang ‘relevan’ bagi pelaksanaan RA di Indonesia?)
7. Beberapa tawaran gagasan dari Gama diantanya;
o Kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari 30 % adalah non pertanian, dan 70 % adalah wilayah hutan, di satu sisi membuntuhkan sebuah kebijakan politik ekologis dan kehutanan atau kebijakan yang berbasis “sadar dan ramah lingkungan”.
o Disisi lain, bagaimana mengkombinasikan atau mensinergikan kebijakan dan gerakan RA dengan pentingnya kebijakan politik “sadar dan raham lingkungan” itu?
o Bagaimana menggandengkan mesra dan harmoni antara RA dengan isu lingkungan hidup dan usaha penanggulangan kemiuskinan?
Sebelum dikusi dan tanya jawab dua artikel di atas, Noer Fauzi sebagai pembimbing lingkar belajar meminta peserta untuk mengumpulkan kata dan istilah sulit atau belum difahami untuk dijelaskan lebih dahulu..(sebuah metode menarik agar masing-masing bisa saling belajar, berbagi dengan ‘setara’)
Beberapa tanggapan dan komentar dari dua artikel diatas, diantaranya:
1. Pelaksanaan RA bukan saja tergantung pada filsafat social, ideology sebuah Negara tetapi lebih mendasar dari itu adalah soal hubungan Negara dengan kelompok kekuatan civil society dan relasi kekuatan politik dalam masyarakat di satu sisi dan hubungan kekuatan antar elite state nya sendiri di pihak lain.
2. Dengan demikian RA harus diletakkan sebagai agenda politik nasional, yang meniscayakan kekuatan Negara sebagai penopang kebijakan RA agar mampu menghindar dari pengankangan brutal kekuatan pasar.
3. Noer Fauzi mengajak untuk membahas dengan lebih mendalam tabel periodic tentang perbedaan dan perbandingan serta “Perubahan Basis ekonomi, social-politik dari 1980an sampai dengan 1990an yang dibuat Boris dkk. Pertanyaan pokok yang kemudian ditemukan dan patut untuk di diskusikanlebih jauh adalah “ Kondisi social-politik-ekonomi macam apa yang memungkinkan RA? Dan RA macam apa yang yang muncul dalam situasi itu?
Artikel ketiga yang dipilih adalah karangan Ben Cousin dengan judul: “Land and Agrarian Reform in 21st century; changing Realities, changing arguments?” yang disampaikan oleh Sindu (LAPERA) Yogyakarta. Beberapa pokok pikiran yang muncul meliputi:
1. Beberapa pandangan tokoh yang menjadi asumsi tulisan Ben Cousin, seperti pandangan Davis soal berbagai macam fenomena memprihatinkan dan akibat yang timbul karena masalah migrasi desa-kota.
Pandangan Hernando de Soto:
2. Pandangan Ben Cousin sendiri sendiri mengenai:
o Dampak global yang tak berimbang dengan kesiapan pedesaan yang berakibat terseretnya pedesaan pada arus utama globalisasi.
o Berbagai model pelaksanaan Land Reform abad 21.
3. Penjelasan, perbedaan dan akibat dari enam “Typologi reformulasi rasional untuk RA pro-poor” yaitu:
o Tipe Neoliberalisme
o Tipe Neo-Populisme
o Tipe Devolopmentalisme
o Tipe Welfarisme
o Tipe Radikal Populism
o Tipe Class strunggle
-
4. ………..
5. …………
6. ………….
Tanggapan dan gagasan;
Jika motor penggerak RA adalah petani, sementara akhir-akhir ini akibat dari “de-agrarianisasi’ kaum petani mengalami perubahan mendasar serta melakukan migrasi ke kota di ‘kawasan-kawasan kumuh’ atau ‘penampungan kawasan lebih’, bagimana menyikapi situasi ini disandingkan dengan kebangkitan RA? Dan bagaimana memahami ‘sektor informal’ (petani, pedagang kaki lima dll) yang belakangan ini sampi pada kondisi yang menindas dirinya sendiri? (bandingkan dengan pandangan De Soto yang meyakini bahwa “sector informal” sebgai suatu modal tersembunyi untuk pembangunan kapitalisme)
Artikel ke-empat adalah karangan Shahra Razavi berjudul: “ Liberalisation and the debates on women access to land” disampaikan oleh Laksmi Savitri (PKA- IPB).
Beberapa pokok pikiran dan pertanyaan yang diajukan dalam tulisan ini adalah:
1. Secara garis besar Razavi hendak menerangkan bagaimana perjalanan diskursus tentang peran pearempuan dalam pembaharuan agraria.
2. Razavi mengedepankan sebuah persoalan bahwa sesungguhnya ada kenyataan ketidakadilan akses di aras rumah tangga,ketika konsiderasi reforma agrarian berhenti hanya pada tingkat rumah tangga petani.
3. Untuk mengupas pikiran Razavidalam artikel ini, Laksmi S mengajukan baeberapa pertanyaan kunci diantaranya adalah:
o Pelaksanaan RA itu akses terhadap lahan atau akses terhadap sumberdaya rumahtangga?
o Apakah RA sudah bicara tentang perempuan dan rumah tangga?
o Lalu, ada apa dengan wanita terhadap asset tanah?
-
4. Rumah tangga perlu dilihat sebagai paduan antara kepentingan perempuan dan laki-laki yang menyatu tapi juga sekaligus terpisah atau disebut Razavi sebagai “co-operative conflict” . Inilah mestinya yang menjadi spirit dasar pemberangkatan RA, sebab jika tidak akan berimplikasi pada:
a. Advokasi perempuan hanya diletakkan pada perubahan hukum dan peraturan saja padahal kedua prasyarat itu tidak lah mencukupi dalam mendorong perubahan sosial.
b. Pasar tanah tidak mampu menjamin akses perempuan terhadap tanah.
c. Privatisasi melalui pemberfian hak atas tanah secara individual, menyingkirkan perempuan yang tadinya sudah memiliki semacam klaim tenur melalui system tradisional.
d. Postulat “lahan sempit-efisiensi tinggi’ justru bertumpu pada eksploitasi beban kerja perempuan dan anggota keluarga yang lebih muda.
5. Razavi menyimpulkan bahwa dengan permasalahan sedemikian kompleks, pemberian hak individual atas tanah kepada perempuan tidak menyodorkan solusi secara serta merta karena banyak factor yang bisa memidiasi akses tersebut.
6. Perdebatan tentang isu feminis tidak boleh berhenti sekeder menjawab pertanyaan cukup atau tidak cukup adil dan bagaimana supaya lebih adil? Tetapi mesti dilihat juga pada soal implikasi nya yang lebih luas jika ketidakadilan itu dibiarkan.
7. bagi Laksmi S sebetulnya tidak perdebatan tentang bagaimana perempuan sebaiknya mendapatkan akses dan kepemilikan atas tanah. Laksmi mengajak untuk mundur selangkah dulu dengan pertanyaan: apa akibatnya jika perempuan tidak mendapatkannya? Apakah ini cuma persoalan perempuan, terutama perempuan petani tanpa tanah dan penguasa lahan sempi, atau menyangkut keselamatan hidup orang banyak? Tanpa mempertanyakan hal ini tidak akan ada kekuatan untukmembuka akses menuju penentuan bentuk hak ini di lingkungan kita.
Sayang, artikel menarik dan padat itu tidak bisa diteruskan dalam putaran diskusi berlangsung, waktu telah menunjukkan pukul 16.45 WIB, atas dasar pentingnya arikel Razavi diatas, dan banyak peserta yang sore itu juga mesti mengejar jadwal terbang pesawatnya masing-masing, atas persetujuan forum artikel tersebut akan menjadi pem buka dalam Putaran Kedua Lingkar Belajar RA yang disepakati diadakan di Bogor tanggal 5-6 Maret 2008.
Sebelum acara dipungkasi, masing-masing peserta belajar dipersilahkan memilih dengan partisipatif bahan artikel yang hendak menjadi tanggung jawab untuk diriview dan dipresentasikan dalam putaran kedua di Bogor.
Akhirnya, runtutan putaran pertama Lingkar Belajar Bersama RA (LiBBRA) ditutup dengan penjelasan bahwa bahan-bahan artikel RA yang akan menjadi pembahasan di putaran kedua di Bogor adalah artikel-artikel yang lebih beraroma dialektika teoritis, sehingga masing-masing peserta diharapkan menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh .
Mengutip kang Ozi, jika tidak taat komitmen kesepakatan bersama dalam LiBBRA ini sangsinya (cuma) satu, yaitu “MALU…”!!! Benarkah maknanya hanya ‘cuma’?
Akhirul kalam, “Met, bertemu kembali di Bogor peserta belajar yang budiman…”
Kamis, 21 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar