Sabtu, 20 September 2008

Notulensi LIBRA VII di UI (21 Agustus 2008)

NOTULEN WORKSHOP TRANSISI AGRARIA DI PEDESAAN JAWA:
PERSPEKTIF GERAKAN SOSIAL

Tanggal : 21 Agustus 2008
Hari : Kamis
Tempat : Gedung H 103, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI


PEMBUKAAN
Menyanyikan lagu Agraria dipimpin oleh bapak Gunawan Wirandi
Workshop di hari kedua dibuka dengan menyanyikan lagu Agraria yang dipimpin oleh bapak Gunawan Wiradi sebagai penggubah lagu tersebut. Sebelum menyanyikan lagu tersebut, bapak Gunawan memberikan beberapa patah kata terkait dengan latar belakang penggubahan lagu tersebut.

REVIEW DAN PEMBHASAN BAHAN BACAAN II (KASUS-KASUS EMPIRIS)
“Krisis Agraria dan Perlawanan Petani dalam Berbagai Konteks Agroekologi: Kasus Agroekologi Sawah, Desa Hutan, dan Perkebunan”
• Sadikin & Samandawai (2007), Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa
• Santoso (2004), Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa

Pembahas : Muhammad Yusuf dan Dini Harnita
Moderator : Satyawan Sunito

“Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa” dibahas oleh Muhammad Yusuf

>> Latar Belakang Penulisan
 Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2005 oleh divisi Agraria, Yayasan Akatiga Bandung
 Alasan pemilihan tema:
1. Secara konseptual: perdebatan antara pendekatan ekonomi moral (Scott, 1976), ekonomi politik/rasional (Popkin, 1979) dan pandangan Geertz mengenai cara pandang dan penjelasan teoritis tentang kehidupan masayarakat pedesaan (petani)
2. Secara praksis: pengorganisasian dan usaha-usaha mendorong proses transformasi sosial di pedesaan
 Lokasi penelitian: desa “Pangur” Kab. Kebumen dan desa “Sepur” Kab. Banyumas, Jawa Tengah.

>> Pendekatan Teoritis
 Pendekatan 3 Sisi: hubungan kekuasaan antar orang dan kelompok terjadi dalam banyak “aktor”, “konteks” dan “arena”.
 Pada tataran pengetahuan, seseorang aktor memiliki kebebasan untuk memberi tafsir, menerima maupun menolak struktur pengetahuan masyarakat yang telah diterima secara umum (struktur luar). Atau dengan kata lain, seorang aktor dapat membangun struktur pengetahuannya sendiri secara bebas (struktur dalam) tetapi dia tidak begitu saja melepaskan diri dari struktur luar.
 Dalam konteks tertentu, struktur pengetahuan hasil penafsiran seorang aktor bisa diterima dan menjadi bahan acuan aktor lain dalam berperilaku dan bertindak, tetapi dalam konteks yang lain bisa juga ditolak/ditentang.
 Pada titik inilah, pilihan moral dan rasional lebih merupakan pilihan yang bisa diambil seorang aktor setelah berhasil membuat tafsir atas kenyataan, membentuk pengetahuannya tentang sesuatu dan merudingkannya dengan aktor yang lain.
 Artinya, pilihan pendekatan moral dan rasional bukan ditempatkan secara dikotomi sebagai watak khas dari dua tipe masyarakat yang berbeda.

>> Citra Masyarakat Pedesaan
 Bahwa masyarakat desa yang digambarkan sebagai komunitas yang menjunjung tinggi kebersamaan, egaliter, tidak mengenal pelapisan, memiliki ikatan sosial yang kuat, dan harmoni merupakan hal yang mengandung kontradiksi dan perlu digugat kembali!
 Pemerintah vs Ornop: desa harus dimodernisasi (tinggalkan cara hidup tradisional) vs modernisasi penyebab kemunduran desa oleh karenanya yang perlu dilakukan adalah menata kembali institusi sosial dan tata kehidupan masyarakat desa yang telah dilumpuhkan oleh modernisasi
 Cara pandang seperti ini, “masyarakat pedesaan adalah komunitas yang bersahaja”, di satu sisi digunakan untuk meredam potensi konflik dan perlawanan rakyat terhadap penguasa (praktik politik pemerintah orba), di lain sisi, digunakan untuk menolak sistem baru yang akan melenyapkan sistem lama
 Dalam konteks sejarah tertentu, tidak melulu bahwa ciri masyarakat pra-kapitalis lebih menunjukkan perilaku yang didasari pertimbangan moral atau sebaliknya, dalam tahapan periode sejarah berikutnya masyarakat lebih mendasari perilakunya secara rasional setelah bersentuhan dengan sistem pasar (kapitalisme)
 Meskipun perilaku moral dan rasional melingkupi kehidupan masyarakat pedesaan bukan berarti keduanya berjalan secara linier, “yang satu mendahului yang lainnya”…
 Oleh karenanya, perilaku didasari oleh moral dan rasional tidak dapat disejajarkan dengan tradisional dan modern
 Akhirnya, cara pandang dikotomis yang kaku antara “tradisional” vs “modern” dan “moral” vs “rasional” pada masyarakat pedesaan mestilah ditinggalkan.

>> Pelapisan dan Makna Tanah
 Baik desa Pangur maupun desa Sepur, lapisan sosial masyarakatnya berdasarkan penguasaan tanah.
 Meski besaran penguasaan tanah sangat menentukan tingkat pendapatan warga desa yang juga akhirnya menentukan kedudukan seseorang warga di dalam masyarakat akan tetapi bukan merupakan unsur determinan perilaku dan tindakan masyarakat.
 Hal tersebut terjadi karena pengetahuan masyarakat tidak hanya bentukan struktur sosialnya melainkan juga dipengaruhi pengetahuan yang berasal dari lingkungan sosialnya. Sebagai misal: pengetahuan warga yang berasal dari pendidikan formal lebih banyak didapat dari luar desa. Demikian pula berlaku untuk pola perilaku dan tindakan.
 Dari hasil interaksi antara struktur dengan lingkungan sosialnya maka seorang buruh tani tidak bisa dengan gegabah bertindak sekehendak hati dengan pemilik tanah mengingat kedudukan mereka bergantung pada pemilik tanah.
 Namun demikian, buruh tani pun tidak begitu saja mau “menguatkan” tuntutan struktur sosial desa tentang kepantasan berperilaku di hadapan pemilik tanah. Begutu berlaku bagi pemilik tanah.
 Pola hubungan yang semacam ini pada dasarnya lahir dari kemampuan aktor dalam mengartikulasikan pengetahuannya (struktur dalam) vis a vis dengan struktur luar yang mengkerangkai pola perilaku sosial masyarakat.
 Dalam konteks kekinian, pandangan masyarakat desa mengenai tanah sudah tidaka disandarkan pada perspektif ekonomi moral. Tanah bukan hanya sumber kehidupan melainkan telah menjadi komoditas.

>> Konflik dan Perlawanan Petani
 Secara teoritis, ketimpangan agraria dan bertambahnya jumlah penduduk miskin di pedesaan dapat memicu timbulnya gejolak sosial dan konflik terbuka antara petani gurem atau tuna lahan (miskin) dengan petani golongan kaya yang menguasai tanah luas.
 Namun demikian, setelah orde lama lengser hingga saat ini, konflik-konflik agraria yang terjadi bukan disebabkan oleh realitas ketimpangan yang tajam akan tetapi lebih merupakan konflik restoratif atau ketimpangan agraria belum menjadi kondisi yang mencukupi timbulnya konflik terbuaka kecuali jika terjadi penggusuran tanah.
 Benturan antara struktur dalam dari si aktor dengan struktur luar yang sudah terinstitusikan melahirkan perilaku manipulatif dan mendua.
 Namun, karena aktor berada dalam posisi dan kondisi yang sama, perilaku manipulatif dan mendua tersebut tidak kemudian melahirkan benturan terbuka karena setiap aktor sama-sama menyadari dan memiliki pola perilaku sama
 Prinsip “tahu sama tau” kemudian menjadi alat peredam sekaligus alat untuk menghindari terjadinya konflik terbuka.
 Pilihan tindakan sang aktor dalam konteks tertentu akan berbeda dalam konteks yang lain, bergantung dari kemampuan sang aktor mengartikulasikan struktur dalamnya di dalam kerangka struktur luar yang melingkupi.
 Singkatnya, pokok persoalan kemudian bukanlah terletak pada seseorang itu lebih mendahulukan prinsip moral atau rasional melainkan seberapa besar kemampuan aktor dalam menegosiasikan struktur dalam dengan struktur luarnya.

>> Tantangan Gerakan Sosial
Jika saat dikatakan bahwa konflik-konflik agraria saat ini merupakan manifestasi dari adanya ikatan yang kuat antara petani dengan tanah sdan dikategorisasikan sebagai tipe masyarakat pra-kapitalis maka pendapat ini sudah selaknya dikritik lebih lanjut





Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa dibahas oleh Dini Harmita

>> Pengantar Prof. Tania Li (Rakyat dan Hutan Ketika Pasar Berjaya)
Santoso menemukan jawaban dari:
a. Mengapa masyarakat desa hutan tidak memberontak?
b. Tidakkah mereka menyadari ketidakadilan ketika tanah nenek moyang mereka diambil alih oleh pemerintah kolonial dan penerusnya?
c. Tidakkah mereka marah atas eksploitasi tenaga mereka?
d. Tidakkah mereka ingin menentang rezim yang memaksa dan menindas mereka?
 Terletak pada prinsip bahwa mereka tidak menyandarkan diri pada dunia ideal, atau yang sejenisnya.
 Reformasi dimaknai sebagai kesempatan untuk memaafkan pencurian (kredibilitas & kapasitas penegakan hukum oleh orang-orang kehutanan hilang; menunjuk pada segenap transformasi nilai & aspirasi masyarakat desa hutan)

>> Pengantar Dr. Heru Nugroho (HUTAN UNTUK RAKYAT: Antara Harapan dan Kenyataan)
Dengan setting lokasi di Kecamatan Wonomukti, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, penulis ingin memotret realitas objektif yang terjadi berkaitan dengan persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, yang ada dan terjadi di seputar kawasan hutan  ruang publik yang banyak menyimpan entitas, yaitu sebagai ruang hunian sekaligus ruang penyelenggaraan hutan (KPH), dengan segala persoalannya.

>> Tujuan Penulisan
• Mencoba mengangkat kasus-kasus harian yang selama ini mewarnai penyelenggaraan kehutanan di Jawa  meletakkannya dalam konteks & perspektif pengalaman-pengalaman lokal, untuk tidak mengatakan pengalaman masyarakat subkultur.
• “Suka ataupun tidak, pada akhirnya aksi dan perlawanan masyarakatpun mengalami, semacam, proses rasionalisasi – bukan radikalisasi” (hal. xxxvii)

>> Kontes Harian
• Karakter Pekerjaan ‘Pencuri Kayu’
Pesanggem  Berkolaborasi dengan pihak kehutanan
Balongkare  Berkonfrontasi dengan pihak kehutanan
• Masalah (Kesenjangan Das Solen – Das Sein)
Lahan  Bibrikan (kegiatan pertanian di lahan-lahan hutan tanpa persetujuan pihak kehutanan), basokan (memanfaatkan lahan bekas tebangan yang sedang diberokan untuk bercocok tanam), sabotase tanaman (sengaja mematikan tanaman kehutanan demi memperluas ruang tanaman pertanian).
Kayu  Angka rendemen yang tidak sesuai akan tetapi selalu disahkan oleh kehutanan (Berkembangnya versi-versi kebenaran, juga versi-versi kesalahan, hal.17); Harga kayu tinggi  Tengkulak (Skenario khusus yang telah disepakati bersama, ada logika-logika tertentu yang tidak sepenuhnya bisa dipahami melalui jalur normatif).
Target  Komunikasi antar pihak tidak nyambung&pengalaman yang terbatas.
Pertarungan Kepentingan  “perang dingin” sporadis, dengan arena yang berubah-ubah, dan tekad pelaku yang terkadang hanya setengah-setengah, serta banyak orang netral yang sekedar berdiri menyaksikan dari pinggir lapangan (pesanggem-pemain kayu-petugas kehutanan).

>> Kehutanan di Jawa
• Hutan di tengah kerumunan populasi  Makin tergerus: Kini jumlah hutan di Jawa 2.881.949 hektar (23% dari luas P. Jawa); Persoalan klasik: Kependudukan di Jawa.
• Rentang panjang pengusahaan hutan  Penambangan kayu (VOC) ± abad 17; Menuju perkebunan kayu (Daendels) ± 1808; Introduksi kehutanan akademik (Rochussen/Gubernur Jenderal Jawa mengundang para ahli Jerman: Bennich, Mollier, Balzar, Roessler) pertengahan abad 19.
• Konflik dan perlawanan  Pembangkangan orang Kalang (kalangan masyarakat desa hutan generasi awal yang pada masa-masa pra kolonial dan kolonial begitu mewarnai pekerjaan-pekerjaan kehutanan, keterampilan:Perkayuan, cara hidupnya berpindah-pindah) yang dikenai pajak kepala (bahkan gol. Pinggir & Gajah pun tidak) pada masa Sultan Agung (Mataram) sehingga mereka mengembangkan subkultur tersendiri; selesai singkat karena mereka memperoleh ancaman-ancaman dari para petinggi lokal.
• Konflik dan perlawanan  Geger Samin: Samin Surosentiko (Raden Kohar) sejak 1890 mengajarkan prinsip-prinsip hidup setara&menolak segala intervensi (ketentuan yang sepihak seperti batas lahan&pungutan masyarakat), 1907 Gerakan Samin dilarang, pengikutnya ditangkap, Samin&8 pembantu setianya diasingkan ke Sumatra Barat; pelanggaran-pelanggaran yang tak terhitung: Peristiwa Cilegon, Peristiwa Tiga Daerah, aksi-aksi harian.
• Perhutani: Mewarisi sebuah tradisi  Sebelum 1962: Kehutanan harus tetap berorientasi pada ekonomi&konservasi sehingga harus tetap berbasis negara&terpusat, setelah 1962: Jawatan Kehutanan diganti PN Perhutani – deklarasi tidak langsung atas kemenangan kaum konservatif, misi: Meningkatkan devisa, reforestasi, produksi kayu untuk industri kehutanan, 1966: PN jadi PU, serius pada bisnis kayu. Gagasan Foretika (Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan): Perlu perbaikan dalam cara mengukur kinerja, otoritas pengambilan keputusan berbeda setiap kabupaten, masyarakat adalah subyek pembangunan.

>> Wonomukti: Ruang yang Dihuni Bersama
• 4 desa fokus kajian: Tegalsari, Jatianom, Gemati & Rejomulyo  desa hutan (terletak dalam radius paling jauh 5 km dari batas luar kawasan hutan)
• Dua peta saling meniadakan  Desa-desa menyebar di berbagai kawasan, bertetangga, bersinggungan, bertampalan bahkan ada yang di dalam hutan. Tidak ada garis pemisah yang jelas antara kelas-kelas pada masyarakatnya. Pertaruhan kewibawaan di mata masyarakat: Tahun 2000 Wonomukti muram, ungkapan salah seorang warga kampung di Wonomukti: “Dulu orang kampung takut setengah mati pada petugas kehutanan, tapi sekarang mereka yang takut kepada kami. Mereka tidak berani masuk ke kampung, tanpa ditemani petugas kehutanan lain.
• Panorama pedesaan: Desa-desa menyusut  penyempitan di Tegalsari mencapai 95,7% hingga hanya menyisakan ruang bagi kehidupan desa sebesar 106,4 Ha dari semula 2.497,6 ha. Kependudukan  Keterdesakan&implikasinya:tumpangsari yang tidak bertahan lama). Pendidikan  Formal, rata-rata lulusan SD. Pencaharian  lahan masih jadi tema pokok diskursus ekonomi setempat, ironis karena ketersediaan sawah&ladang yang sedikit.
• Pergeseran dan perubahan: dari ekonomi lahan ke ekonomi kayu  involusi pertanian: Cara hidup padat karya di kalangan masyarakat petani dengan cara mengakomodasi populasi yang lebih besar pada lahan yang sama melalui prinsip mangan ora mangan asal kumpul/redistribusi kemiskinan (Geertz, 1963).
• Diferensiasi & relasi-relasi sederhana  pandangan tidak sepenuhnya benar (loyalitas&bentuk kepatuhan yang nampak bukan jaminan persetujuan tanpa syarat).
• Perhitungan-perhitungan tak terduga  Definisi tandingan situasi normatif yang dipromosikan pihak kahutanan selama ini  “Ruang-ruang sempit yang mereka huni, kemiskinan yang mereka jalani, bukan hal-hal yang dipandang sebagai sekedar suratan nasib. Boleh jadi mereka tidak tahu secara persis, dan mungkin juga tidak ingin tahu – bukan tidak mau tahu --, apa, siapa dan di mana akar persoalannya, akan tetapi mereka fasih membuat perhitungan-perhitungan yang menyangkut untung rugi, harga diri dan keselamatan hari depannya” (hal. 150).

>> Aksi Kecil-kecilan
• Ketimpangan neraca pertukaran: Bibrikan (aksi penggerogotan lahan hutan secara diam) jauh lebih efektif&menjanjikan keberhasilan daripada reclaim (aksi pendudukan lahan hutan secara terbuka).
• Di balik topeng kepatuhan: Penjarahan hutan  radikalisasi&aksi kecil-kecilan + ungkapan kemarahan masyarakat atas dua warga yang tewas di tangan petugas kehutanan. Pertalian dengan pencuri  perbanditan sosial (pertalian diam-diam antara pencuri kayu dengan orang miskin setempat). Oposisi simbolis&kultural  Cara kaum miskin mengaburkan “medan pertempuran”, juga menisbikan batas-batas kekalahan&kemenangan  ditandai dengan bentuk-bentuk kompromi (meskipun imitasi).
• Gosip&informasi yang berat sebelah: Gaya perlawanan di tingkat wacana.
• Menanggalkan kerelaan  menghindari kompromi.
• Menghindar&melarikan diri  terdokumentasi paling baik, co? aksi menuntut balas tahun 1998 (orang miskin menuntut penyelenggaraan kehutanan setempat bertanggungjawab atas kematian dua warga desa yang tertembak petugas kehutanan).
• Gerakan laten yang terlupakan  dilema apakah revolusi diciptakan oleh seorang pemimpin yang radikal atau massa yang bergejolak  “meningkatnya upaya-upaya paksa oleh negara pada segenap kontrol sumber daya alam dan masyarakat lokal, mengindikasikan adanya penurunan legitimasi dan otoritasnya di depan publik” (scott 1976 dalam Santoso 2004 hal. 218)

>> Melampaui Aksi Kecil-kecilan
• Menuju cara produksi baru: Aksi-aksi pencurian kayu yang marak&terstruktur, melibatkan banyak pihak, dan berskala industri  tidak otomatis terkait secara langsung dengan persoalan kesadaran lingkungan masyarakat. Didorong oleh tuntutan lapangan pekerjaan, pendapatan&impian-impian kesejahteraan, maka masyarakat mengembangkan skema-skema baru; merasionalisasi kegiatan pencurian kayu yang sudah berumur tua, menjadi suatu modus ekonomi sehari-hari yang bertumpu pada sendi-sendi kapitalisme.
• Gairah kapitalisme pedesaan: Industrialisasi rapuh  urbanisasi  kalangan muda&sebagian orang tertentu mencibir skema tumpangsari sebagai lapangan pekerjaan yang tidak membanggakan (tidak bergengsi)
• Gairah kapitalisme pedesaan: Dari eksploitasi ke eksploitasi  Dari kapitalisme negara ke kapitalisme pedesaan. Pasar yang tak terkendali  “konflik yang terus berlangsung dalam penyelenggaraan kehutanan°radasi sumber daya hutan merupakan indikasi akan keterbatasan ekologi dalam memenuhi tuntutan industrialisasi model Barat yang diterapkan begitu saja di negara-negara bekas jajahan (dunia ketiga)” (Ramachandra Guha dalam Santoso 2004, hal. 253). Petugas kehutanan&kerdip di balik pagar  Oknum yang tidak hanya membukakan pintu, tapi juga menguras isi rumah.
• Ketika keadaan buruk tiba  dalang, penadah&maling jati beraksi bebas merdeka, rame-rame potong jati di Wonomukti, mumpung di beberapa tempat di Indonesia juga sedang rame  maling teriak maling  teriak-teriak reformasi sekalian cari formasi (Kompas 23 Oktober 1998).
• Ketika keadaan buruk tiba: Berbagai tujuan, berbagai kepentingan  masyarakat frustasi
• Sebuah model ekonomi tandingan  masyarakat (hutan adalah salah satu basis material penopang kehidupan lokal) vs negara (hutan adalah aset nasional, penghasil devisa negara)

>> Perlawanan di Simpang Jalan
• Hegemoni atau kompromi politis  Hegemoni yang secara teoritis diprediksikan akan membius dan melumpuhkan kesadaran, di tingkat praksis justru berbalik; ia menjadi semacam alat provokasi ampuh bagi kalangan masyarakat kelas rendahan untuk melakukan perlawanan terhadap kelas-kelas yang berkuasa.
• Kosa kata perlawanan: mempertimbangkan konteks: Kapitalisme sebagai konteks  Nilai, ukuran&orientasi berubah, referensi sosial meluas, pengertian perlawan berubah (tidak hanya mengacu pada aksi-aksi besar tapi juga aksi-aksi kecil)  pencurian kayu di Wonomukti menemukan konteksnya. Persinggungan-persinggungan yang disadari  atas prinsip keselamatan bersama. Menengok kembali pengertian bandit sosial  poin terpenting bukan pada corak produksi tapi pada proses produksi, baik pada masyarakat pra kapitalis maupun kapitalis pada lingkungan agraris maupun industrialis proses produksi tidak selalu menghasilkan neraca pertukaran yang proporsional muncul tindakan seperti perbanditan sosial.
• Radikalisme dan serikat avant garde: Perlawanan ibarat pedang bermata dua  kaliam pada pihak kehutanan&tidak setuju dengan perlawanan kelas menengah rendahan (miskin). Prospek bagi perlawanan konfrontatif: Menghindari kebangkrutan-kebangkrutan dari tindakan apapun yang dilakukan  aksi-aksi kolektif&konfrontatif sulit terjadi (co/ demonstrasi menuntut land reform).

>> Adakah Pemberhentian?
• Proyek penyederhanaan  Realitas hanya bekerja pada dataran teknis-teoritis. Kehutanan akademik tak membawa banyak perubahan, kecuali memperkenalkan teknik penyelenggaraan hutan dengan cara baru yang idealnya lebih efisien, akurat&sistematis.
• Proyek lingkungan  semangat konservasi sebagai kritik pembangunan menyatu dengan proyek pembangunan itu sendiri.
• Proyek sosial  pengakuan terhadap kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola hutan.

Gambaran Harper tentang aksi-aksi kasta rendahan di India: “Para budak yang terikat kontrak selama hidup, secara amat khas menyatakan rasa tidak puas tentang hubungan mereka dengan tuan tanah mereka, dengan jalan melakukan tugas secara sembrono dan tidak sempurna. Dengan sengaja atau tidak, mereka sering berpura-pura sakit, berlagak tidak tahu, atau tidak sanggup melakukan sesuatu, sehingga mengganggu ketenangan tuan mereka.. Jenis perlawanan pasif ini, asal saja itu tidak dilakukan dengan perlawanan terbuka, boleh dikatakan tidak dapat dikalahkan” (Harper dalam Santoso 2004, halaman 174).



Sesi Pembahasan

>> Nyoman (STPN)
mengenai review Yusuf :
- dalam pencitraan masyarakat desa dikatakan bahwa masyarakat desa tidak mengenal pelapisan, padahal di uraian berikutnya dikatakan bahwa salah satu pemicu konflik adalah ketimpangan kepemilikan tanah yang sebenarnya merupakan suatu bentuk pelapisan.
Mengenai review Dini :
- tidak terlihat apakah benar fungsi hutan juga sebagai fungsi lingkungan.

>> Sundung Sitorus
Untuk review Yusuf:
- Klarifikasi mengenai apakah benar modernisasi menjadi penyebab kemunduran masyarakat desa.
- pernyataan ‘ketimpangan belum bisa menjadi penyebab terjadinya munculnya konflik’ sulit diterima. karena terjadinya gejolak sosial adalah karena adanya kecemburuan sosial.
Untuk review Dini Harmita:
- mengenai jarak desa paling jauh 5 km dari kawasan hutan. bagaimana jika penduduk desa tersebut tidak menjadikan hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka? apakah hutan menjadi barrier?

Tanggapan:

>> Yulfita R.
- mengenai pendekatan moral ekonomi James Scott dan pendekatan rasional Samuel Popkins. hal tersebut untuk keperluan analisis, bukan untuk mencari tahu apakah karakter masyarakat suatu desa berpikir menurut moral atau berpikir secara rasional.
- sebenarnya kita semua menggunakan pendekatan moral ekonomi dan rasional tersebut. bedanya di sini adalah bahwa kelompok petani yang kita teliti tidak landless, powerless, pennyless, dan sebagainya.

>> Martua T. Sirait
- kita perlu kembali pada kritik yang mengkritik pemikiran mengenai shared poverty.
- Heri Santoso tidak begitu tajam melihat relasi agraria yang eksploitatif di dalam bukunya. sehingga kita langsung loncat bagaimana masyarakat berontak, tidak melihat pertentangan kelas yang terus dimainkan.
- Mengapa gerakan sosial (antara petani dengan pengambil tanah – tanah besar) tidak tumbuh terorgansir dengan baik, itu karena dikunci oleh konflik – konflik horizontal (petani – masyarakat).
- relasi agraria berhubungan dengan pembentukan diferensiasi agraria.


>> Laksmi
- Dalam buku Samandawa, ketegangan relasi agraria terjadi apakah karena hubungan ketergantungan antara petani dengan pengambil tanah? dan apakah ketergantungan itu harus dipelihara? apakah ketergantungan itu juga menjadi persoalan?

>> Gunawan Winardi
- jika mengatakan bahwa ketimpangan sosial tidak menjadi penyebab konflik, pernyataan itu belumlah pas. oleh karena itu, perlu ada pendekatan kuantitatif untuk melihat apakah benar terjadi hal yang dituliskan di buku?
- bagaimana validasi data mengenai pernyataan bahwa seorang petani yang tidak mendapat cukup upah bisa pindah kerja ke majikan lain?
- kita perlu kritis dalam membaca tulisan seseorang. perlu ada pengujian oleh ilmuwan – ilmuwan lain sebelum memutuskan untuk menerbitkan sebuah karya tulis / buku.
- pendekatan aktor yang digunakan dalam buku tersebut belum dijelaskan. penjelasan mengenai pendekatan struktur lebih banyak diuraikan.

>> Monang
- ketika konflik berlangsung, ada hak – hak dan kedaulatan dasar yang sebenarnya sudah berdiri.
- pernyataan bahwa harus ada ‘pemberian’ terhadap komunitas di sekita desa tidak terlalu tepat, yang penting harus ada negosiasi terhadap mereka sehingga tidak ada unsur pemaksaan.

>> Frendy
- pemikiran Geertz mengenai shared poverty tidak sepenuhnya tepat untuk terlalu banyak dikritik, karena shared poverty benar terjadi di masyarakat desa Harjobinangun di mana para petani wanitanya masih menggunakan ani – ani yang sebenarnya sudah jarang digunakan. alasan mereka menggunakan ani – ani aadalah agar semua anggota keluarga mereka bisa terus bekerja.

>> Dini Harmita
- Menanggapi pertanyaan Pak Sundung Stitrus, definisi 5KM itu didefinisikan oleh masyrarakat desanya, bukan penulisnya

>> Yusuf
- Sepakat dengan tanggapan Ibu Yulfita mengenai pendekatan moral ekonomi sebaiknya hanya digunakan sebagai pisau analis.
- Dan masalah ktimpangan, ketika tahun setelah orde lama runtuh, konflik yang mucul lebih kepada penggusuran, bukan kepada ketimpangan agraria.


REVIEW DAN PEMBHASAN BAHAN BACAAN II (KASUS-KASUS EMPIRIS)
“Krisis Agraria dan Perlawanan Petani dalam Berbagai Konteks Agroekologi: Kasus Agroekologi Sawah, Desa Hutan, dan Perkebunan”
• Siahaan (1996), Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi

Pembahas : Eko Cahyono dan Heru Purwandari
Moderator : Satyawan Sunito

Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI Sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi dibahas oleh Eko Cahyono

>> Prakata
• “ Perlawanan yang dilakukan orang-seorang, bukan tindakan dan di dukung oleh niat untuk bertahan, merupakan perlawanan simbolik yang hasil akhirnya tidak dapat diremehkan oleh pihak yang menjadi sasaran.
• Tujuan perlawanan bukan untuk mengubah, apalagi menumbangkan sistem dominasi. Tujuan orang lemah hanyalah untuk bertahan diri dalam sistem itu, dengan kerugian sekecil-kecilnya, dilakukan tanpa henti, bernafas panjang. Itulah senjata kaum lemah!” (Sajogyo, Pengantar buku James C. Scott, “Perlawanan Kaum Tani, 1993).
• Kutipan diatas dapat menjadi pengantar yang baik untuk memahami , “cerita pembangkangan terselubung para petani Tebu Rakyat Intensifikasi” Hotman Siahaan…

>> Duduk perkara
Riset (disertasi) Hotman Siahaan di Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, dengan mengambil kasus di kec. Papar Kediri (Jatim) ini ingin menjawab 2 soal:
1. Sejauh mana realitas pembangkangan terselubung dalam program TRI merupakan reaksi yg rasional tehadap hegemoni birokrasi yang gagal mengartikulasian kepentingan para petani dalam program TRI?
2. Sejauhmana pembangkangan terselubung tsb sbg upaya mempertahankan batas keamanan
subsistensi petani demi kelangsungan hidupnya?


>> Titik tolak
“ Hendak menganalisa dan memetakan berbagai bentuk respon Petani thd Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang dibentuk melalui Inpres No. 9 Tahun 1975” yang telah menunai berbagai bentuk penolakan dan protes sosial; baik secara terbuka maupun terselubung. Khususnya di wilayah Kec. Papar Kab. Kediri Jawa Timur (1996).

>> Alas teoritik dan hipotesis
• Nyata2 sejak awal Hotman S meneguhkan pendasaran optik teoritiknya adalah dari James C. Scott; Everyday Forms of Peasant Resistance dan Samuel Popkin; Rational-Actors Theory yang dipakainya untuk menguji empat hipotesis utama:
1. Pembangkangan terselubung yg dilakukan oleh petani dlm program TRI adalah sbg reaksi rasional guna mengartikulsikan kepentingan-kepentingan mereka thd hegemoni birokrasi dlm program TRI.
2. Pembangkangan terselubung yang dilakukan petani muncul di dalam tata hubungan produksi antara petani miskin dan petani kaya, dan antara petani dan berbagai institusi yg mendominasi tata hubungan produksi tsb lewat aplikasi program TRI.
3. Dominasi jaringan birokrasi pemerintah di dlm program TRI, yg gagal mengartikulaskan kepentingan petani, merupakan faktor2 yg paling menentukan lahirnya realitas pembangkangan terselubung tsb.
4. Pembangkangan yang dilakukan para petani di dlm program TRI adalah sbg upaya untuk mempertahankan batas keamanan subsistensi dg menjalankan sistem demi kerugian minimal bagi diri para petani tsb.

Dan dalam penelitianya hipotesis yg di ajukannya itu dapat dibuktikan kebenarannya….

>> Catatan
Kajian ini dpt menunjukkan beberapa hal menarik, diantaranya:
1. Program TRI lebih merupakan suatu usaha tani kontrak (contract farming) yg sarat muatan kepentingan ekonomi-politik negara guna mencapai tujuan utama yaitu industri gula nasional.
2. TRI sebagai Contract Farming berlangsung di dlm konteks fragmentasi tanah, dimana intensifikasi justru menimbulkan biaya-biaya sosial tinggi.
3. Pembangkangan terselubung yang dilakukan petani di Kediri ini adalah salah satu contoh model ‘perlawanan’ yg berlangsung dalam konteks kuatnya hegemoni dan intervensi negara beserta kekuatan aparatur birokrasinya. (melalui program TRI itu). Sehingga memiliki corak dan karakteristik tersendiri. Dan merupakan alternatif untuk mendapatkan selective incentives di dalam konteks hegemonik.
4. Paradoknya Inpres No.9/1975 yg memiliki tujuan ‘mulia’ guna menjadikan petani “tuan di atas tanahnya sendiri”, namun dalam realitasnya jauh dari menjadi “tuan”, sebab yg tejadi justru menjadi buruh bagi tanahnya sendiri. Dalam kajiannya Hotman melampiri banyak data empiris di beberapa desa di kecamatan Papar yg menunjukkan proses “krisis agraria” ini terjadi secara sistematis dan terus menerus.
5. Sikap pembangkangan terselubung petani itu dilakukan dengan cara keluar dari sistem produksi TRI. Dlm beberapa kasus, petani memiliki berbagai “siasat” halus yg cerdik (tdk konfrontatif) untuk membangkang yg dilakukan sesuai dengan yg dimusuhinya. Misal:
a. Siasat untuk “glebegan” (giliran tanam)
b. Siasat untuk Tebang Angkut
c. Siasat untuk Jadwal Giling
d. Siasat Rendeman dan Bagi Hasil dll.

Disini timbul paradok baru, sebab pada dasarnya pembangkangan tsb membuka peluang efisiensi dan efektivitas dlm sistem produksi, namun kenyataannya, efisiensi dan efektivitas tsb di reduksi oleh tingginya regulasi dalam program TRI.
>> Tawaran
1. Hotman S, secara teoritis dalam riset ini hendak mengajukan teori pembangkangan terselubung dlm konteks teori-teori yg membicarakan protes-protes sosial dan tindakan kolektif petani.
2. Dlm kesimpulannya, dia menyebutkan bahwa teori pembangkangan terselubung pengalaman petani TRI dpt dikategorikan sbg everyday forms of peasant resistance, namun di dlm konteks memudarnya ikatan2 tradisi desa, sehingga…
3. Pembangkangan terselubung petani TRI tsb tidak dlm upaya mempertahankan tradisi yg mengalami erosi akibat komersialisasi dan perluasan pasar.
>> Di sisi lain…
Hotman S, menegaskan bahwa:
“teori pembangkangan terselubung merupakan tindakan rasional dan individual para petani, tp bukan dlm kategori Pilihan Rasional sebagaimana dikatakan Samuel Popkin.
Sebab menurutnya pengalaman pembangkangan TRI tdk bersifat terbuka, berlangsung secara informal, tdk di nyatakan, dan dalam sekala yg kecil.”

>> Maka..
Menurut Hotman S:
Berkaca pada hasil pengalaman petani TRI yang ditelitinya di Kediri dan beberapa daerah lain di JATIM, “posisi teori Pembangkangan Terselubung yg dikemukakan dlm studinya ini merupakan eklektisasi yg berada di antara teori everyday forms of peasant risistance (Scott) dan Teori Pilihan Rasional (Popkin) yg dihubungkan oleh faktor kuanya hegemoni negara, baik secra ideologis maupun material.

Rute lanjut…

Pengalaman studi Hotman S di Kediri menunjukkan sebuah bentuk2 ‘perlawanan terselubung’ petani akibat kuatnya tirani hegemonik, sementara, kini struktur politik, ekonomi, sosial budaya ;hegemonik hari ini terlihat jauh lebih kompleks, rumit dan dlm skala yang lebih luas dan ‘mengglobal’ ….

kira2, bagaimana ‘nafas perlawanan kaum tani’ kini, kita kenali dan petakan? Optik apa yang relevan? Dan, mungkin yang lebih utama menemukan dulu, mengapa mereka melawan? Kondisi dan stuktur sosial-politik apa yang menciptakannya?

Barangkali, dari sini, gerakan sosial (?) terbantu pemberangkatkanya… ! Dan Hotman S telah menyumbang salah satu ‘batu bata’nya untuk dilanjutkan..



Presentasi Tesis : “Perlawanan Tersamar Organisasi Pertani (Upaya Memehami Gerakan Sosial Petani)” oleh Heru Purwandari

>> Latar Belakang Teoritis:
• Kajian organisasi petani belum banyak
• Sulit menemukan ketersambungan petani dengan organisasi
• Meninjau kembali konsep perlawanan petani dalam sudut pandang teori klasik
• Marginalisasi petani lebih sering muncul karena tekanan dari luar (sosio-ekonomi-politik)
• Pendekatan pembangunan baik oleh pemerintah/LSM tidak berhasil menolong petani mencapai kemandirian

>> Latar Belakang Empiris
• Keterkaitan aspek sosio-ekonomi dan politik bagi tumbuhnya organisasi petani
• Trend pertumbuhan organisasi post-1998
• Petani selalu ditempatkan pada pihak yang kalah
• Keberhasilan sebuah organisasi menata konsolidasi internal
• Tumbuhnya organisasi yang berbasis ekonomi
• Pentingnya kelembagaan di tingkat komunitas

>> Perumusan Masalah
Bagaimana respon petani atas permasalahan ekonomi dan politik yang dihadapi sebagai implikasi ideologi pembangunan pertanian

>> Rumusan Masalah
1. Bagaimana, mengapa dan dalam kondisi apakah organisasi petani terbentuk sebagai respon atas permasalahan ekonomi dan politik?
2. Karakter pengorganisasian petani bagaimana yang berpeluang memberikan solusi atas permasalahan yang ada?
3. Bagaimana karakter perlawanan petani apabila dikaitkan dengan watak negara dan aktor global?

>> Tujuan Penelitian
1. Studi tentang respon petani atas persoalan ekonomi dan politik
2. Memahami karakter perlawanan petani sesuai konteks permasalahan
>> Kegunaan Penelitian
Praktis: kesadaran tentang akibat negatif ideologi pembangunan pertanian yang bersifat production oriented
Analisis: telaah lebih lanjut realitas sosial dalam kerangka pendekatan gerakan sosial neo-Marxian

>> Kerangka Pemikiran
• Komunitas harus dipandang sebagai kompleks yang saling berinteraksi pada tiga tingkat (ekonomi, politik dan ideologi)
• Tiga aspek sebagai pijakan menganalisis konteks sosial yang menghasilkan perlawanan
• Teori perlawanan klasik petani tidak mampu menjawab perkembangan konteks sosial
• Perlu alternatif mengembangkan gagasan perlawanan sekaligus menghasilkan transformasi sosial
• Ciri pembangunan pertanian (production oriented) direspon dengan gaya petani (people oriented)
• Kritik tersebut dalam pemikiran Korten dapat disejajarkan dengan organisasi rakyat generasi keempat (strategi alternatif pembangunan yang melihat skala global)

>> Pendekatan Lapang
 Strategi penelitian
 Interpretatif-kritis dalam ranah metodologis
 Metode kualitatif dan meminjam metode kuantitatif (kuesioner terbuka)
 Lokasi dan waktu penelitian
 Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT)
 3 bulan
 Unit analisis dan teknik pengambilan data
 Organisasi, untuk memperoleh gambaran karakter perlawanan
 Serikat, paguyuban, dan kelompok tani
 Teknik pengambilan data
 Primer (panduan pertanyaan, kuesioner terbuka, Focus Group Discusion-FGD, pengamatan)
 Sekunder (laporan kegiatan, media komunikasi organisasi)
 Teknik pengolahan dan analisa data
 Interpretatif-kritis (memaknai realitas sosial secara kritis dari sisi metodologis)
 Proses dialogis-komunikatif

>> Perlawanan Tersamar Organisasi Petani
• Perlawanan halus tanpa merubah struktur awal
• Melawan kemapanan dengan memperkuat aliansi dan menjadi bagian agenda negara
• Mengembangkan kegiatan produksi dan peningkatan ekonomi anggota
• Strategi: membungkus langkah taktis dan strategis melalui kemandirian dan kebersamaan di tingkat internal organisasi
• Perlawanan ditujukan terhadap ideologi pembangunan yang menjadi mainstream umum sekaligus terhadap ideologi kapitalis
• Ideologi perlawanan sebagai basis melakukan dekonstruksi sosial

>> Kesimpulan
1. Organisasi tumbuh sebagai respon kondisi ekonomi dan politik
2. Pengalaman pendekatan production-center oriented “memaksa” petani melakukan pendekatan people-center oriented
3. People-center oriented dilakukan dengan strategi community development (CD)
4. CD dilakukan dengan cara membangun kemandirian, merebut akses-kontrol, dan pemberdayaan petani
5. Mendobrak kekuatan dengan dari production-center oriented menuju people-center oriented
6. Desain perlawanan = perlawanan tersamar (proses adaptasi terhadap kemapanan sosial yang sedang berlangsung)
7. Memindahkan jalur perlawanan dari pola radikal ke pola halus

>> Saran
1. Ketersambungan ideologi antar level organisasi diperlukan untuk mengarahkan mainstream perlawanan
2. Kesulitan menyambungkan kepentingan praktis/pragmatis di tingkat kelompok petani dengan ideologis perlu mendapat porsi tersendiri dalam kerangka pengorganisasian
3. Kegagalan organisasi petani karena kegiatan di tingkat basis dengan politik tidak tersambungkan
4. Perlunya saluran politik sebagai jenjang karir aktivis dan saluran aspirasi komunitas lokal


Sesi Pembahasan

>> Olwan Sitorus
- Hukum yang otentik harus hukum yang sesuai dengan akal sehat masyarakat. Jadi pembangkangan terselubung yang sedang terjadi itu karena hukum sedang mencari alur yang tepat agar bisa tercipta hukum yang sesuai dengan masyarakat.

>> Nyoman
- yang dikaji dalam review mas Eko dan mbak Heru hanya jenis – jenis pembangkangan yang terjadi, tidak dijelaskan penyebabnya.
- kenapa pembangkangan terselubung ini tidak pernah muncul? (terkait dengan pertanyaan pak Nyoman pada sesi diskusi sebelumnya)

>> Monang
- dari dua review tersebut, peran community organism belum dijelaskan.
- apakah peran community organism dalam tulisan Hotman S berpengaruh terhadap community development?
- untuk tesis mbak Heru, dekonstruksi sosial seperti apa yang terjadi dalam kasus SPP QT tersebut?

>> Ibu Yulfita
- terkait dengan hasil review pak Eko, ada contoh kasus mengenai petani tebu di Madiun. bentuk perlawanan yang dilakukan berupa pembakaran tebu. yang aneh, pembangkangan terselubung tersebut terjadi terus – menerus, tidak membuka diri.

>> Muhammad Sabri (mahasiswa Politik UI)
- dalam tulisan Hotman S, belum jelas apakah ada gerakan terselubung yang sudah berlangsung lama.

Tanggapan:

>> Eko Cahyono
- bentuk gerakan (individu atau kolektif) tergantung pada dengan siapa mereka berhadapan (tergantung siapa pihak yang dimusuhi).
- Di Kediri, gerakan terselubung yang terjadi tidak ada kontinuitas dengan gerakan terselubung yang terjadi sebelumnya
- Hotman S ingin menegaskan bahwa perlawanan terselubung adalah akibat dari gagalnya program IMPRES yang gagal mengartikulasikan kepentingan petani

>> Bayu (Universitas Indonesia)
- dalam melihat proses kegagalan suatu program jangan hanya terjebak pada relasi antara masyarakat secara vertikal dengan negara. kita perlu melihat relasi antara warga masyarakat sendiri (berdasarkan pada kasus kegagalan koperasi di daerah Jawa Barat). Apalagi dalam konteks pertemuan kali ini kita juga membahas agenda reforma agraria.
- gerakan sosial di beberapa negara dunia ketiga tergantung keberhasilan negara tersebut memanfaatkan momentum – momentum politik (berdasarkan diskusi di AJB)  dikaitkan dengan reforma agraria.
- apakah harus ada gerakan politik yang lebih massive untuk mewujudkan terjadinya reforma agraria.

>> Martua Sirait
- sebelum reforma agraria dibicarakan, akan terlalu mentah untuk membicarakan hal tersebut jika kita belum mengerti relasi agraria.

>> Heru Purwandari :
- ideologi pendiri SPP QT berpengaruh pada bentuk perlawanan.
- ada konteks ekonomi dan politik yang mempengaruhi bentuk perlawanan yang terjadi, yaitu perlawanan kolektif. konteks politiknya tersendiri berasalah dari faktor religi (MU yang progresif yang tidak hanya berkecimpung dalam bidang agama tapi juga bidang kemasyarakatan).

>> Pak Gunawan Winardi
- pertanyaan : apa yang dimaksud dengan radikal? jika kita melihat dari asal kata, ‘radiks’, artinya adalah ‘kembali ke akar’. jadi seharusnya tidak perlu ada negosiasi.


Testimoni Pelaku Gerakan Sosial Pedesaan
• Serikat Petani Pasundan
• Gerakan Pemetaan Partisipatif

Serikat Petani Pasundan
Pembicara : Ibu Wati (Pemuka organisasi tani lokal desa Pesawahan)
Moderator : Ibu Laksmi

Ibu Wati memiliki nenek moyang dari wilayah ciamis utara. pada tahun 1965 dibawa orang tua ke Pasawahan karena ada gejolak politik. Selain itu di sana ada seorang kepala desa yang memperjuangkan tanah untuk rakyat. Ayah dari Ibu Wati mendaftar untuk mendapatkan tanah, tapi tidak jadi karena kepala desa tersebut tewas ditembak.

Kakak dari Ibu Wati menikah dengan seseorang yang kaya sehingga orang tua ibu wati turut dibawa serta dan menggarap perkebunan karet di selatan. Ibu Wati mengatakan bahwa sejak dulu hidupnya selalu miskin. Hal tersebut terjadi karena ketika dulu ia pindah dari wilayah utara ke selatan, tanah yang dijanjikan untuknya selalu direbut sehingga ia tidak pernah bisa mendapatkan tanah untuk menghidupi dirinya.

Penjelasan Mengenai Film
- 44 KK petani penggarap diserang oleh preman yang dibayar PTPN 8 di wilayah desa Gendang.
- tanaman masyarakat habis dibabat, rumah penduduk dibakar, warung dijarah, kolam penduduk diambil ikannya.
- tanah di sana dilubangi para preman untuk ditanami coklat
- petani perempuan dikumpulkan untuk mengadakan perlawanan terhadap para preman tersebut.

Pertanyaan & Tanggapan

>> Satyawan Sunito
T : Bagaimana sejarah tanah di desa tersebut?
J : Tanah di sana merupakan tanah negara dan dikelola oleh perkebunan.


T : kenapa masyarakat kemudian tiba – tiba menggarap tanah negara? informasi bahwa tanah negara bisa dikelola oleh masyarakat berasal dari mana?
J : informasi berasal dari para aktivis. selain itu, para petani yang hidup kekurangan jelas akan memanfaatkan tanah kosong untuk menghidupi mereka.

>> Olwan Sitorus
T : selain karena lapar, apakah ada hal lain yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong? apakah karena lahan tersebut merupakan lahan warisan atau yang lainnya?
J : lahan yang ada kebanyakan dulunya merupakan lahan milik nenek moyang yang diambil oleh pihak belanda, kemudian akhirnya lahan tersebut diamabil lagi oleh masyarakat. Akan tetapi menurut hakim, di wilayah Jawa tidak ada lahan/tanah yang disebut sebagai lahan/tanah adat, istilah tersebut hanya ada di luar Jawa.

>> Satyawan Sunito
T : apakah ada perbedaan paradigma dalam penguasaan sumber daya atau hanya permasalahan dalam sistem hukum saja?

>> Tambahan dari Martua Sirait
- pada tahun 2006 ada konflik tanah yang besar antara satu pihak dengan pihak lain (perhutanan, perkebunan). oleh karena itu, perlu ada satu alat yang bisa memberitahu apakah tanah yang ada berkonflik atau tidak. perlu ada pihak yang menjadi moderator yang bisa membantu petani untuk bernegosiasi.
- kita perlu menanyakan terlebih dahulu sejarah klaim atas tanah oleh masyarakat, apakah tanah tersebut merupakan tanah turun temurun atau apakah karena mereka mendapatkan ijin untuk mengklaim tanah dari suatu pihak (negara atau perusahaan).
- desa perlu memiliki dokumen – dokumen yang memuat data mengenai batas lahan dan sebagainya agar tidak terjadi konflik atas tanah.

>> Tanggapan dari Monang
- hampir di seluruh NKRI, investasi lebih diutamakan daripada penanganan konflik karena tidak adanya negosiasi. selalu dilakukan pemaksaan.

>> Satyawan Sunito
- mengenai rapid annual assessment (?), jika permasalahan sudah selesai dipetakan, apakah itu hanya permasalahan pragmatis saja?
- apakah rakyat tidak memiliki hak ekonomi jika mereka tidak memiliki klaim sejarah?
- kita biasa berpikir bahwa modal bersifat dinamis dan penduduk bersifat statis. Akan tetapi sesungguhnya masyarakat bersifat sangat dinamis, contohnya saja kakek dari Ibu Wati yang berpindah dari wilayah utara ke wilayah selatan untuk mendapatkan tanah. ini yang bisa menyebabkan masyarakat tidak memiliki klaim sejarah.

>> Tanggapan Bapak Martua Sirait atas Pertanyaan Bapak Satyawan Sunito
- proses – proses pembaruan kebijakan harus jalan terus. kita harus melihat keadilan dari kacamata kebijakan kontemporer, tidak hanya sekedar dari kacamata hukum atau kacamata masyarakat saja.
- Klaim sejarah perlu dilihat dari transaksi – transaksi ekonomi / sosial yang terjadi di masa lalu, bagaimana cara masyarakat masuk ke suatu daerah dan hidup di daerah tersebut.
PENUTUPAN
Pembicara : Bayu (Universitas Indonesia)
- workshop selama dua hari cukup memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita semua dan bisa berkontribusi untuk perkuliahan.
- diharapkan adanya kelanjutan hubungan diantara semua pihak yang terlibat dalam workshop dua hari ini

Tidak ada komentar: