Kamis, 21 Februari 2008

Notulensi STPN 30-31 (Eko Cahyono)

Catatan Singkat
Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria
(LiBBRA)
STPN Yogyakarta
Selasa-Rabu: 30-31 Januari 2008

Oleh: Eko Cahyono



hari pertama;

Ruang pertemuan berbentuk oval di gedung PPD lantai 2, bagian sebelah timur Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Godean Yogyakarta menjadi ‘saksi’ pertemuan awal dari rencana rangkaian pertemuan Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria (selanjutnya cukup, RA saja) dengan tema cukup gagah: “Kebangkitan Studi Agraria dan Agenda Reforma Agraria di Awal Abad 21” hasil kerja ‘gotong royong’; Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor (PKA-IPB), Lingkar Pembaruan Pedesan dan Agraria (KARSA) Yogjakrta dan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor.

Kurang lebih 30 orang peserta belajar, baik peserta tetap maupun undangan sudah nampak tertib di ruangan oval itu sejak pukul 09.00 WIB sebagaimana kesepakatan di manual acara, untuk mengikuti Pembukaan acara yang dimulai dari sambutan Rektor STPN Yogyakarta Dr. Endrarto Sutarto. Secara garis besar penjelasan beliau terkait dengan perubahan paradigma dan visi STPN dari garis orientasi keilmuan “pertanahan’ dalam makna ‘teknis’, menjadi orientasi ke “ke-agraria-an’ dalam maknanya yang paling luas, dengan cita-cita besar menjadikan STPN sebagai center of excellence dari kajian, penelitian, studi dan diskursus Reforma Agraria di Indonesia, selain sebuah tanggung jawab ‘moral dan akademik’ sebagai satu-satunya Perguruan Tinggi di Indonesia yang terkait langsung dengan soal dunia “Pertanahan”.

Pengantar diskusi pada sesi pertama, setelah rehat dan coffe break (yang cukup banyak variasi makanan dan enak-enak itu..!) di‘ceritakan’ oleh Direktur Land Reform Gunawan Sasmita. Cerita dari pak Gunawan yang didaulat untuk mewakili persepektif ‘Pengambil Kebijakan” (Birokrasi) banyak mengupas dan menjawab tohokan pertanyaan Noer Fauzi (sebagai pengarah dan pembimbing Belajar Bersama RA) yang berkisar pada tiga soal mendasar:
a. Bagaimana ceritanya, kok tiba-tiba BPN mengambil alih RA menjadi agenda pokok dan utamanya?.
b. Seberapa besar pengaruh RA di dalam internal BPN sendiri? Bagaimana sikap ‘pejabat’ BPN sendiri? (inside looking).
c. Bagaimana proses, tahapan, konseptualisasi yang sudah dan akan dilakukan BPN? Dan sudah sampai mana pilot project itu dijalankan?

Ternyata tohokan yang lebih tepat sebagai sebuah ‘arahan’ presentasi agar tidak ‘teks-power point’ dari bahan yang disiapkan itu ternyata manjur. Sehingga pak Gunawan S cukup sistematis dan fokus menjelaskan cerita dari persepektif Pengambil Kebijakan atau wakil Pemerintah, sejak dari sejarah dan latar belakang RA di Indonesia, pasang surutnya dari tiap periode dan zaman, berserta haru-biru pengalaman BPN memulai kembali membangkitkan, mensosialisasikan dan mencoba meng uji cobakan kembali di lapangan.

Salah satunya yang patut menjadi garis besar adalah keinginan pihak BPN untuk “menemukan” RA yang relevan dan kontektual ala Indonesia, dengan jalan ‘uji coba’ praksis lapangan untuk disusun menjadi teori, maupun dari teori ke praksis di beberapa daerah yang sudah memiliki “bibit” RA nya, diantara yang disebutkan adalah: Lampung, Blitar dan Sumatera Utara. Terdapat tiga metode untuk melakukan uji coba itu, yaitu:
a). Subjek di dekatkan ke Objek,
b). Objek sama dengan Subjek
c). Objek di dekatkan ke Objek.
(dengan penekanan pada metode yang pertama dan ketiga.)

Dalam putaran tanya jawab dan diskusi sesi pertama ini muncul pertanyaan, pernyataan, kritikan dan perluasan dari presentasi pak Gunawan S, diantaranya:
- Pentingnya RA diperkokoh dengan hukum positif sebagai pilar dasarnya.
- Bagaimana RA dari sisi ‘akses reform’ nya berhadapan dengan kepungan dan jebakan kekuatan pasar yang berwatak Kapitalistik dan Neoliberalisme.
- Sampai mana uji-coba sekian model RA di beberapa daerah, memiliki pengaruh positif (untuk tidak mengatakan menjawab?) disandingkan dengan gerakan rakyat yang telah lama ‘berjuang menuntut hak dan ruang hidupnya’ di berbagai daerah, juga sebaran konflik agraria yang marak belakangan ini?
- Pentingnya kesiapan “satu suara dan satu langkah” penyeru utama ‘institusional’ RA (dalam hal ini keluarga besar BPN) baik “pasukan” maupun jejaring dana sebagai syarat utamanya di satu sisi dan merangkul satu suara dengan seluruh pihak dan lapisan rakyat bahwa RA sebagai tanggung jawab bersama sebagai bangsa.

Setelah rehat, minum kopi dan leyeh-leyeh, sesi kedua dibuka dengan presentasi dari Hendro Sangkoyo (Pengajar Doktoral di Cornel University yang juga pimpinan di lembaga Ekonomika Demokratik), yang didaulat mewakili perspektif ‘civil society”.

Kesan “provokatif” sudah tercium sejak judul presentasi ditayangkan; “Jika Reforma Agraria jawabannya, apa pertanyaannya?”

Hendro S dalam sesi kedua ini dengan ‘gaya khas’nya meyakinkan dengan antusias dan sangat luas membentangkan keniscayaan perjuangan RA di Indonesia, pun di dunia sebagai suatu tugas “sangat mulia” dunia – akherat; bahkan kelak dijamin fasilitas ‘surga VVIP’, otomatis dengannya beriringan keharusan kerja berat berjangka panjang, bahkan sangat panjang. Sindiran satir itu bukan iseng-iseng, saat melihat, mendengar dan mengetahui bagaimana sekian lapisan kompleks R.A seperti dijelaskan Hendro S kemudian, menunjukkan bahwa cita-cita perjuangan R.A ini erat terkait pada soal mendasar untuk membuat dan mewujudkan sebuah ‘payung besar’ kepedulian, kepekaan kemanusiaan beserta tanggung jawab menjaga dan memelihara, apa yang disebutnya sebagai ruang dan jaminan hidup atas rakyat sejagad dan sebumi, tetapi perbincangan tentangnya seolah menjadi nampak ‘terkotak sederhana’, yang menurutnya karena kemiskinan “imajinasi” kita tentang hal ikhwal ke-Reaforma Agraria-an.

Uraian Hendro S, mencakup deretan panjang koreksi atu mungkin lebih tepat ‘gugatan’ dari sejak corak pandang (mindset), ‘bangunan berfikir (epistimologis?) apa yang membidani lahirnya perjuangan kebangkitan RA, orientasi, arah dan tujuan apa yang hendak dibayangkan dan di tuju perjuangan kebangkitan RA, sampai dengan beberapa tawaran 4 kuadaran langkah strategis mengupayakan RA, yaitu;
a. Pentingnya belajar tentang ekspansi ekonomik berserta tapak social ekologisnya,
b. Keharusan untuk mempelajari syarat-syarat pembalikan proses perusakan ruang-hidup rakyat dan pelucutan rakyat dari sumber-sumber penjamin kehidupannya.
c. Memperluas medan belajar untuk praktek social dan praktek institusional pembaharuan proses perluasan ekonomik, dengan syarat proses belajar ini tidak boleh dikenai kekerasan.
d. Pengutuhan rantai-rantai penjamin ketahanan social-ekologis, pembaharuan system, mekanisme, dan instrument pengurusan public.

Cerita njlimet tapi ‘mencerahkan’ Hendro S sampai juga pada soal cerita bagaimana menyikapi ‘masa depan’ RA bersandingkan masa depan nasib bumi dengan segala isinya khususnya pada tiga hal dasar yang harusnya menjadi perhatian garis depan para pejuang kepedulian nasib manusia dan ruang hidupnya yaitu: air, pangan dan enerji beserta sekian turunannya, yang menurutnya bagian wajib dari ‘ruang perjuangan regional’ RA dalam makna luasnya. Bagaimana mengutuhkan aneka hal itu dengan RA?

Dengan slide dan simulasi gambar menarik (untuk beberapa hal ‘membingungkan’), dipoles dengan pilihan bahasa ‘segar dan nakal’nya, juga yang ‘tak tertulis’dan tak tertayangkan dari presentasi Hendro S membuka kesadaran dan inspirasi mendalam, setidaknya lebih ‘imajinatif’ saat mendudukkan RA sebagai medan utama perjuangan nasib hak dasar rakyat berserta ikatan penjamin dan ruang hidupnya yang makin hilang dan diperebutkan dengan brutal dan dilahap rakus oleh kelompok nir-kemanusiaan berorientasi modal dan pasar. Untuk itu, menurutnya arah dan orientasi perjuangan RA mesti di ikat mati dengan tiga “spirit” tujuan:
1. demi jaminan keselamatan manusia
2. demi produktifitas rakyat
3. demi kelangsungan pelayanan alam.

Untuk belajar sungguh-sungguh dalam bentangan luas tantangan itu, menurut Hendro S, kita hanya tersedia waktu sampai 20015 saja (dilihat dari percepatan dampak turunan dan efek domino dari perubahan global dengan segala produk sistem yang dilahirkannya, yang sengaja abai dan rabun bahkan tumpul imajinasi pada tiga tujuan di atas, diantaranya; perubahan iklim, pasar bebas dst).
Catatan lain dari Hendro S (selain 4 kuadran langkah diatas) yaitu teramat penting menemukan ‘logika belajar’ untuk menemukan solusi dasar yang menyeluruh, bukan spasial, kotak-kotak dan… yang itu jelas menyoal tandas model pandangan ‘satu dimensi’; disiplin keilmuan, paradigmatik, perspektif, bendera idelogis…dan seterusnya..dan sebagainya.
Putaran diskusi di sesi kedua semakin seru dengan banyak pertanyaan yang dimulai kata “makin bingung”, makin pening, makin ndak ngerti, makin terbuka, tercerahkan sampai makin “uthopia” dan bagimana ‘realistisnya”? Namun, setidaknya, masing-masing peserta makin memahami arti penting ‘imajinasi’ perjuangan RA yang multi dimensi menembus aneka sekat dan batasan; ruang, ideologi, disiplin ilmu dst.
Lingkar belajar hari pertama ditutup dengan penjelasan metode belajar dan membuat kesepakatan agenda hari kedua di pandu Noer Fauzi.


hari kedua;

Pukul 09.00 WIB sebagaimana kesepakatan, para peserta belajar telah siap memulai. Sesi awal pagi hari kedua dimulai dengan perkenalan dan menengok singkat motivasi keikutsertaan masing-masing peserta Lingkar Belajar Bersama RA, yang ternyata cukup warna warni. Bukan saja pada soal motivasi, pandangan dan latar belakang akademik, keilmuan kelembagaan/institusi yang menjadi titik berangkat dan yang diwakilinya, tetapi juga multi level modal pengetahuan mereka tentang seluk beluk, apa itu RA? Dari yang telah Doktor, aktivis pembaruan agraria yang telah menjenguk belahan negara lain, ahli hokum senior, dosen Ilmu Pertanahan, aktivis gerakan mahasiswa, hingga yang masih menjalani mahasiswa SI dari jurusan Agama. Tentu saja aneka ragam ini memiliki implikasi tersendiri dalam mewarnai proses lingkar belajar ini.

Setelah putaran perkenalan peserta belajar usai, dilanjutkan dengan presentasi beberapa artikel pilihan yang terkait pda tema menelusuri sejarah kebijakan Land reform; pengalaman dari beberapa negara; Afrika, Amerika Latin dan Asia.

Artikel pertama yang dipilih adalah karangan M.R. el-Ghonemy berjudul: “Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into the Twenty-First Century” yang disampaikan oleh Moh. Sohibbudin (SAINS) Bogor. Beberapa pokok pikiran yang disampaikan meliputi:
1. Sejarah kilas balik Land Reform dari tahun 1963-2003.
2. Argumen-argumen dari el-Ghonemy; diantaranya soal rendahnya kualitas rakyat yang tak bertanah, pendekatan RA yang menekankan intervensi pemerintah dll.
3. Tujuan penulisan artikel el-Ghonemy, diantaranya untuk menelaah isu-isu pembangunan di negara-negara berkembang.
4. Isu-isu analitis dalam artikel, diantaranya: perluasan makna RA, pelampauan perdebatan kutub pendukung ‘Smith’ yang ‘individualis’ dan ‘ Marx’ yang ‘kolektif’ dll.
5. Evaluasi Kebijakan Pembangunan Pedesaan, dimana perspektif ala Smith dan Marxs semakin dianggap tidak mencukupi lagi sebagai alat baca, sejak pasca PD II, serta pentingnya penguatan peran Negara.
6. Pengalaman RA di berbagai Negara, yang menjelaskan soal keragaman program RA yang disesuaikan dengan filsafat social masing-masing Negara, juga ideologi yang mendasari sebuah Negara yang melaksanakan RA. Juga pentingnya masing-masing Negara menggali sendiri khazanah kebangsaannya sendiri untuk menyusun RA yang “relevan dengan kondisi negaranya”.
7. Kritik terhadap Pasar yang dinilai Al-Ghonemey memiliki ambiguitas dan kepalsuan yang sering berlindung di balik netralitas. Selain pentingnya peran Negara untuk ikut campur dan terlibat nyata pada sebuah pelaksanaan RA.
8. Tantangan Kedepan, diantaranya menyoal;
o Pembangunan pedesaan dalam konteks perubahan pilihan kebijakan yang akhir-akhir ini dikepung oleh gurita Neoliberalisme.
o Keharusan redifinisi peran Negara.
o Tuntutan tanah yang akan semakin besar di satu sisi, dan penguasaan tanah yang juga semakin membesar pada sisi yang lain.

Sebelum putaran dikusi dan tanya jawab dimulai, Noer Fauzi sebagai pembimbing lingkar belajar meminta peserta untuk mengumpulkan terlebih dahulu kata dan istilah sulit atau belum difahami untuk dijelaskan lebih dahulu..(sebuah metode menarik agar masing-masing bisa saling belajar, berbagi dengan ‘setara’)

Beberapa catatan dari artikel pertama ini yang akan di diskusikan kemudian adalah;
1. Dalam kondisi (seperti) apa mekanisme pasar dapat menjadi pilar RA?
2. Prasyarat apa saja yang penting dipenuhi oleh negara agar dapat menjadi pendukung RA di tengah masyarakat yang emoh Negara?

Artikel kedua, disampaikan oleh Gama yang kebagian mereview artikel dari Boras dkk dengan judul: “Agrarian Reform and Rural Development; Historical Overview and Current Issues”

Dalam presentasi lisan nya (tanpa teks di slide) gama mengurai singkat beberapa pokok artikel Boras dkk, diantaranya meliputi:
1. Berbagai dampak kebijakan pertanahan pengalaman di 10 negara.
2. Pendekatan sejarah yang menjelaskan aneka ragam definisi RA dan struktur RA terkait dengan usaha pengentasan kemiskinan.
3. Berbagai macam strategi RA yang ditulang punggungi bidang sosial-politik.
4. Pengalaman sejarah tentang posisi RA baik sebagai legitimasi saat perang dingin bagi Blok Barat maupun Timur, sebgai alat pembangunan Negara dst.
5. Latar belakang dan alasan munculnya RA, diantaranya;
o Banyaknya konflik di wilayah pertanian
o Kondisi social-politik pasca runtuhnya blok Barat dan Timur
o Kemunculan jejaring Neoliberalisme dll.
6. Beberapa model strategi taktik (stratak) RA, diantaranya:
o Market Land
o State Land
o Gerakan Petani
o Hubungan (kombinatif) anatara Negara dan Masyarakat.
(yang mana pilihan model yang ‘relevan’ bagi pelaksanaan RA di Indonesia?)
7. Beberapa tawaran gagasan dari Gama diantanya;
o Kenyataan bahwa Indonesia terdiri dari 30 % adalah non pertanian, dan 70 % adalah wilayah hutan, di satu sisi membuntuhkan sebuah kebijakan politik ekologis dan kehutanan atau kebijakan yang berbasis “sadar dan ramah lingkungan”.
o Disisi lain, bagaimana mengkombinasikan atau mensinergikan kebijakan dan gerakan RA dengan pentingnya kebijakan politik “sadar dan raham lingkungan” itu?
o Bagaimana menggandengkan mesra dan harmoni antara RA dengan isu lingkungan hidup dan usaha penanggulangan kemiuskinan?


Sebelum dikusi dan tanya jawab dua artikel di atas, Noer Fauzi sebagai pembimbing lingkar belajar meminta peserta untuk mengumpulkan kata dan istilah sulit atau belum difahami untuk dijelaskan lebih dahulu..(sebuah metode menarik agar masing-masing bisa saling belajar, berbagi dengan ‘setara’)

Beberapa tanggapan dan komentar dari dua artikel diatas, diantaranya:
1. Pelaksanaan RA bukan saja tergantung pada filsafat social, ideology sebuah Negara tetapi lebih mendasar dari itu adalah soal hubungan Negara dengan kelompok kekuatan civil society dan relasi kekuatan politik dalam masyarakat di satu sisi dan hubungan kekuatan antar elite state nya sendiri di pihak lain.
2. Dengan demikian RA harus diletakkan sebagai agenda politik nasional, yang meniscayakan kekuatan Negara sebagai penopang kebijakan RA agar mampu menghindar dari pengankangan brutal kekuatan pasar.
3. Noer Fauzi mengajak untuk membahas dengan lebih mendalam tabel periodic tentang perbedaan dan perbandingan serta “Perubahan Basis ekonomi, social-politik dari 1980an sampai dengan 1990an yang dibuat Boris dkk. Pertanyaan pokok yang kemudian ditemukan dan patut untuk di diskusikanlebih jauh adalah “ Kondisi social-politik-ekonomi macam apa yang memungkinkan RA? Dan RA macam apa yang yang muncul dalam situasi itu?



Artikel ketiga yang dipilih adalah karangan Ben Cousin dengan judul: “Land and Agrarian Reform in 21st century; changing Realities, changing arguments?” yang disampaikan oleh Sindu (LAPERA) Yogyakarta. Beberapa pokok pikiran yang muncul meliputi:
1. Beberapa pandangan tokoh yang menjadi asumsi tulisan Ben Cousin, seperti pandangan Davis soal berbagai macam fenomena memprihatinkan dan akibat yang timbul karena masalah migrasi desa-kota.
Pandangan Hernando de Soto:
2. Pandangan Ben Cousin sendiri sendiri mengenai:
o Dampak global yang tak berimbang dengan kesiapan pedesaan yang berakibat terseretnya pedesaan pada arus utama globalisasi.
o Berbagai model pelaksanaan Land Reform abad 21.
3. Penjelasan, perbedaan dan akibat dari enam “Typologi reformulasi rasional untuk RA pro-poor” yaitu:
o Tipe Neoliberalisme
o Tipe Neo-Populisme
o Tipe Devolopmentalisme
o Tipe Welfarisme
o Tipe Radikal Populism
o Tipe Class strunggle
-
4. ………..
5. …………
6. ………….


Tanggapan dan gagasan;

Jika motor penggerak RA adalah petani, sementara akhir-akhir ini akibat dari “de-agrarianisasi’ kaum petani mengalami perubahan mendasar serta melakukan migrasi ke kota di ‘kawasan-kawasan kumuh’ atau ‘penampungan kawasan lebih’, bagimana menyikapi situasi ini disandingkan dengan kebangkitan RA? Dan bagaimana memahami ‘sektor informal’ (petani, pedagang kaki lima dll) yang belakangan ini sampi pada kondisi yang menindas dirinya sendiri? (bandingkan dengan pandangan De Soto yang meyakini bahwa “sector informal” sebgai suatu modal tersembunyi untuk pembangunan kapitalisme)

Artikel ke-empat adalah karangan Shahra Razavi berjudul: “ Liberalisation and the debates on women access to land” disampaikan oleh Laksmi Savitri (PKA- IPB).

Beberapa pokok pikiran dan pertanyaan yang diajukan dalam tulisan ini adalah:

1. Secara garis besar Razavi hendak menerangkan bagaimana perjalanan diskursus tentang peran pearempuan dalam pembaharuan agraria.
2. Razavi mengedepankan sebuah persoalan bahwa sesungguhnya ada kenyataan ketidakadilan akses di aras rumah tangga,ketika konsiderasi reforma agrarian berhenti hanya pada tingkat rumah tangga petani.
3. Untuk mengupas pikiran Razavidalam artikel ini, Laksmi S mengajukan baeberapa pertanyaan kunci diantaranya adalah:
o Pelaksanaan RA itu akses terhadap lahan atau akses terhadap sumberdaya rumahtangga?
o Apakah RA sudah bicara tentang perempuan dan rumah tangga?
o Lalu, ada apa dengan wanita terhadap asset tanah?
-
4. Rumah tangga perlu dilihat sebagai paduan antara kepentingan perempuan dan laki-laki yang menyatu tapi juga sekaligus terpisah atau disebut Razavi sebagai “co-operative conflict” . Inilah mestinya yang menjadi spirit dasar pemberangkatan RA, sebab jika tidak akan berimplikasi pada:
a. Advokasi perempuan hanya diletakkan pada perubahan hukum dan peraturan saja padahal kedua prasyarat itu tidak lah mencukupi dalam mendorong perubahan sosial.
b. Pasar tanah tidak mampu menjamin akses perempuan terhadap tanah.
c. Privatisasi melalui pemberfian hak atas tanah secara individual, menyingkirkan perempuan yang tadinya sudah memiliki semacam klaim tenur melalui system tradisional.
d. Postulat “lahan sempit-efisiensi tinggi’ justru bertumpu pada eksploitasi beban kerja perempuan dan anggota keluarga yang lebih muda.
5. Razavi menyimpulkan bahwa dengan permasalahan sedemikian kompleks, pemberian hak individual atas tanah kepada perempuan tidak menyodorkan solusi secara serta merta karena banyak factor yang bisa memidiasi akses tersebut.
6. Perdebatan tentang isu feminis tidak boleh berhenti sekeder menjawab pertanyaan cukup atau tidak cukup adil dan bagaimana supaya lebih adil? Tetapi mesti dilihat juga pada soal implikasi nya yang lebih luas jika ketidakadilan itu dibiarkan.
7. bagi Laksmi S sebetulnya tidak perdebatan tentang bagaimana perempuan sebaiknya mendapatkan akses dan kepemilikan atas tanah. Laksmi mengajak untuk mundur selangkah dulu dengan pertanyaan: apa akibatnya jika perempuan tidak mendapatkannya? Apakah ini cuma persoalan perempuan, terutama perempuan petani tanpa tanah dan penguasa lahan sempi, atau menyangkut keselamatan hidup orang banyak? Tanpa mempertanyakan hal ini tidak akan ada kekuatan untukmembuka akses menuju penentuan bentuk hak ini di lingkungan kita.


Sayang, artikel menarik dan padat itu tidak bisa diteruskan dalam putaran diskusi berlangsung, waktu telah menunjukkan pukul 16.45 WIB, atas dasar pentingnya arikel Razavi diatas, dan banyak peserta yang sore itu juga mesti mengejar jadwal terbang pesawatnya masing-masing, atas persetujuan forum artikel tersebut akan menjadi pem buka dalam Putaran Kedua Lingkar Belajar RA yang disepakati diadakan di Bogor tanggal 5-6 Maret 2008.

Sebelum acara dipungkasi, masing-masing peserta belajar dipersilahkan memilih dengan partisipatif bahan artikel yang hendak menjadi tanggung jawab untuk diriview dan dipresentasikan dalam putaran kedua di Bogor.

Akhirnya, runtutan putaran pertama Lingkar Belajar Bersama RA (LiBBRA) ditutup dengan penjelasan bahwa bahan-bahan artikel RA yang akan menjadi pembahasan di putaran kedua di Bogor adalah artikel-artikel yang lebih beraroma dialektika teoritis, sehingga masing-masing peserta diharapkan menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh .

Mengutip kang Ozi, jika tidak taat komitmen kesepakatan bersama dalam LiBBRA ini sangsinya (cuma) satu, yaitu “MALU…”!!! Benarkah maknanya hanya ‘cuma’?

Akhirul kalam, “Met, bertemu kembali di Bogor peserta belajar yang budiman…”

Notulensi Pertemuan 1 (hari I, 30 Jan 08)

Notulensi (Tidak Lengkap)
Lingkar Belajar Bersama Reforma Agraria
"Kebangkitan Studi Agraria dan Agenda Reforma Agraria Abad XXI"


Pertemuan I, Hari I: 30 Januari 2008

Acara Pembukaan
1. Sambutan Ketua STPN
2. Pengantar Belajar Bersama (Noer Fauzi)
o Sangat senang melihat bangkitnya studi agraria yang tercermin dari kehadiran
o Krisis pertama: sebagai bangsa kita tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Soal pangan adalah soal agraria. Krisis kedua: mereka yang memproduksi pangan semakin tidak memiliki kontrol terhadap tanah. Pedesaan ditekan sedemikian rupa sehingga petani ditempatkan sebagai tenaga kerja semata. Padahal daya serap industri terhadap tenaga kerja sangat rendah. Pengangguran adalah Krisis ketiga adalah krisis ekologi. Krisis keempat: ketiga ini tidak diatur dalam sistem produksi yang membuat petani bisa memiliki tabungan (modal domestik). Padahal tabungan ini yang memungkinkan petani bisa meningkatkan teknologi dan pengetahuan.
o Keempat krisis ini belum ada jawabannya. Bagaimana RA kita bisa menjawabnya?
o Secara historis dapat ditelusuri bagaimana keempat krisis ini ditangani dari waktu ke waktu.
o Ini adalah krisis di mana kita dipanggil untuk memberikan jawabannya. Kita mesti mempertanyakan jawaban-jawaban yang telah diberikan. Apakah jawaban dalam bentuk social forestry, PPAN, BBN dll merupakan jawaban yang tepat.
o Kita melihat bahwa pertanyaannya begitu jelas, tetapi jawaban yang diberikan belum diarahkan ke sana.
o Komitmen menjadikan RA sebagai jawaban bukan hanya terjadi di sini tetapi juga di negara-negara lain dengan arus yang lebih besar. Juga digeluti oleh banyak lembaga internasional.
o Singkatnya, kita perlu mengakrabi kebangkitan ini, tetapi lebih dari itu menelaah dan memikirkan masalah kita sendiri dengan bercermin pada jawaban-jawaban yang telah diberikan di berbagai tempat lain.
o Penjelasan mengenai kurikulum akan disampaikan ada bagian akhir nanti.

Sesi I
Pengantar Oji
• Pertanyaan buat Pak Gunawan Sasmita:
1. Bagaimana evolusi dan peralihannya, kok bisa (baca: di bawah kondisi macam apa) agenda reforma agraria sekarang menjadi agenda utama BPN?
2. Bagaimana itu berpengaruh ke dalam kelembagaan BPN?
3. Bagaimana profil dari pilot project PPAN di beberapa tempat?
Presentasi Gunawan Sasmita
• Mengapa BPN menjalankan RA. Pertama, upaya bersama untuk mewujudkan keadilan sosial. Kedua, mandat konstitusi, politik, dan hukum. Ketiga, keharusan sejarah. Keempat, bagian mendasar dari triple track strategy.
• Perjalanan pelaksanaan RA. Terjadi pergeseran obyek dari tanah maksimum ke tanah negara. Redistribusi tanah tetap berjalan antara lain dalam bentuk transmigrasi, PIR, dll. Tren pergeseran ini juga terjadi di Thailand dan Filipina. Ini banyak menimbulkan konflik. Redistribusi bergeser menjadi persoalan teknis dan berhenti pada aspek penguatan hak semata. Padahal perintah UUPA tidak hanya menyangkut penguatan hak semata. Dulu diantisipasi dengan membentuk Yayasan Dana Land Reform.
• Kenapa RA kini menjadi agenda utama? Salah satu anggota DPR dari Fraksi Golkar adalah bekas walikota di Bengkulu yang menjalankan landreform tahun 1964. Dia bilang hanya dua orang yang berani berbicara mengenai landreform, yaitu Bung Karno dan Joyo Winoto. Konsensus sudah ada pada TAP MPR, tetapi baru sekarang dilakukan mainstreaming. Empat prinsip pengelolaan pertanahan. Sebelas Agenda BPN.
• Pengaruh pada kelembagaan BPN seperti apa. Sudah dilakukan beberapa pembenahan aturan dan kelembagaan. Perpres 10, RPP dll.
• Mekanisme dan delivery system.
• Soal reklaiming tidak dilihat dari sisi legal atau ilegal. Melainkan dilihat sejauh mana ia merupakan jastified claim.
• Profil pelaksanaan PPAN: Di Lampung, Sultra (sawit), Sumut (menyelesaikan sengketa Puskopad), Blitar (sapi potong).
Noer Fauzi
• Ini adalah cerita dari dalam dan penting untuk mengungkap misteri gejolak dunia dalam.
Leurel Heydir
• Asumsi Ladejinsky bahwa penyelesaian masalah agraria di Jawa akan bisa menyelesaikan masalah di luar Jawa adalah terlalu simplistis.
• Pingin mengintip lebih mendalam BPN. Bagaimana sebetulnya RA yang dibayangkan BPN. Misalnya penjelasan UUPA yang dikutip tadi tidak merupakan hubungan kausal.
• Saya ingin membawa persoalan ini ke ranah hukum. Problemnya ketika kita ke hukum, semua masalah sosial mengenai agraria tidak bisa masuk. Perundang-undangannya yang menjadi kendala. Jadi RA harus berangkat dari hukum yang baru, bukan RA ini adalah mandat dari perundangan yang sudah ada.
Idham
• Ada proses evolusi di BPN yang saat ini mengalami lompatan besar. Dulu BPN hanya menjadi administrasi pertanahan, tetapi di lapangan menimbulkan masalah dengan mengeluarkan HGU. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelembagaan BPN. Nah, sekarang kok bisa BPN mau menjadikan reforma agraria sebagai agenda utama.
• Dulu RA dilakukan untuk memotong warisan feodal dan kolonial. Sekarang RA dijalankan dalam rangka agenda global untuk pengurangan kemiskinan.
• Saat ini RA mau dijalankan dalam kerangka kelembagaan yang otoritasnya amat terbatas. Inisiasi hanya pada tanah negara, tetapi akan menghindar pada tanah yang dikonflikkan.
• Semakin banyak institusi yang akan mereproduksi pengetahuan mengenai RA, termasuk BPN. Ini penting. Misal, penyebutan RA oleh Presiden sangat membantu petani di Blora untuk memperjuangkan klaim tanahnya.
• Tetapi ada keterpisahan antara perjuangan RA di kalangan NGO dan gerakan tani dengan yang diupayakan oleh BPN. Pihak pertama karena berangkat dari konflik agraria, maka yang menjadi concern utama adalah menyelesaikan tanah konflik yang selama ini telah mereka perjuangkan. Ini ada perbedaan dengan yang dibayangkan BPN.
• Bagaimana internalisasi RA yang diinstruksikan Kepala BPN di antara seluruh aparat di daerah. Kanwil Sulsel mau mengembangkan access reform dengan mengandeng INCO. Padahal bagi masyarakat Sorowako, INCO selalu diingat sebagai perampas tanah mereka.
Valentine
• Ada satu daerah di Bali di mana dilakukan konsolidasi tanah. Dalam rangka itu dibebaskan tanah untuk pembuatan jalan yang kemudian diganti dengan tanah dari lokasi konsolidasi. Sekarang lokasi itu akan menjadi perumahan elit.
• Di Riau ada HGU kelapa sawit, dan petani dibina dari pembibitan sampai produksi. Termasuk petani di luar plasmanya.
• Petani dampingan PT Jarum Kudus
Noer Fauzi
• Cara merespon: menggali lebih lanjut, mengkritisi, memberitahu.
• Sikap dalam mencari tahu. Mencari hubungan-hubungan yang tersembunyi. Apa yang tampak tidak bisa menggambarkan seluruh konstelasi. Kita akan terdorong untuk terus mencari dan kesimpulan kita atas hubungan-hubungan itu selalu bersifat tentatif.
• Misal, melibatkan perusahaan besar sebagai bentuk access reform. Tetapi kan ada komplikasi yang lebih besar: mengapa dia melakukan CSR, apa kepentingan dalam rangka akumulasi modal. Ini terus merangsang untuk mencari hubungan-hubungan yang tersembunyi.
• Jadi Pak Gunawan ini kita tempatkan sebagai nara sumber, sama halnya dengan teks-teks yang nanti akan kita pelajari. Jadi biarkan dia bercerita.
Luthfi
• Tadi pelaksanaan PPAN di Lampung disebut dan saya terlibat dalam penelitian di Lampung. Kritik kami saat itu adalah program ini bias orang kaya. Ada purnawirawan yang menguasai 15 hektar. Sementara orang miskin tidak bisa terlibat untuk memperoleh manfaat dari program redistribusi tanah ini. Juga tidak dapat terlibat dalam skema access reformnya.
• Pertanyaan utama adalah: sejauh mana sebenarnya sasaran dari PPAN ini. Seharusnya harus mencari yang termiskin dari yang miskin.
• Mohon penjelasan pada desan O --> S. Ini sangat tergantung pada kemauan baik si pengusaha. Pengusaha kan pasti menghitung biaya ekonomi dll kalau harus pindah ke tempat lain. Ada berapa banyak perusahaan yang diidentifikasi demikian?
• Bagaimana kesiapan kelembagaan di BPN? Pengalaman tahun 1960-an saat itu memberi pelajaran bahwa Komite Landreform tidak cukup kuat sehingga membuat petani tidak sabar dan melakukan reklaiming.
Sundung Sitorus
• Bagaimana kecenderungan konversi dan fragmentasi tanah pertanian.
• Bagaimana dengan sikap Dephut yang menolak melepas hutan konversi.
• Ada tanah swapraja dan eks swapraja yang cukup luas untuk dijadikan TOL.
• Bagaimana pembiayaan untuk RA? Kalau di Venezuela disisihkan dari minyak. Kalau di sini bagaimana? Apa swadaya?
Bambang Eko
• UU pertanahan banyak bermasalah dan ini bisa menjadi penghambat bagi aparat pelaksana.
• Apakah pelaksanaan RA bisa peaceful?
• Masalah ganti rugi perlu dibuat formula baru.
• RPP RA sudah sampai di mana?
Sutaryono
• Dari sisi petani, ada petani yang motifnya hobi karena untung-rugi sudah tidak bisa diperhitungkan mengingat tanahnya demikian sempit.
• Karena terdesak, petani memilih menjual tanahnya atau menjadikannya untuk penggunaan non-pertanian (alih fungsi). Setelah itu mereka beralih profesi. Ini pilihan cerdas.
• Problem kebijakan: tidak ada perlindungan untuk membuat petani sejahtera.
Iwan
• Soal pengembangan model, saya mendapat informasi dari beberapa lokasi ujicoba. Ada tiga yang berkembang: sertifikasi, kemitraan, dan cara penyelesaian konflik. Yang terakhir ini hasilnya bisa sertifikasi atau kemitraan.
• Saya menganggap bahwa model O --> S sebenarnya adalah S --> O. Hanya subyeknya bisa masyarakat dan bisa perusahaan.
• Kesimpulan saya, semua ini hanyalah cara baru untuk pendaftaran tanah. Contoh di Lampung: daerah yang sudah menjadi pemukiman tetapi dulu statusnya belum jelas, sekarang disertifikasi. Itulah yang disebut PPAN.
• Soal skema penyelesaian konflik. Upaya penggantian tanah untuk perusahaan yang sedang ada konflik, bukankah upaya pemindahan ini bertentangan dengan kepentingan pemda untuk mengundang investor. Kalaupun perusahaan mau pindah, pasti dia akan pasang harga tinggi dengan menuntut tanah yang lebih luas. Masalah berikutnya berkaitan dengan pembobotan subyek. Inilah mengapa keterlibatan masyarakat sangat penting. Tetapi di RPP pelibatan masyarakat hanya di tingkat pembiayaan.
• Banyak HGU di Jawa yang diterlantarkan supaya bisa dialihkan menjadi kawasan property karena memang ada bolong hukum di situ.
• Kalau pembobotan dilakukan sendiri oleh BPN, maka yang dipilih adalah yang mudah yaitu sertifikasi tanah dan S --> O secara voluntary. Ini bukanlah "menyelesaikan masalah tanpa masalah" tetapi akan menghasilkan masalah baru.
Satyawan
• PPAN diterapkan tanpa mempertimbangkan kembali konsep yang sudah ditetapkan. Misalnya, kawasan hutan dan hak masyarakat lokal. Makanya kalau INCO mau terlibat PPAN pasti masyarakat akan bereaksi keras.
• Tahun 1960-an landreform merefleksikan ideologi poskolonial untuk membangun sistem ekonomi baru yang untuk itu dirumuskan UUPA untuk mendukungnya. Tetapi saat UUPA selesai dirumuskan, konfigurasi politik berubah.
• Reforma agraria sekarang adalah bagian dari resurgence tahun 1990-an. Tetapi yang menarik adalah bahwa di Indonesia RA yang diagendakan kembali dipertanyakan seberapa jauh ia didukung oleh elit yang berkuasa. Selain itu RA saat ini tidak didukung oleh UU yang kuat seperti UUPA. Sehingga ia hadir dalam ruang sempit yang sudah dibelenggu oleh jeratan neoliberalisme. Maka perlu dilihat bagaimana arah PPAN ini nantinya, seperti yang sudah kita lihat di Lampung dsb. Di sini kita lihat bagaimana kombinasi antara state driven, market oriented, bangkitnya organisasi rakyat dsb.
Rambo
• Penguasaan kebun HGU saat ini adalah 100 ribu. Ada kecenderungan di kebun bahwa petani akan dijadikan buruh semua. Kecenderungan perkebunan besar semakin meningkat luasannya. Bagaimana RA merespon ini? Apa mau dibatasi, apa ada rasio, atau bagaimana?
Gunawan
• Model kita bukanlah harga mati. Justru saya menantang mana masukan yang bisa dijadikan model baru.
• Pertanyaan sekarang adalah apa memang ada tanah kosong yang masih tersisa? Makanya prioritasnya adalah petani yang menggarap tanah yang bersangkutan. Apa penerimanya jatuh ke orang kaya? Kita tidak bisa 100% perfect di lapangan, asalkan dalam batas toleransi. Mengenai tanah pekarangan akan dicakup dalam RPP mendatang.
• Land distribution tidak cukup, perlu support system. Itu pun tidak cukup kalau tidak ada dukungan konteks kelembagaan dan kebijakan yang lebih luas.
• Memang tidak ideal ruang yang tersedia saat ini, tetapi kita tetap harus bergerak.
• Masalah pembiayaan sangat critical. Ini tergantung political will dari pemerintah.
• Solusinya kita cari bersama-sama, al. melalui lingkar belajar bersama ini.
Noer Fauzi
• Cerita Pak Gunawan ini harus kita lihat sebagai cermin kebangkitan kebijakan RA di Indonesia.

Sesi II
Noer Fauzi
• Dulu S1 di Arsitektur ITB. S3 di Cornell University jurusan Urban and Regional Planning dan Politics. Mengajar di S3 Cornell University tentang Ketertinggalan dan Keterbelakangan.
• Bagaimana membicarakan RA dari studi pembangunan ditempatkan dalam konteks krisis Indonesia sebagai negara kepulauan.
Hendro Sangkoyo
• Politik representasi sangat penting dalam gerakan.
• Proses belajar kami (banyak rombongannya: RA, miskin kota, hutan dll) sejak 1983 dan belum ketemu jawabannya sampai saat ini
• Kalau Reforma Agraria Jawabannya, Apa Pertanyaannya?
• Saya ingin meragukan jawaban itu dalam arti kritis.
• Saya ingin mengajukan sebuah himbauan kepada kawan-kawan untuk memulai dari pertanyaan-pertanyaan.
1. Reforma Agraria yang Mana?
• Pembagian lahan hutan terkonversi (dari hutan produksi ke hutan penjaga karbon)
dengan logika produksi-pertukaran dan konsumsi yang sama, apakah betul penguasaan nominal atas tanah menjamin keselamatan, produktivitas dan kelangsungan reproduksi layanan alam?
• Janji realokasi penggunaan ruang dalam peraturan dan rencana-rencana tata-ruang
apa yang sudah berubah? selama ini mekanisme dan instrumen tata-ruang adalah penyamaran status RUANG-SISA (residu dari segi ekonominya, sosial budayanya) dari wilayah-wilayah tata ruang.
Jadi sebetulnya land grab juga seperti SPP misalnya. Nah, yang ini bagaimana ngurusnya kalau dikerangkakan reforma agraria. Untuk sektor urban hanya 10-15% yang bisa diurus oleh tata ruang. Contoh Jakarta, 3,5 kali luas Jakarta dikuasi sektor partikelir sehingga susah sekali digunakan untuk kepentingan publik. Bahkan untuk bikin jalan raya sendiri sudah sulit, seperti ditelikung.
apa ada hubungan perkotaan dan perdesaan?
• Pembaruan tata niaga tani/penentuan harga produk tani
pemancungan syarat-syarat pemenuhan kualitas hidup lainnya.
2. Reforma Agraria Menuju Ke Mana?
• Kedaulatan pangan
nasionalisme konsumsi di tengah liberalisasi perdagangan, atau pembebasan konsumsi rakyat (konsumsi karbohidrat, mineral, ..) dari jaring-jaring sirkuit akumulasi yang melemahkan produktivitas rakyat?
apakah kita bicara mengenai kedaulatan
Vietnam impor beras 300 ribu ton dari Kamboja. Persoalan jauh lebih ribet dari kedaulatan pangan
• Reforma agraria lewat kekuatan sendiri
realokasi aset tanpa pembaruan tata-produksi, atau penciptaan sistem pendukung kehidupan rakyat yang tangguh?
• Pembangunan industri pertanian sebagai soko-guru ekonomi nasional
cerita bersambung dari sindroma kedelai?
sekarang ada pertanian energi, pertanian kayu dan pertanian pangan.
siapa yang akan menguntungkan dari pengembangan kesemua itu?
sindroma kedelai mulai dari 1970-an ketika industri mobil di AS ditekan penduduk karena membuat polisi. lalu dicampur dengan zat aditif yang ternyata menimbulkan kanker dan mengotori air. California meneliti semua sumur tercemar. akhirnya dipilih ethanol. ini cerita reforma agraria, tetapi skala, paruh waktu dll yang sangat ribet yang tidak hanya bisa ditangani dengan kadastral, tata ruang, atau mistik?
STPN sebenarnya duduk di tambang emas kalau kita mau belajar. misalnya bentuk tenure dari masing-masing sektor
186 kapal tanker (di Indonesia 9 dan akan bertambah 16) sebagai moda produksi baru untuk minyak yang bisa mengolah minyak dari cruwd, cair, gas dll.
3. Belajar Terus Menerus (4 kuadran)

4
pengutuhan rantai-rantai penjamin ketahanan sosial-ekologis dan pembaruan sistem, mekanisme, dan instrumen pengurusan publik 1
pelajari betul-betul duduk perkara proses ekspansi ekonomik berserta TELAPAK SOSIAL EKOLOGISNYA
3
menciptakan dan memperluas medan belajar untuk PRAKTEK SOSIAL dan PRAKTEK INSTITUSIONAL pembaruan proses perluasan ekonomik, dengan syarat bahwa proses belajar ini tidak boleh dikenai kekerasan 2
pelajari syarat-syarat pembalikan proses perusakan RUANG-HIDUP rakyat, dan pelucutan rakyat dari sumber-sumber penjamin kehidupannya

ad. 1.
yang harus direbut adalah protokolnya. kalau tidak kita hanya reforma agraria pinggiran. hanya mlipir-mlipir.
ad. 2.
rakyat punya rumah (live space). itu yang dibongkar selama bertahun-tahun. ini yang terjadi tiap hari. bagaimana membaliknya. petani setiap saat harus siap angkor kopor. gak ada gunanya mikro kredit dll. memang itu untuk ekspansi kapital. contoh grameen bank. siapa yang diajak? Monsanto.
ad. 3.
pendidikan ini harus dilakukan juga oleh lembaga-lembaga pengurusan negara. jakarta adalah parasit terbesar dari proses sosial-ekologis. baca pencemarannya, baca kebutuhan energinya, kebutuhan pangannya, sirkulasi uangnya, dst.
proses belajar harus diarahkan untuk perluasan ekonomik
dan harus damai.
peaceful itu tuntutan rakyat, bukan jargon pemerintah. tuntutan rakyat yang sedang belajar, tetapi digebuk oleh pemerintah. proses belajar ini tidak boleh dikenai kekerasan. kalau dikenai kekerasan tidak akan belajar
ad. 4.
salah satu eksperimennya adalah memastikan wilayah kelola masyarakat.
jalin terus dengan berbagai style. yang penting siklus belajarnya harus terus menerus. saya lebih percaya daripada pencanangan sebuah program pembaruan agraria nasional. kalau perlu proses belajarnya sampai 25 tahun.
• Absennya sebuah kerangka pengurusan sosial-ekologis yang mampu mengendalikan vektor perubahan
keutuhan RUANG-HIDUP, habitat, eksosistem, bioma, ecosfera versus ruang-ruang ekonomik yang melayani diri sendiri dan membongkar.
reproduksi keselamatan dan kesejahteraan serta sistem pemenuhan kebutuhan pokok versus ekspansi ekonomik untuk akumulasi kapital
sistem-sistem pendukung kehidupan versus "infrastruktur pasar".
infrastruktur faal ekosistem versus wilayah-wilayah kelola yang terserpih dan terpencil.
4. Hal-hal yang Harus Masuk dalam Logika Reforma Agraria
- rasio produksi - konsumsi --> lokal dan mentah (spatial logic of consumption)
- rasio produksi - konsumsi --> firma dan sektor publik (social logic of
consumption)

--> basis fenotipe adalah pulau (misal pelayanan alam dll)

Tiga maksim untuk proses belajar: (jangan nunggu ratu adil)
1. Tiga harus ditebut: keselamatan rakyat, produktivitas rakyat, fungsi-fungsi faal ekosistem
2. Bergantung di tiga neksus: air, pangan, energi. Ketiganya ditentukan oleh demand (pertumbuhan kebutuhan energi 3-4% dan ini menimbulkan gap terhadap supply).
3. Telapak sosial-ekologis

Baru mencoba menjelaskan saja sudah sangat repot.

Sirkuit kapital yang melibatkan perubahan iklim dan finance capital.

Noer Fauzi
• Mas Yoyok: merangsang sel-sel otak dan menggoncang-goncang emosi.
Laksmi
• Logika dan sistematika berpikir mengenai RA perlu dipertimbangkan kembali.
• Kalau untuk meluruskan logika itu butuh proses, dan proses itu butuh waktu, padahal korban terus berjatuhan dalam hitungan detik (karena telapak sosial ekologis tidak pernah kita hitung dan kita perhatikan), maka apa yang harus dilakukan untuk memperkecil telapak ekologis karena yang dipertaruhkan adalah keselamatan dan ruang hidup.
• Bagaimana ini tidak membuat kita pesimistis tetapi memberi arah untuk proses belajar ini. Jangan sampai kita keenakan belajar.
Merry
• Apa sistem yang mengkoordinasi kegiatan kita semua sehingga arahnya bisa menuju reforma agraria yang komprohensif seperti dimaksudkan?
Iwan
• Sejauh mana RA harus diperluas dengan dikaitkan pada pendefinisian ulang mengenai hubungan antar pulau, hubungan pusat daerah, bentuk kenegaraan dst. Ataukah dibatasi pada pendefinisian hubungan antara negara dengan rakyat dalam kaitan dengan pengaturan sumber-sumber agraria.
Gunawan Sasmita
• Setelah melihat semua ini begitu komprehensifnya, saya kira RA ini tidak akan jalan. Coba kita lihat pelaksanaan RA di semua negara kan tidak harus "turun mesin" semua. Ini hanya utopia.
• Kita lakukan apa yang kita mampu daripada tidak berbuat sama sekali. BPN hanya melakukan apa yang dalam kewenangan BPN.
Sindhu
• Usulan RA seperti apa yang bisa diusulkan yang lebih praktis?
• Mas Yoyo menjelaskan obyek-obyek RA yang lebih luas. Obyek2 RA apa yang bisa diusulakan di luar tanah?
Jawaban Hendro Sangkoyo
• Ini merupakan persoalan imajinasi. Para perencana tata ruang ini yang pertama kali harus dihadapkan pada people tribunal. Karena implikasinya dalam sekali suatu lokasi ditetapkan sebagai ekonomi terpadu dst.
• Intinya saya ingin bertanya: kalau bicara RA, dalam imajinasi saya yang cupet apa kalau bicara agraria kita hanya bicara tanah. Apa kita tidak bicara tentang produksi taninya, apa tidak bicara tentang kesejahteraan petaninya. Kalau ini tidak masuk dalam neraca hitung-hitungan kita semua, silahkan. Kalau mau belajar dengan cara burung onta, silahkan. Kalau bicara keselamatan rakyat itu utopia, minggir saja dari bicara RA. Yang kita bicarakan nomor satu adalah KESELAMATAN RAKYAT. 70% uang publik dipakai untuk pelayan. Untuk yang dilayani cuma kebagian 30%. Itulah investasi yang sesungguhnya untuk rakyat. Jadi panggung pelayan kita ini masih besar dan biayanya sangat mahal. Fiscal gap ini yang dibiayai oleh pengrusakan sumberdaya alam.
• Nomor kedua adalah PRODUKTIVITAS RAKYAT. Perusakan lingkungan telah menyebabkan kemerosotan drastis produktivitas rakyat. Tiga shift kerja dan waktu istirahat sangat sedikit, tetapi produktivitas kecil. Bagan-bagan di atas paling mudah dipahami oleh rakyat, tetapi paling sulit diterima di kalangan akademisi dan birokrat. Karena mereka belajar habis-habisan tetapi tidak dapat apa-apa.
• Ketiga, KELANGSUNGAN PELAYANAN ALAM. Dua tahun setelah UU lingkungan, 29 sungai besar dinyatakan bangkrut sebagai fungsi ekologi. Tahun 92 menjadi 39. Tahun lalu 89. Padahal sungai itu adalah ruang hidup bagi rakyat. KELANGSUNGAN LAYANAN EKOSISTEM ini tidak pernah menjadi syarat dan tidak pernah dijadikan sebagai perhitungan dan kalkulasi.
• Soal Amerika Latin. Partai Buruh di Brazil dalam tempo 5 tahun memotong semua anggaran land reform untuk membayar hutang sehingga menjadi anak manis di mata penguasa keuangan dunia.
• Inilah permainan politik sepak bola. Setelah memilih, selama lima tahun jangan pernah masuk lapangan sepak bola. Betapapun ngawurnya permainan di dalam lapangan. Kalau masuk kita jadi penjahat.
• Tahun 1992 saya dapat dokumen pulau Kalimantan mau diurus oleh satu negara besar di Eropa. Imajinasi kita kontinental, bukan kepulauan. Coba kita lihat peraturan2 mengenai pulau-pulau kecil.
• Ini bukan urusan federal atau kesatuan. Urusan rakyat itu sederhana: selamat, produktif, dan alam lestari.
• Apa sistem yang mengkoordinasikan? Jangan ditanyakan, tetapi dibuat saja. Salah gak apa-apa.
• Proses belajar RA itu pusatnya di kampung. 189 produk pertanian lokal yang dihasilkan dari seluruh wilayah SPP. Dilihat siapa butuh apa. RA tidak akan berhasil tanpa membesarkan internal demand produk pertanian kita. Padahal itu besar sekali, tetapi tidak pernah kita kelola. Memilih dibanjiri produk dari luar.
• Untuk Laksmi: saya dimarahi karena menggunakan proses belajar, bukan aksi. Kalau kita belum ketemu, logika belajarnya apa? Kalau kita rendah hati, setiap kelompok yang belajar RA dan konsisten, ternyata tidak ada yang kurang dari 10 tahun.
• Kita ajak perkebunan belajar. Misal kita tunjukkan produksi perkebunan terus declining. Kita ajak belajar bagaimana meningkatkan produksi, dll.
• Batas waktu kita sampai 2015. Kalau kita gagal, kita lewat. Cerita perubahan iklim, perdagangan bebas (di AS korporasi menang di pengadilan melawan 10 negara bagian), dll. Ini semua tidak main-main.
Siti Aisyah
• Dengan segala komplikasi yang telah dipaparkan, saya lebih optimis terhadap RA.
Leurel
• Kita diajak memikirkan war, bukan hanya battle. Tetapi bagaimana aplikasinya. Complicated boleh, tetapi bagaimana outlet-outletnya. Kasih gambarannya yang lebih sederhana.
Tina
• There is a war in the every village.
Hendro Sangkoyo
• Kita selalu membayangkan perangnya di level nasional. Padahal kenyataan di lapangan ada yang harus segera diatasi. Misalnya di Klaten ada yang berupaya mengembangkan pertanian organik. Mereka mengumpulkan air seni anak-anak sekolah untuk menguji coba saprodi organik.
• The real war in the daily basis. Ini sama berharganya dengan yang dilakukan di tingkat nasional. Exactly pada level itu memang tidak ada pemecahan. Karena itu kita merasa perlu alat untuk belajar yang bisa digunakan oleh orang banyak.
• Ada dua panggung: panggung pengurus rakyat (broadway) dan ada panggung rakyat. Dua panggung ini belum tentu ketemu, meski panggung yang pertama berniat baik.
• Jadi instrumen belajar itu apa? Belajarnya kayak apa?
• Mungkin kita ko-eksistensi untuk belajar kalau belum bisa bersama. Kita belajar sendiri. Pemerintah belajar sendiri. Sambil tukar menukar catatan. Kemudian meningkat pada level agak tinggi lagi, dst.
• Kota di Brazil membagi diri dalam 1000 komite yang mempelajari Anggaran Pemerintah Kota. Gak ada gurunya.
• Contoh di Alor saat terjadi bencana gempa.
• Cara bertanya:
1. Apakah ada masalah dengan pihak yang berwenang
2. Apakah ada anggaran publik untuk mengatasi masalah
3. Apakah kasus itu karena
• Rakyat harus diperlakukan dengan hormat bahwa mereka bisa memimpin dan mengatasi masalah sendiri.
Noer Fauzi
• Sesi 2 ini kita diajak untuk memikirkan apa yang mesti diurus dalam reforma agraria ini.
• Kita diajak memikirkan ulang cara belajar kita dan bahkan pilihan kata yang kita gunakan.
• Mengajak memikirkan hubungan antara global dan lokal. Sesungguhnya produksi lokal juga berkaitan dengan kondisi-kondisi yang berdimensi global.
• Proses belajar dan gerakan sosial merupakan kaitan yang tidak bisa kita pisahkan.



Hari Kedua

Sesi 1: Perkenalan

Noer Fauzi
• Motif-motif tadi adalah alas untuk proses belajar.
• Belajar untuk mengoreksi yang lama adalah sulit. Kalau menambah yang baru jauh lebih mudah. Ini menuntut untuk memahami argumen kita sendiri dan meletakkannya dalam debat yang ada.
• Naskah-naskah ini adalah endapan dari proses puluhan tahun para penulis.
• Proses belajar dan berkenalan ini adalah bagian dari kebangkitan kebijakan RA yang diiringi dengan kebangkitan studinya.
• Naskah pertama ditulis El-Ghonemy yang berkarir di FAO dan menjadi peneliti
• Mesir mengidentifikasi sebagai bagian geo-politik Timur Tengah, meskipun letaknya di Afrika. Di Timur Tengah gejolak RA sangatlah besar.
• Naskah kedua ditulis Boras dkk. Boras cukup lama malang melintang dalam gerakan agraria di Filipina. Dia berhasil mengkontekstualisasi pengalaman di Filipina dalam konteks debat antara program Bank Dunia dan model La Via Campessina dan bagaimana diletakkan dalam perubahan hubungan negara dan civil society.
• Kay sangat lama mendalami Amerika Latin. Sedangkan Lodhi banyak melakukan penelitian di Vietnam. Keduanya sekarang di ISS.

Semua peserta memperkenalkan diri

Presentasi Review Shohib (Lihat di Website Milis kursus-agraria)
Presentasi Review Gama
• Reforma agraria di kawasan hutan sangat kecil. Semua yang dilakukan menumpuk di luar kawasan hutan yang luasnya hanya 30%.
• Tiga hal yang ditawarkan:
1. Berdasarkan alasan apa pemerintah menjalankan RA
2. Apa model dan strategi yang mau diterapkan di antara keempat perspektif (market-led, state-led, peasant-led, state/society driven)
3. Apakah RA bisa mengentaskan kemiskinan?
4. Bagaimana RA menyikapi isu lingkungan seperti perubahan iklim, fungsi DAS, dll?
Klarifikasi Istilah
1. Indeks gini:
2. Cadastral
3. Pre-existing agrarian structure
4. Landless dan nearly landless
Indeks Gini
• Bandingkan antara grafik di mana semua kelas memiliki tanah dengan yang tidak memiliki tanah

• Tiba-tiba proses hukum menetapkan bahwa kelompok tertentu dinyatakan tidak boleh memiliki tanah dan kelompok yang lain boleh memiliki tanah.
Cadastral
• Pemberian atribut-atribut pada sebidang tanah (letak, luas, batas, subyek)
Land titling
• Terkait dengan cadastral karena pemberian hak atas tanah tidak mungkin kalau tanpa cadastral
Pre-existing agrarian structure
• Struktur agraria pra reform di Amerika Latin.
• Pengalaman di Mexico: para budak bersekutu melakukan perlawanan terhadap para tuan tanah dan seiring dengan kemerdekaan. Setelah merdeka mereka berkelompok dan mendapat bagian tanah bersama (ejido). Penguasaan tanah dan produksi di atas tanah itu pasca landreform sebagian besar dipengaruhi oleh latifundia
• Bandingkan di Indonesia yang dibagi kecil-kecil (bukan kelompok) karena konteks pra land reform bukan latifundia tetapi pemilik tanah yang luas
Neoliberalism
• Kebangkitan neoliberalisme dan para penganjurnya pada tahun 1980-an memiliki program umum bagaimana negara-negara berkembang bisa membayar hutang. Padahal kemampuan membayar jauh di bawah jumlah hutangnya. Repotnya, Brazil, Chili tidak memiliki minyak. Negara donor memaksa agar dana untuk kepentingan publik (seperti land reform) dikurangi. Tetapi lebih dari itu IMF juga menekankan stabilisasi moneter. Ini terkait dengan utang yang dalam bentuk dolar. Supaya hutang bisa dibayar dalam bentuk dolar, maka harus diekspor. Mujur Indonesia pada saat itu punya minyak. Brazil dan Chili terpaksa merubah industri mereka dari substitusi impor menjadi industri orientasi ekspor. Akibat dari semua itu maka land reform tersingkir dari kebijakan
• Bentuk kebijakan neoliberalisme berbeda-beda dari satu periode ke periode lain. Tetapi pada intinya, neoliberalisme menekankan bahwa orang dan badan usaha diberi kebebasan untuk .. (ada yang bilang untuk kebebasan manusia, ada yang bilang untuk demokrasi, ada yang bilang untuk akumulasi modal).

Sesi Diskusi
Iwan
• Naskah menunjukkan bahwa dari sisi nasional ternyata ada pengaruh global yang dominan. Saat ini agenda reforma agraria ditempatkan dalam kerangka pemberantasan kemiskinan.
Luthfi
• Ada kata kunci dalam paper Boras. Interlinked actors --> harus disadari bahwa masing-masing aktor sangat beragam.
Penjelasan Noer Fauzi: Pada kondisi macam apa mekanisme pasar dapat dipercayai sebagai basis dari pelaksanaan land reform (siapa yang mendukung kepercayaan itu..)
Etik
• Kita perlu bersepakat apakah land reform itu hanya menyangkut tanah saja?
• Mana karakter obyek yang harus menggunakan market driven dan mana yang harus menggunakan state driven
Masing-masing negara punya sejarah dan spesifikasi sendiri. Karena itu kita perluas dulu variasi dalam pengalaman berbagai negara.
Kedua naskah ini bercerita mengenai sejarah land reform sejak jaman dekolonisasi. Konsepsi land reform berubah-ubah menurut waktunya dan pihak yang mengusungnya.
Echo
• Perbedaan antar negara yang berakar dari falsafah sosial dan preferensi ideologis masing-masing negara. Setiap negara dipaksa untuk memikirkan konsepsi RA apa yang paling tepat untuk kondisi negaranya masing-masing.
• Tantangan ke depan mengenai redefinisi negara, pertanyaan adalah prasyarat apa yang paling penting dipenuhi oleh negara agar dia mampu menjadi pilar dalam pelaksanaan RA
• Untuk naskah Boras, pengalaman negara kita menyadarkan bahwa kepentingan kita menjalankan RA harus diletakkan dalam kerangka obyektif dan bukan pada relasi kepentingan global.
Satyawan
• Tidak ada model yang dapat memonopoli bisa mengatasi kemiskinan dan ketimpangan.
• Saat ini tidak ada negara yang bisa menjalankan kebijakan proteksionis seperti dulu.
• Setiap dilakukan reform pasti ada kounter reform. Peran gerakan sosial sangat penting. Untuk itu hubungan-hubungan di dalam negeri perlu ditentukan (hubungan antara negara dan civil society.
• Tidak bisa merumuskan model-model land reform dari balik meja karena pelaksanaan land reform merefleksikan kekuasaan yang ada.
• Jadi program reforma agraria harus dilihat sebagai proses politik, dan bukan sebatas persoalan intelektual
• Courville dan Patel menunjukkan bahwa negara menjadi lemah karena dipreteli kekuasaan demi mekanisme pasar. Dalam kondisi seperti itu, keputusan-keputusan negara sangat dijembatani oleh pasar. Dalam sistem itu demokrasi berkembang dan ruang civil society membesar. Tetapi dalam kondisi itu mereka tidak bisa menerjemahkan ke kebijakan karena negara sangat lemah. LSM bisa bergerak leluasa di luar gedung, tetapi di dalamnya hal itu tidak bisa dimasukkan ke agenda-agenda kebijakan.
Noer Fauzi
• Penjelasan tabel Boras.
• Kadaster adalah penyederhanaan dari sistem tenurial yang kompleks supaya legible: bisa didaftar, ditunjukkan tempatnya, dialihtangankan, dijaminkan dst
• Pemetaan partisipatif sebagai bagian dari reforma agraria oleh inisiatif gerakan sosial
• Ujungnya adalah pertanyaan: kondisi sosial, ekonomi dan politik macam apa yang membuat reforma agraria ini bisa berjalan dan dalam bentuk apa reforma agraria itu dijalankan.
• Studi komparatif perlu untuk membuat kita tidak self-centered.
• Ben Causin ahli agraria kulit putih dari Afrika Selatan. Membuat program studi agraria di Afrika Selatan yang perhatiannya juga meluas ke Zimbabwe.
• Deborah menunjukkan dalam studinya di Afraka Sub Sahara bahwa structural adjusment mempercepat proses deagrarianisasi ketika mereka pergi dari produksi komoditas primer dan pendapatan non-pertanian menjadi pengganti pendapatan pertanian. Proses panjang "fareweel to peasantry". Terjadi proses redefinsi pendapatan dan perubahan spasial kaum petani menuju ke non pertanian. Proses inilah yang diteoritasikan dengan konsepnya deagrarianisasi sebagai bagian dari proses lebih besar structural adjusment dan liberalisasi perdagangan.
• Cousins menambahkan Deborah dengan mengatakan bentuk-bentuk diferensiasi baru di lingkungan petani dan penduduk pedesaan. Diferensiasi ini mengelak dari antagonisme kelas dan tenaga kerja, tetapi diartikulasikan dalam bentuk gender, ethnic, keagamaan dan identitas-identitas lain dengan cara yang kompleks. Menurut Cousins hal ini
• Masalahnya bukanlah orang pedesaan membutuhkan modal (yang akan datang dari proses globalisasi), tetapi yang mereka butuhkan adalah pekerjaan.
Luthfi
• Mengaitkan deagrarianisasi dengan ekonomi informal. Ciri informal: apa subsitensi, konsolidasi atau akumulasi.
• Apakah proses deagrarianisasi itu positif atau negatif itu tergantung pada tahap apa dia pada level subsistensi, konsolidasi atau akumulasi
Satyawan
• Marx juga berpendapat bahwa sektor pertanian hanya merupakan transisi menuju industri dan untuk mempercepatnya didorong melalui land reform yang bercorak kolentivis
Noer Fauzi
• Kita memahami deagrarianisasi sebagai gejala deskriptif yang perlu dipertimbangkan oleh para promotor RA. Sebab motor RA adalah petani, tetapi petaninya sudah pindah ke kota di daerah slums.
• Davis (Planet of Slums) menganggap ekonomi informal sebagai tempat penampungan dari tenaga kerja yang berkelebihan yang hanya mampu memelihara subsistensinya.
• Formalisasi sektor informal ala de Soto akan menjadikan privatisasi wilayah slums sehingga yang tidak mampu melakukan formalisasi akan tersisih dari wilayah itu. Slums dan kemiskinan tidak ada lagi dari wilayah itu, tetapia dia tidak menghilang.
• Slums adalah petani di kota karena dia self-exploitation dan subsisten.
• Hubungan desa dan kota ini apa dampaknya terhadap persoalan agraria di desa. Dalam konteks Indonesia, konsekuensi itu muncul dalam gejala TKI.
Tina
• RA sangat dipengaruhi oleh bagaimana kita melihat paradigma pembangunan. Pembangunan kita menyedot semua sumberdaya desa ke kota, lalu ke negara maju.
Noer Fauzi
• Kita memerlukan pemahaman yang tebal sebelum menentukan pilihan reforma agraria yang akan diambil
• Naskah kedua adalah Razafi dari UNRISD. Dia meneliti atas permintaan Bank Dunis terkait social development. Salah satu yang ditugaskan pada Razafi adalah merangkum peneliti dan aktivis yang menulis peran dan perjuangan perempuan dalam perubahan agraria.
Laksmi
• Razavi memulai dengan pertanyaan: akses terhadap lahan atau akses terhadap sumberdaya rumah tangga